(Trabble) Side A: Kang Cilok

130 50 146
                                    

"Lanjut di mana sekarang?" tanya seorang teman SMA dalam percakapan kami di Whatsapp. Kami memang tidak pernah berjumpa lagi sejak kelulusan.

"Nerusin usaha nyokap," jawabku ringan.

Komentar berbeda terlontar dari beberapa teman SMP yang sering melihatku berjualan di depan sekolah. "Punya tampang ikemen kayak artis Jepang kok malah jualan cilok?"

Komentar macam ini yang bikin tanganku gatal pengen nyentil ginjal mereka satu-satu.

Akhirnya aku membalas dengan candaan, "Awas lho ya, kalian. Gak bakal aku kasih harga diskon khusus temen!"

Untungnya beberapa tetanggaku masih menunjukkan perhatian, mengabarkan beberapa lowongan pekerjaan. Ada yang menawarkan gaji dengan jumlah menggiurkan, tapi tetap tak sebanding dengan waktu luang yang kupunya untuk membaca buku dan merawat Ibu.

Namun ada juga beberapa orang tua yang menjadikanku sebagai contoh buruk untuk anak-anaknya yang masih sekolah dasar. "Makanya, belajar yang rajin, biar sukses. Jangan kayak dia. Cuma jadi pedagang kaki lima."

Lalu kudengar salah satu anak menjawab nasihat orang tuanya dengan polos, "Enak dong, Pah, bisa jajan gratis tiap hari."

Aku sampai harus susah payah menahan tawa di depan mereka.

Aku sendiri tidak mempermasalahkan ucapan miring para orang tua itu. Selama masih memberi anak-anak mereka uang jajan, usahaku tetap jalan.

Komentar yang paling membuatku panas malah datang dari mulut Ibuku sendiri.

"Kamu sudah dua puluh lima tahun, Alpha. Sudah cukup umur untuk menikah..."

Diikuti dengan desakan-desakan lain yang mainstream seperti ingin cepat menimang cucu, atau nasihat klasik bahwa menikah akan melancarkan rezeki.

"Bu, aku gak mau jadi kayak Bapak yang menikahi Ibu dalam keadaan susah, punya anak dalam keadaan susah, kemudian kabur bersama perempuan yang lebih kaya dengan mewariskan segunduk hutang untuk keluarganya!"

Tentu saja rutukan itu hanya kulampiaskan dalam hati. Lalu mengganti rasa kesal dengan senyum tipis sebagai jawaban dari permintaan Ibu.

Aku bersyukur dengan hidupku.

Tak pernah sekalipun terpikir bahwa aku dibenci oleh kehidupan.

Tidak sama sekali.

Enter Your Ideas Here | RAWS FestivalWhere stories live. Discover now