(45)

4.6K 493 128
                                    

"Warung di gang depan tutup jadi Mas ke minimarket lain makanya lama." Jelas Mas Langit menerima handuk dan baju ganti yang gue kasih.

Apa Mas Langit keluar cuma buat beli susu sama lilin untuk gue? Kalau gue mikir ulang Mas Langit keluar setelah ngeliat gue yang berencana minum susu kotak tapi tahu-tahu susunya abis, ditambah gue belakangan juga kurang selera makan.

Lilin juga, tadi sebelum Mas Langit keluar dilemari gue liat juga nggak ada stok lilin, apa Mas Langit yang beli? Apa Mas Langit khawatir sama gue?

"Mas, makasih." Cicit gue begitu Mas Langit keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang udah ganti.

"Itu memang kewajiban Mas." Dan hening, gue membiarkan Mas Langit mulai membaringkan tubuhnya dan gue juga mulai menyeruput susu kotak gue.

Melirik Mas Langit sesekali, seketika rasa bersalah dihati gue mampir, gue pikir Mas Langit sama sekali udah nggak khawatir sama gue, gue pikir Mas Langit nggak peduli lagi.

"Jangan nangis, buang-buang tenaga." Gumam Mas Langit masih dengan mata terpejam.

.

"Mas, aku keluar sebentar sama Ama boleh nggak?" Tanya gue ke Mas Langit yang siap berangkat ke kantor.

"Boleh tapi pulangnya jangan telat." Gue mengangguk pelan, mengenai uang jajan kalau semasa gue masih sekolah Mas Langit bakalan ngasih perhari tapi sekarang udah dapet jatah bulanan.

"Mas berangkat." Gue ikut bangkit mengantarkan Mas Langit kedepan pintu, nyalim dan gue mengkaku ditempat begitu Mas Langit menatap gue cukup lama.

"Kenapa?" Tanya gue gugup, Mas Langit nggak ngejawab apapun dan maju mengecup kening gue, Mas Langit ngapain?

"Kabarin Mas kalau kamu berangkat." Gue bahkan nggak mengeluarkan sepatah katapun, gue memperhatikan Mas Langit yang ninggalin pekarangan rumah masih dengan perasaan nggak karuan.

"Woi, bengong aja lu." Tanya Ama yang entah sejak kapan udah berdiri didepan gue.

"Kapan lo dateng?" Tanya gue kaget, perasaan baru nganterin Mas Langit.

"Gue aja liat suami lo jalan, kenapa sih Nga, udah buruan jadi nggak?"

"Jadi." Membiarkan Ama masuk dan nunggu, gue beberes kilat dan turun kebawah dengan ekspresi kurang yakin.

"Ma, seriusan mau kesana?" Tanya gue nggak yakin.

"Lo mau tahu apa enggak? Tergantung lo juga sih, lo yang berkebutuhan, gue cuma nemenin." Ish, bisa bayangin yang modelan gini dalam hitungan bulan bakalan jadi Kakak ipar gue?

"Tega banget ama Adik ipar." Cicit gue kesal.

"Belum jadi ya, masih on going." Tersenyum kecil kita berdua keluar dari rumah.

Diperjalanan gue ngabarin Mas Langit kalau gue udah jalan sama Ama, Mas Langit sempet nanya gue mau kemana soalnya Mas Langit bilang mau jemput pas pulangnya tapi gue nggak mungkin jujurkan? Makin ribet yang ada tar.

"Siapa?" Tanya Ama.

"Mas Langit, gue nggak mungkin ngasih tahu kita mau kemanakan Ma? Walaupun udah jalan tiga minggu tapi Mas Langit belum ngomong apapun sama gue, dia belum nentuin pilihannya." Jelas gue sedikit meringis.

"Nga lo sadar nggak sih, satu bulan yang lo maksud itu cuma kaya berlakunya buat lo doang, Mas Langit nggak ngelakuin apapun, dia tetap perhatian bahkan selalu nanyain lo ke gue." Gue tersenyum kecil.

"Paling itu karena rasa bersalahnya Ma." Gue yakin, Mas Langit bersikap baik cuma karena merasa masih bertanggungjawab sama gue, bagaimanapun gue masih istrinya.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang