(2)

8.1K 656 43
                                    

"Dek, ada Bintang dibawah tu." Ucap Bang Jian dari ambang pintu kamar gue.

"Suruh pulang aja, lagi males ngeliat mukanya Mas Bintang." Jawab gue nggak peduli, gue masih kesal sama Mas Bintang, apa menikahi gue adalah permintaan seberat itu?

Kalau dasarnya memang nggak mau nikah, harusnya dari awal aja Mas Bintang nolak, kenapa kesannya malah kaya gue yang ngebet banget sama tu orang? Gue masih muda, masih banyak cowo yang mau sama gue.

"Kenapa lagi Dek? Serius itu nggak mau nemuin Bintang? Abang suruh pulang ya?"

"Heumm, hush suruh pulang sana!"

"Tadi kalau Langit yang dateng kamu biasa aja, kenapa sama Bintang malah sewot? Nggak kebalik?" Tanya Bang Jian lagi yang gue hadiahi dengan lemparan botol minum kosong kaya sekarang.

"Memang Mas Bintang sama Mas Langit sama? Enggakkan? Abang juga, punya sahabat kok modelannya nggak waras semua?" Tanya gue balik kesal.

"Nggak cuma sahabat Abang, Abang punya Adik juga nggak waras asal kamu tahu." Dan Bang Jian langsung nutup balik pintu kamar gue kalau nggak mau gue timpukin lagi kepalanya.

Setelah mendapatkan pencerahan dari dua sahabat gue tadi, sekarang gue mulai mikir ulang untuk perjodohan gue sama Mas Bintang, kita berdua memang dijodohkan tapi sama sekali nggak ada pemaksaan, kita berdua bebas memilih nerima atau menolak dan waktu itu kita berdua sepakat menerima.

Tapi sekarang gue ngerasa lelah, satu tahun, selama satu tahun gue berusaha sebaik mungkin untuk jadi yang terbaik dimata Mas Bintang, memang umur gue baru hampir 18 tahun tapi bukan berarti gue belum dewasa.

Selama setahun gue seolah berjuang seorang diri, Mas Bintang gak nolak tapi juga nggak menunjukan perasaan yang lebih ke gue dalam bentuk apapun, gue hanya sebatas anak temen Mamanya yang merangkap jadi salah satu dari siswinya juga.

Semua yang gue perjuangkan terlihat nggak berguna sama sekali dimata Mas Bintang, mungkin gue hanya seorang gadis kecil yang belum bisa diajak bicara masalah masa depan dalam pandangan seorang Bintang.

'Apa ini saatnya? Apa gue harus menyerah sekarang?'

.
.
.

Hari senin gue seperti biasa selalu diawali dengan upacara bendera, Mas Bintang berada dalam barisan para guru dan gue berada dalam barisan para siswa, bahkan detik inipun, tempat selalu memperjelas hubungan kami berdua.

"Bunga!" Dan bruk, semuanya menggelap.

Gue menutup mata gue karena sinar matahari yang seakan langsung tertuju kearah gue dengan begitu teriknya, gue bangkit dan mulai melirik ke sekitar, gak ada siapapun disini, UKS terasa sepi seperti biasa.

Dengan langkah gontai, gue bangkit dan berjalan tertatih keluar dari ruang UKS, baru beberapa langkah gue berjalan, gue berhenti dengan tatapan tertunduk memperhatikan pemandangan yang ada dihadapan gue sekarang.

"Aku suka sama kamu." Ucap Bu Lia menggenggam tangan Mas Bintang erat.

Seperkian detik gue menguat hati karena Mas Bintang belum merespon apapun, untuk sesaat gue masih berharap kalau Mas Bintang akan menghargai kehadiran gue sebagai tunangannya.

Tapi begitu Mas Bintang membiarkan Bu Lia memeluknya tanpa penolakan dan tanpa berniat mengeluarkan sepatah katapun juga, gue menyerah, disini batas kemampuan gue.

Masih dengan langkah tertatih, gue mengabaikan mereka berdua dan berjalan keluar dari ruang UKS dengan tatapan lurus, sekilas Mas Bintang cukup kaget dengan kehadiran gue dan melepas paksa pelukan Bu Lia ditubuhnya.

"Bunga." Panggil Mas Bintang beralih mendekat ke sisi gue.

"Biar Mas yang nganterin kamu pulang?" Mas? Apa Mas Bintang mengakui gue sekarang? Bukannya kalau didepan orang lain Mas Bintang akan selalu menyebut dirinya dengan sebutan Pak?

"Gak perlu, saya bisa sendiri Pak." Jawab gue datar bahkan nggak mau menatap Mas Bintang sama sekali.

"Bunga, Mas__"

"Pak, saya bisa sendiri." Gue menepis tangan Mas Bintang yang berniat membantu gue berjalan dan melirik Mas Bintang dengan tatapan terluka gue.

"Saya bisa sendiri!" Ulang gue narik diri mundur, Bu Lia yang memperhatikan gue sama Mas Bintang juga mulai menatap kami berdua bingung.

Di sekolah memang nggak ada yang tahu tentang pertunangan gue sama Mas Bintang kecuali sahabat kita berdua, Dinda sama Ama sahabat gue dan Mas Langit sahabat dari Mas Bintang sama Bang Jian juga.

Menguatkan hati, gue berjalan dan meninggalkan Mas Bintang dengan segala keterpakuannya, gue memang selalu tersenyum setiap kali menatap Mas Bintang, gue bersikap ceria selayaknya seorang gadis remaja pada umumnya.

Senyum ceria dan tawa bahagia gue selalu gue perlihatkan tapi Mas Bintang melupakan satu hal, gue juga perempuan, gue bisa merasakan yang namanya cemburu kalau ada perempuan lain yang menggantungkan harapan sama dia.

"Mas minta maaf." Cegat Mas Bintang kembali berdiri dihadapan gue, gue melirik Mas Bintang sekilas dan Bu Lia masih ngikutin kita berdua ternyata.

"Maaf? Untuk apa? Bapak tidak melakukan kesalahan apapun." Gue memaksakan senyuman gue untuk mereka berdua, Mas Bintang nggak perlu tahu seberapa hancurnya perasaan gue sekarang.

"Berhenti bersikap kaya anak kecil Bunga!" Mas Bintang bahkan meninggikan suaranya didepan gue.

Gue tersenyum dan menatap Mas Bintang terluka, apa sikap gue sekarang kaya anak kecil? Katakanlah iya tapi gimana dengan sikap Mas Bintang barusan? Apa membiarkan perempuan lain meluk dia sembarangan adalah hal yang dilakukan orang dewasa?

"Heumm, Bapak benar, saya memang anak kecil bahkan mungkin sama kekanak-kanakan, adalagi?" Tanya gue sinis.

Dengan senyum tertahan, gue menundukkan kepala gue sekilas untuk Bu Lia dan melanjutkan langkah gue, gue nggak akan mengharapkan apapun lagi, terlalu berat kalau harus berjuang seorang diri, Dinda bener, gue sama Mas Bintang nggak akan bisa pernah selangkah.

"Jangan beranjak Bunga." Ucap Mas Bintang masih mengikuti langkah gue.

"Berhenti kalau kamu masih mendengarkan Mas sebagai tunangan kamu." Gue memberhentikan langkah untuk ucapan Mas Bintang barusan.

"Lia suka sama Mas." Ulang Mas Bintang yang sekarang kembali berdiri dihadapan gue.

"Heumm, aku denger kok, kalau memang Mas juga suka ya nggak papa, aku ikut bahagia untuk kalian." Jawab gue bahkan tercekat untuk ucapan gue sendiri.

"Apa kamu bisa melepaskan Mas?"

"Heumm, harus bisa, kenapa? Karena mempertahankan seseorang yang nggak pernah natap aku juga untuk apa? Percumakan?"

Mas Bintang bahkan tersenyum untuk jawaban gue, gue yang memperhatikan Mas Bintang sama sekali gak berani berkedip kalau nggak mau air mata sukses mengalir dari pipi gue nantinha.

"Aku selalu berharap kalau Mas akan jadi bagian terpenting dari hidup aku tapi Mas juga selalu ngingetin aku kalau seseorang itu harus tahu kapan saatnya menyerah."

"Sekarang aku nyerah, aku nggak mau lagi jadi gadis bodoh yang terus mengharapkan hal yang nggak mungkin dari Mas, cinta? Aku nggak akan pernah mendapatkan itu dari Mas."

"Apa kamu yakin kamu bisa melepaskan Mas?"

"Heumm! Harus!" Gumam gue mengangguki.

"Bintang dan Bunga memang nggak akan pernah berada ditempat yang sama." Lirih gue menatap Mas Bintang tertunduk.

"Tapi Bintang dan Bunga akan selalu terlihat indah jika dipandang dalam satu bingkai lukisan yang diberi nama cinta." Ck! Sayangnya bingkai yang Mas Bintang maksud baru aja pecah dan itu udah nggak bisa diperbaiki lagi kedepannya.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang