(17)

4.6K 456 41
                                    

"Dan untuk kamu Dinda, apa kamu suka sama Mas? Mas harap itu nggak benar tapi andai kata itu nyata, Mas minta maaf, kamu harus belajar melupakan perasaan kamu karena Mas cuma menganggap kamu sebagai seorang adik, nggak akan lebih dari itu." Ucap Mas Langit ke Dinda dan gue kehabisan kata.

Dinda yang semula menatap Mas Langit penuh harap seketika beralih tertunduk dengan mata yang mulai berkaca-kaca, gue yang mendapati ucapan Mas Langit kaya tadi juga nhgak tahu harus bereaksi gimana, semuanya malah jadi serba salah untuk gue sekarang.

Di satu sisi gue udah mulai menebak Mas Langit tahu dari mana gue ke sekolah barengan sama Fadil tadi dan disisi yang lain gue juga ngerti banget perasaan Dinda sekarang, dia pasti terluka, siapa yang nggak terluka kalau mendengarkan pernolakan dari seseorang yang kita suka, mau secara baik-baik sekalipun, ras sakit itu tetap bakalan ada.

Kecewa dan sakit itu pasti tapi Dinda juga harus ngerti kalau mungkin begini lebih baik, gue udah coba menjelaskan pakai kata yang sangat halus untuk membuat Dinda mengerti tapi Dinda sendiri yang minta kalimat tegas sekaligus mungkin juga menyakitkan itu keluar dari mulut Mas Langit sendiri.

"Tapi Mas belum ngasih Dinda kesempatan apapun untuk nunjukin perasaan Dinda ke Mas, kalau Mas mau ngasih Dinda satu kesempatan aja Dinda yakin perasaan Mas akan berubah!" Ucap Dinda masih belum terima.

"Kamu punya banyak kesempatan sebelum Mas menikahi Bunga, Mas bahkan lebih dulu cerita ke kamu kalau Nenek mulai maksa Mas untuk segera menikah apa kamu lupa? Kamu punya kesempatan banyak sebelum ini Din!"

Sekilas memang nggak ada yang salah sama ucapan Mas Langit tapi kenapa gue rada kesal begitu tahu kalau ternyata Dinda tahu lebih dulu masalah Mas Langit yang dipaksa buru-buru menikah sama Neneknya? Apa Mas Langit memang berharap kalau Dinda yang akan dia nikahi? Bukannya gue yang pecicilan begini.

"Kalau Dinda mengakui perasaannya lebih awal ke Mas memang kenapa? Apa Mas akan menikahi Dinda?" Tanya gue tersenyum canggung.

Sekilas Dinda menatap gue aneh setelah pertanyaan gue barusan, Mas Langit sendiri hanya ikut memperhatikan tapi masih belum berniat memberikan gue jawaban apapun, gue bukannya cemburu atau apalah itu namanya tapi wajarkan kalau gue nanya begini, gue penasaran lebih tepatnya.

"Kenapa Mas diam?" Tanya gue lagi, apa pertanyaan gue sesulit itu? Tinggal jawab iya atau enggak, apa setelah di tinggal pacarnya gitu aja, Mas Langit nggak akan keberatan untuk menikahi Dinda seandainya Dinda mengakui perasaannya lebih awal?

"Mungkin!" Satu kata dari Mas Langit yang membuat gue menganggukkan kepala mengerti, suka ternyata.

"Itu artinya Mas juga suka sama Dindakan? Please Mas kasih Dinda kesempatan!" Dinda mulai melas.

Gue yang udah mulai paham sama situasi narik diri dari pembicaraan dan mulai mengeluarkan handphone gue, apa gue harus kabur sekarang? Gue harus tahu diri, gue ini cuma istri yang terpaksa dinikahi karena terjepit situasi.

Pernikahan gue sama Mas Langit itu udah kaya apa ya, singkat kata buat sama-sama menguntungkan aja, gue nutup malu keluarga karena Mas Bintang kabur dan Mas Langit bisa menikah seperti permintaan Neneknya, sama-sama membantu.

Gue nggak boleh berharap lebih sama Mas Langit itu udah jelas, kalau keadaannya kaya gini terus, cepat atau lambat pisah itu berasa makin pasti jadi gue harus mulai belajar menyiapkan mental buat jadi janda muda mulai sekarang, ngebayanginnya aja udah suram tapi tetap ada kemungkinannya.

"Mas, jawab pertanyaan Dinda, Dinda punya kesempatankan?" Ulang Dinda, keadaan gue sekarang ni mata fokus ke handphone tapi telinga udah gue buka lebar-lebar buat dengerin jawaban Mas Langit.

