(14)

4.8K 441 28
                                    

"Sekamar bukan berarti seranjang ya Mas, Mas tidurnya di lantai nggak papakan?" Gue bahkan udah menyilangkan kedua tangan gue didepan dada menatap Mas Langit nggak yakin sekarang, gue masih anak kecil.

"Isi otak kamu apaan sih Nga? Mas nggak mungkin ngapa-ngapain anak SMA kaya kamu begini." Mas Langit malah balik menatap gue sambilan geleng-geleng kepala.

Memang kalau gue masih anak SMA kenapa? Anak SMA tapikan gue perempuan, tar kalau Mas Langit khilaf terus gue juga ikutan lupa diri gimana? Masa depan gue kacau dong, siapa yang susah? Gue juga yang susah.

"Laki-laki itu dimana-mana sama aja, nggak bisa dipercaya." Balas gue nggak mau kalah.

"Kalau kamu nggak percaya kenapa kamu mau nikah sama Mas? Bukannya batal nikah lebih baik dari mana ditipu untuk kedua kali?" Ish, pinter banget ngejawabnya.

"Pokoknya tidur di lantai!" Gue ngegas.

"Kalau Mas masuk angin kamu mau tanggung jawab?" Hah!

"Lantai yang bikin Mas masuk angin kenapa Bunga yang harus tanggung jawab?" Yang tanggungjawab harusnya lantailah, kan yang bikin Mas Langit masuk angin lantai.

"Pakai acara nyalahin lantai, lantai aja nggak bisa nolak permintaan kamu, kamu yang nyuruh tidur disana." Lah.

"Gini deh Mas kita bikin gampang aja, kalau Mas nggak mau yaudah, biar Bunga yang di lantai, selesaikan urusannya?" Gue siap narik selimut untuk pindah tidur di lantai tepat sebelum Mas Langit lebih dulu membaringkan tubuhnya di selimut yang udah gue bentang dari tadi.

"Dasar bocah!" Ledek Mas Langit tersenyum kecil, mulut gue udah siap mau ngebales ucapan Mas Langit tapi keburu kicep karena Mas Langit lebih dulu narik penuh selimut sampai nutupin seluruh tubuhnya.

"Gue dikacangin, awas aja, gue bales!"

.

"Bunga, ada Jian didepan!" Ucap Mas Langit dari ambang pintu, gue yang memang udah selesai dengan seragam sekolah gue mengangguk mengiakan dan langsung ikut nemuin Bang Jian.

"Abang!" Lirih gue dengan mata berkaca-kaca, ah cengeng banget kan gue? Ngak papa kan gue masih anak SMA.

"Ya Allah, Dek! Setiap rumah tangga pasti ada masalahnya jadi kamu nggak boleh nangis kaya gini, memangnya nggak malu diliatin sama Langit?" Balas Bang Jian memeluk gue.

"Ah biarin, Mas Langit juga nggak peduli." Lirih gue sesegukan.

Kan memang iya Mas Langit nggak peduli, kemarin aja setelah ngebawa gue pindah ke rumahnya malah Nenek yang nenangin kekhawatiran gue, Mas Langit cuma berdebat waktu gue suruh tidur di lantai, selebihnya jangan harap dia peduli, nanya perasaan gue aja enggak.

Memang ya yang namanya nikah terpaksa gak bakalan ada rasa perhatian apalagi sampai punya rasa kasih sayang, masih dikasih makan sama tempat untuk tidur aja harusnya gue udah sangat bersujud syukur, semalam gue yang keliatan kacau kaya gitu aja Mas Langit nggak nanya sedikitpun gimana perasaan gue, apa itu yang namanya peduli?

"Langit nggak mungkin nggak peduli sama kamu, mana ada suami yang nggak peduli sama istrinya?" Ada! Mas Langit orangnya.

"Abang bisakan nggak usah bawa-bawa kata suami istri terus? Bunga kaya gini juga karena suami pilihan Mas." Dan detik itu juga Bang Jian melepaskan dekapan gue.

"Abang nggak pernah ngajarin kamu untuk ngomong seenak hati begini, apa ini sikap seseorang yang sudah menikah? Begitu punya masalah malah menyalahkan orang lain?" Nada bicara Bang Jian meninggi ke gue, gue langsung tertuntuk nggak berkutik.

"Jadi sekarang Abang juga mau nyalahin Bunga? Oke salahin aja terus Bang, memang Bunga yang salah, nggak Bunda, nggak Abang pun sama, dimata kalian Bunga selalu aja salah, kalian semua nggak ada yang peduli sama perasaan Bunga, yang ditinggal nikah itu Bunga, yang harus menikah dadakan dengan orang lain juga Bunga dan yang disuruh keluar oleh Ibu Kandungnya sendiri cuma Bunga, Abang nggak pernah tahu rasanya gimanakan?" Nada suara gue juga ikut meninggi.

"Bunga! Ngak ada yang nggak peduli sama perasaan kamu tapi mau gimanapun ini semua pilihan kamu sendiri, jangan lari dari kenyataan Dek, jangan mengeluh, ini yang Abang maksud bukannya mau menyalahkan kamu." Ucap Bang Jian mencoba lebih lembut.

"Kamu sendiri yang setuju untuk menikah dengan Bintang buru-buru sampai akhirnya Bintang ninggalin kamu gitu aja apa kamu lupa? Jangan cuma bisa ngeluh Dek, ini masalah kamu yang cari jadi bisa kamu bersikap dewasa sedikit?"

"Kamu juga yang milih untuk setuju menikah sama Langit, Abang hanya menyarankan dan nggak memaksa jadi kamu harus bertanggung jawab setidaknya untuk pilihan kamu sendiri, untuk diri kamu sendiri? Mau sampai kamu lari ke Abang kalau kamu punya masalah? Membangun keluarga bukan begini caranya, terlepas dari apapun, kamu juga punya Langit sekarang."

"Tapi Bunga_"

"Biar gue yang ngomong sama Bunga." Gue yang sedang menatap lantai sembari tertunduk dipaksa berbalik dan Mas Langit memeluk gue tiba-tiba.

Gue nggak membalas dekapan Mas Langit ditubuh gue, hanya berlarut dengan isak tangis gue dan membiarkan Mas Langit ikut mengusap kepala gue menenangkan, jujur ini yang gue harapkan dari semalam, seseorang yang akan memeluk dan menenangkan gue, alasan kenapa gue memeluk Bang Jian begitu Bang Jian ada dihadapan gue karena gue memang butuh pelukan, sedangkan Mas Langit nggak melakukan itu semalam, Mas Langit membiarkan gue gitu aja tanpa bertanya apapun, apa salah gue berharap kaya gini disaat gue punya masalah?

"Kalau kamu udah tenang kabarin Abang! Kita bicara lagi nanti." Bang Jian meletakkan handphone gue diatas meja dan pamit pulang gitu aja.

"Bunga berangkat sekolah sekarang." Gue melepaskan paksa dekapan Mas Langit dan ngambil handphone gue yang ada diatas meja sembari keluar rumah gitu aja.

"Kenapa semuanya makin berantakan?" Pertanyaan kaya gini terus aja wara-wiri di kepala gue.

Alunan musik yang mengalun dari earphone gue seolah menjadi pengiring isak tangis tertahan gue sekarang, gue akui memang ini adalah kesalahan gue, gue yang terlalu terbutakan oleh cinta dan perasaan gue untuk Mas Bintang tapi apa mereka nggak bisa membantu menenangkan gue sedikitpun? Gue hanta butuh pengertian sedikit aja, kasih gue waktu.

"Bunga!" Satu tepukan yang membuyarkan semua lamunan gue.

"Ah lo Dil, gue kirain siapa." Gue memaksakan senyuman gue sekarang, Fadil itu temen sekelas gue.

"Lo kenapa? Sembab gitu? Lo sakit?" Tanya Fadil yang lagi-lagi hanya gue balas dengan senyuman, gue harus jawab apa? Jawab gue berantem sama keluarga karena masalah pernikahan? Di sekolah nggak ada yang tahu gue udah nikah, ya kali anak SMA dikasih nikah? Bisa heboh.

Perjanjian awal gue menikah memang bakalan jadi rahasia setidaknya sampai gue lulus sekolah, itu rencana awalnya gue sama Mas Bintang, mungkin sekarang berlaku juga untuk gue sama Mas Langit.

"Gue cuma kurang tidur aja, lo sendiri tumben naik bus gini? Motor kemana?" Tanya gue ikut basa basi, nyari topik lain sebelum pertanyaan Fadil makin nyerempet kemana-mana.

"Pas mau jalan eh malah bocor yaudah gue naik bus." Gue hanya ngangguk bebek sama penjelasan Fadil dan kembali fokus ke arah jalan.

Gue nggak banyak bicara sama Fadil bahkan sampai kita berdua udah di sekolah, gue masuk ke kelas barengan sama Fadil juga, jangan tanya cia cie nya anak kelas, biasalah anak SMA, liat cewe sama cowo jalan bareng udah kaya nemu objek bulian baru.

Tapi biasanya dibalik kata cia cie ini juga terselubung masuk lain, kalau bukan iri ya di doain biar beneran jadi pasangan, cinta tumbuh dari cia cie an orang mah kalau kata Ama, kata-kata yang terdengar nggak masuk akal tapi terkadang ada benernya juga.

"Sama Bunga lo sekarang Dil?" Tanya Karin dari sudut ujung kelas.

"Kalau iya kenapa? Cemburu lo?" Ah diladenin pula sama si Fadil.

Gue cuma nutup telinga sambilan geleng-geleng kepala, ngadepin situasi begini ya kalau bukan dengan diabaikan lain gue nggak punya solusi, mau lo iyain atau bahkan bantah sekalipun nggak ngaruh sama mereka, abaikan adalah cara paling ampuh keluar dari masalah.

"Lo kenapa bisa bareng Fadil?" Tanya Ama yang ikut ditatap Dinda.

"Ketemu di bus tadi."

"Gue kirain lo selingkuh dari Mas Langit." Celutuk Dinda yang membuat gue menatap Dinda nggak percaya, apa ini beneran sahabat gue?

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now