(Trabble) Side A: Jelly

38 14 22
                                    

Kiamat kecil.

Meskipun Bapak datang jauh-jauh dari luar pulau, bukan berarti bisa seenaknya memintaku datang menemuinya di restoran mahal yang berjarak tiga jam naik bus sumpek dari rumahku.

Dia mempersilakanku memesan makanan. Aku melakukan kesalahan besar karena membaca daftar menu itu dan memperlihatkan wajah kebingungan karena tidak paham apa yang tersaji di sana. Sorot mata Bapak yang meremehkan mengawal tiap gerakanku.

"Jadi... dapat proyek baru?" tanyaku setelah memilih menu dengan harga termurah. Kedua sudut bibir kuangkat paksa. "Gak mungkin jauh-jauh ke sini cuma buat ngobrol denganku."

Bapak tersenyum. Jenis senyum angkuh yang sering kulihat di cast CEO pasaran di novel online. Idih. Dari penampilan, sulit dipercaya usianya lebih dari dua kali lipat usiaku.

Pak Tua itu mengiyakan, dengan bangga menjelaskan perkembangan perusahaan yang dikelolanya. Dia sengaja menjelaskan sesuatu yang tidak kumengerti. Begitu terus sampai makanan datang dan sudah kuhabiskan setengahnya.

Kepalaku memantul-mantul. Kemudian kutanggapi, "Perkembangan kesehatan Ibu juga membaik setelah pisah dengan Bapak."

"Bapak kasihan sama kamu, Al. Ikut bersama Bapak lebih baik ketimbang hidup miskin bersama perempuan itu."

Jantungku mencelus. Gerakan sendok dan garpuku terhenti. Apa katanya?

Aku mengangkat kepala, bertemu dengan mata Pak Tua itu. Pandangan kasihan. Seperti melihat pengemis jalanan.

Kuletakkan garpu dan sendok untuk mencegah ledakan emosi yang tidak diinginkan.

Mata itu masih mengasihaniku. Mata yang minta ditusuk.

Setelah hening, akhirnya kupaksakan tertawa. "Aku lupa bilang, kesehatan mentalku juga jauh lebih baik saat bersama Ibu. Sepertinya aku harus pulang sebelum Bapak merusaknya lagi. Salam untuk Tante dan adik-adikku."

Kemudian tanpa memandang Bapak, setelah mengeluarkan sejumlah uang aku langsung memelesat pulang.

Sampai di rumah, hari sudah malam. Ibu sudah tidur. Aku memasuki kamarku. Ingin membanting pintu, tapi tidak bisa. Ingin berteriak, tapi terlalu lelah. Ingin menendang sesuatu, tapi kaki terlalu gemetar.

Akhirnya aku ambruk di lantai. Energiku menguap tak bersisa. Bahkan untuk naik ke kasur pun tidak sanggup. Tubuh mendadak selemas agar-agar.

Enter Your Ideas Here | RAWS FestivalOnde histórias criam vida. Descubra agora