"Enggak! Mas sudah menikah dan dalam hidup Mas, Mas hanya akan menikah sekali!" Jawab Mas Langit tegas.

"Din, Mas minta maaf, Mas menghargai perasaan kamu tapi jodoh itu sudah di atur, Mas yakin suatu saat kamu akan mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Mas, ini semua hanya pekara waktu!"

"Jangan berharap apapun dari Mas kalau kamu masih mau mengenal Mas sebagai suami dari sahabat kamu, karena kalau bukan karena kamu sahabat Bunga, Mas nggak punya pilihan lain selain mengabaikan kamu mulai sekarang." Lanjut Mas Langit semakin to the point.

Dinda menatap Mas Langit dengan air mata mulai mengalir, gue yang ngeliatnya juga cukup kaget dan malah jadi nggak tega, aduh gimana? Mau gue rangkul, Dinda kan lagi marah sama gue, nggak gue rangkul itu anak orang udah nangis sesegukan.

"Mas, Bunga tunggu diluar ya." Nggak ngerti lagi gue, serba salah jadinya.

"Kita pulang sekarang!" Yah terus anak orang di tinggal sendirian begitu lagi nangis kejer?

"Tapi Mas_"

"Kasih Dinda waktu untuk memikirkan semuanya baik-baik, kita pulang sekarang." Dan gue pasrah digiring pulang sama Mas Langit gitu aja.

.

"Kamu kenapa lagi? Mas punya salah? Bukannya kamu yang minta Mas ngomong terus terang sama Dinda?" Tanya Mas Langit yang dari tadi gue diamkan.

Entah kenapa setelah pulang sampai dengan sekarang gue masih belum ngomong apapun sama Mas Langit, ada yang aneh aja menurut gue, nggak cuma Dinda tapi gue sendiri kayanya harus mikir banyak deh ini rumah tangga gue sama Mas Langit mau dibawa kemana?

Gue nggak marah sama Mas Langit, tapi gue juga nggak bisa menyalahkan Mas Langit tapi anehnya gue kesal sendiri ngeliat mukanya sekarang, apa yang salah dari gue coba? Marah enggak tapi natap orangnya juga ogah.

"Bunga, Mas tanya kamu!" Dan begitu Mas Langit narik lengan gue, gue berbalik dan menghembuskan nafas cukup panjang.

"Lain kali kalau Mas mau negur Bunga bisa nggak didepan umum apalagi didepan orang yang udah jelas-jelas nggak suka sama hubungan kita? Mungkin dalam pemikiran Mas, Bunga masih kaya anak kecil tapi Mas juga harus tahu kalau Bunga punya malu." Ucap gue jelas, gue mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran gue sekarang.

"Mas boleh negur Bunga kalau memang Bunga salah tapi kenapa Mas nggak nanya penjelasan Bunga dulu sebelum negur Bunga didepan orang lain? Mas mau ngasih tahu semua orang kalau Bunga ini salah dimata suami?" Apa cuma ini yang membuat gue kesal sekarang? Mungkin.

Nggak habis pikir gue, katanya dewasa tapi kenapa sikapnya malah kekanak-kanakan begitu? Seumur hidup Bang Jian aja nbgak pernah marah atau bahkan negur gue di depan umum kaya tadi, palingan sampai di rumah baru disemprot abis-abisan, kalau udah di rumah mah terserah, kalau gue salah memang harus di kasih tahu tapi bukan di depan orang ramai.

"Kenapa diam? Tadi negurkan? Sekarang kenapa ngvak Mas marahin sekalian?"

"Ini cuma buat informasi kalau Mas nggak tahu, seandainya Bunga salah, Bunga lebih rela Mas bentak-bentak di rumah dari pada Mas tegur didepan umum, malu tahu gak." Gue narik lengan gue yang dipegang Mas Langit, gue keluar dari kamar dan nutup pintu kamar cukup kasar.

"Mas minta maaf." Tiba-tiba Mas Langit ikut duduk di depan gue begitu gue minum di dapur.

"Iya." Gue mengangguki dengan tatapan masih fokus ke gelas gue, minta maaf? Oke gue maafin tapi kekesalan gue redanya lama.

"Kalau dimaafin kenapa mukanya masih ditekuk?" Tanya Mas Langit mulai tersenyum manis.

"Ya apa hubungannya dimaafin sama muka ditekuk? Mau Bunga tekuk apa enggak yang suka-suka Bunga, muka Bunga juga!" Gue memang begini, muka gue ya ikut suasana hati gue.

"Hanya sekedar mengingatkan kalau Bunga lupa, setelah menikah, kamu milik suami kamu!" Minum gue muncrat kemana-mana.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now