#Part 22

4 0 0
                                    

Saat pulang ke rumah tak ku sangka ku kira tidak akan ada yang khawatir padaku tetapi ternyata bi Ineung yang pertama menyambutku dari balik pintu. Terlihat raut wajahnya yang sayu mengelus perasaan ku. Dan dia mulai memastikan keadaan ku dan memeluk ku dengan erat nya. Padahal pikirku aku hanya tidak ada di rumah selama satu hari dan tidak memberikan kabar. Tetapi ternyata pembantu ku ini sangat menghawatirkanku sampai matanya terlihat berkaca-kaca. Dan pada saat itulah aku baru sadar bahwa ternyata aku masih mempunyai keluarga yang peduli denganku, atau mungkin hanya bi Ineung saja.

"Non Rasya itu muka kenapa atuh non pada lebam? Pasti habis berantem lagi ya?"

"Ah bibi nih so tahu. Siapa yang berantem, ini kemarin jatoh dari motor." Jawabku ngeles.

"Masa iya sih jatuh dari motor, orang lebamnya kaya di pukul orang." Sambil memegang luka lebam ku.

"A..a..a..ahhh sakit bi..sakit!" rengek ku.

"Tuhh kan pasti abis berantem, haduhh non berapa kali lagi non mau kaya gini?! Bikin bibi khawatir aja."

"Hehehe...maaf bi soalnya kemarin ada orang yang ngefans sama Rasya agak brutal minta tanda tangannya."

"Ahh dasar si non mah. Ya udah mending sekarang non makan dulu aja bibi udah masakin spesial buat non Rasya."

Di hari itu adalah moment yang sangat menyentuh ya walaupun bi Ineung orang nya polos tetapi dia sangat menyangiku seperti anak nya sendiri. Sedikit mengenai bi Ineung, bukan berarti dia tidak mempunyai anak. Di kampung halamanya di Bandung dia memiliki satu orang anak laki-laki, karena tidak punya biaya untuk menyekolahkan akhirnya Bunda yang menanggung biaya pendidikannya hingga sekarang. Anak bi Ineug bernama mas Bayu, dia orangnya sangat rajin dan baik. Mas Bayu tinggal bersama Ayahnya di Bandung sedangkan bi Ineung sudah bekerja sangat lama bersama Bunda. Sudah sekitar 13 tahun lamanya bi Ineung di rumah ini, sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri.

Saat pulang ke rumah mungkin hanya disambut oleh bi Ineung saja tapi itu lebih baik daripada harus mendengar ocehan kak Adrian. Makan siang pun selesai akupun memilih untuk kembali ke kamar dan memilih untuk memejamkan mataku dan mengistirahatkan tubuhku yang sakit ini. Saat memejamkan mata ku kira aku akan melupakan semua kejadian tadi di perpustakaan tapi ternyata tidak. Ah sulit rasanya melupakan perasaanku pada Erick, semakin aneh saja aku ini saat melihat Erick bersama perempuan lain. Dan tak berselang lama sesuatu yang paling menyebalkan datang ke kamarku. Dengan seragam yang berbeda dia berdiri disamping pintu dengan ocehannya. Yapps siapa lagi kalo bukan kak Adrian dia adalah orang yang paling menyebalkan melebihi Randy sahabatku.

"Uhh wow..baru pulang ya lo! Darimana aja lo? Ohh gue tahu lo pasti keluyuran gak jelas sama sekelompok ondel-ondel lu itu kan." Ejeknya padaku.

"Ngapain sih lo ke kamar gue. Sana pergi! Gue lagi ga mood nanggapin mulut lo yang receh itu." Gertakku.

"Enak aja ngatain mulut gue receh. Bunda nyariin lo semalaman! Bentar-bentar.. itu muka lo kenapa? Abis maskeran lo?! Hahahaa pada ungu gitu."

"Sejak kapan gue suka maskeran! lo ga pernah belajar kesehatan ya di sekolah ini luka lebam bego!"

"Gue tau kali itu luka lebam! Eh ga perlu ngatain gue bego, yang bego itu elo!! Cewe ko ikut-ikutan ribut kaya cowok aja. Mungkin karena gue dulu pengen adek laki yang keluar malah singa garang." Celetuknya.

"(sambil mendorongnya keluar kamar lalu menutup pintu) Sana!! Pergi lo!! Jauh-jauh dari hidup gue! Sebelum gue acak-acak muka pas-pasan lo itu !!" Usirku.

Akhirnya kak Adrian pergi juga dengan mulutnya yang receh itu, ya aku selalu mengharapkan kakak yang perhatian sama adeknya dan malah dapet kakak super menyebalkan seperti dia. Dari kecil mungkin kita tidak pernah akur seperti anjing dan kucing selalu ada saja masalah dengannya. Kita bisa akur hanya pada saat-saat tertentu saja, sulit rasanya mencoba untuk akur dengannya. Karena pasti salah satu diantara kami tidak akan ada yang mengalah. Dan karena dia mood ku kembali buruk akhirnya aku memilih untuk tidur saja daripada harus marah-marah gak jelas.

Tidak kurasa aku tertidur hingga malam dan lupa bahwa aku belum mandi. Waktu menunjukkan pukul 22.00, ku kira aku akan melupakan kejadian tadi di Perpustakaan tapi ternyata tidak. Ah sungguh menyebalkan apa yang terjadi dengan ku, kenapa hati ini selalu merasa tidak nyaman saat mengingatnya. Seketika aku membuka jendela kamar dan pada saat itu bintang bertaburan dan bersinar. Aku malah semakin terbawa suasana emosi dan terhanyut sudah dalam malam yang sunyi ini. Saat itu tiba-tiba lamunan ku tersentak karena suara seseorang mengetuk pintu kamar ku. Dan sudah ku pikir itu pasti Bunda yang akan mendrama suasana yang menggambarkan kekhawatirannya. Dengan sigap aku langsung melompat ke tempat tidur dan pura-pura tidur.

"Sepertinya kamu tertidur pulas. Syukurlah kamu pulang dan baik-baik saja. Maafkan Bunda karena selalu mengkhawatirkanmu dan tak pernah ada waktu untuk mu. Seandainya saja kamu tahu, kemarin Bunda benar-benar khawatir dan takut kehilangan mu. Cukup sudah Ayahmu yang meninggalakan kita, Bunda mohon sebenci apapun kamu sama Bunda tolong jangan pernah pergi dari Bunda." gumam Bunda sambil meneteskan air mata di sampingku.

"Ya sudah istarahat yang nyeyak sayang. Doa Bunda akan selalu mengalir disepanjang langkahmu." Tambahnya sambil mencium kening ku dan pergi.

Dan seketika hati ini tergerak oleh suasana yang tak biasa, sehingga air mata tiba-tiba menetes begitu saja. Aku tahu bahwa luka yang pernah Ayah berikan sangat dalam untuknya, ditambah dengan keadaan Reynan yang menderita sakit berat. Aku selalu merasa bersalah dengan apa yang ku lakukan terhadap Bunda. Tapi tetap saja dia selalu mengabaikan apa yang sebenarnya aku inginkan dari sosok seorang Ibu. Mungkin bukan hanya sebagai Ibu bagi anak-anaknya tapi dia selalu berusaha untuk bisa menjadi seorang Ayah bagi anak-anaknya. Dan karena hal ini tidak seimbang dengan kemampuannya sebagai perempuan, perhatiannya pun banyak terbagi dengan hal lain.

SolidaritasOnde as histórias ganham vida. Descobre agora