(38)

4.5K 505 89
                                    

"Dek, kalau Ama masuk ke Kartu Keluarga kita oke nggak?" Hah? Abang gue ngomong apaan?

"Brukk!" Ini suara apaan lagi, mengabaikan tatapan kaget gue ke Bang Jian, gue bangkit dari ranjang berlari masuk ke kamar mandi.

"Ya Allah, Ma, ngapain duduk dilantai?" Kaget gue ngebantuin Ama berdiri.

"Kepleset gila." Kesal Ama mulai mengusap pantatnya, mendadak suasana jadi aneh bin ajaib, Bang Jian juga kesambet apaan?

"Abang keluar sebentar, ada perlu di kantor." Hah? Kantor? Kalau masih ada perlu ngapain pulang Bang? Nggak waras kayanya.

"Nga kuping gue nggak salah dengarkan? Abang lo ngomong apaan barusan?" Giliran Ama yang natap gue nggak percaya, apaan elah ni orang berdua?

"Lo punya hubungan apa sama Abang gue? Ngaku lo." Gue mulai curiga, Mas Langit harus tahu ni.

"Ngbak, gue nggak tahu apapun ya, gue kayanya harus pulang sekarang deh Nga, tar gue kabarin." Tanpa ba bi bu, Ama langsung angkat kaki dari rumah gue, wah beneran kacau kayanya.

"Abang, duduk." Ucap gue udah nungguin Bang Jian keluar kamar dari tadi, ke kantor? Sejak kapan kantor pindah cabang dirumah? Ni orang tua udah lama nggak gue interogasi kayanya, sebelum gue pindah ada yang harus gue luruskan.

"Jelasin, maksud Abang nanya kaya tadi apaan? Abang suka sama Ama?" Tanya gue natap Bang Jian menyipitkan mata.

"Memang keliatan ya Dek?" Hah? Abang gue waras nggak sih?

"Jadi beneran suka? Abang bisa suka sama perempuan juga?" Dan satu jitakan mendarat tepat di jidat gue.

"Nanya ya nanya aja Dek, nggak usah ngatain juga, kalau nggak suka sama perempuan terus Abang suka sama apa? Laki-laki, Abang jadi selingkuhannya Langit memang kamu mau?" Kesal Bang Jian ngejitak gue.

"Mas juga santai, tangan nggak usai main melayang ke kepala Adeknya bisakan? Jadi sejak kapan? Bisa ya Mas nggak cerita sama aku, Abang apaan modelan begini?" Gue mulai menatap Bang Jian meremehkan ala-ala, haha Abang gue bisa suka sama perempuan juga ternyata.

"Ya dibilang suka nggak juga cuma lama kelamaan Abang perhatiin kayanya Ama cocok masuk ke Kartu Keluarga kita."

"Siapa?" Dan tiba-tiba Mas Langit ikut nimprung.

"Ini Mas, masa Bang Jian suka sama Ama?" Jelas gue masih nggak percaya.

"Oh! Hebat lu, ngikutin jejak gue, nyari istri muda." Ish gue jitak juga kalau gak inget suami.

"Kalian berdua bisa serius nggak sih?" Tanya gue natap kesal Mas Langit sama Bang Jian bergantian.

"Udah serius ini." Jawab mereka kompak.

"Jadi gimana? Ama cocok nggak? Kamu setujukan Dek? Gimana Lang?" Kali ini Bang Jian terlihat serius.

"Yang mau berkeluargakan Abang kenapa malah nanya kita berdua? Aneh banget, itu calon istri Mas apa calon istri bersama?" Dan lagi-lagi satu jitakan hampir melayang ke kepala gue kalau nggak ada Mas Langit yang ngusap kepala gue lebih dulu.

"Istri gue ni." Cicit Mas Langit ke Bang Jian.

"Yang bilang istri tetangga memang siapa?"

"Tetangga lo kan gue." Balas Mas Langit lagi, apaan elah pembahasannya, gue lagi serius ini.

"Lagian otak ni bocah kayanya kurang jalan, masa iya gue nikah nggak nanya pendapat keluarga, memang bener dia bakalan jadi istri gue tapi dia hidup kan nggak cuma bareng gue sendiri, sama lo pada juga." Jelas Bang Jian geleng-geleng kepala natap gue.

Seketika gue malah cengengesan, oh iya ya yang diomongin Bang Jian bener juga, menikah itu artinya kita bukan hanya menikahi orangnya tapi keluarganya juga, serasa tamparan banget buat gue.

"Mas, bisakan stop manggil aku bocah? Udah nikah juga masih aja dipanggil bocah."

"Udah dasarnya bocah yaudah bocah aja." Ish, kudu gigit jari kalau terlalu lama ngadepin Bang Jian.

"Yaudah jadi intinya gimana? Mas serius mau Ama masuk Kartu Keluarga kita?" Kali ini gue yang serius.

"Menurut kalian?" Lah ditanya balik lagi.

"Sama gue sah-sah aja, lo single si Ama juga single, cocok udah." Enteng banget suami gue kalau ngomong.

"Tapi Mas cinta nggak sama Ama? Jangan mainin perasaan perempuan Mas, berat." Gue menanggapi.

"Apa Mas harus cinta dulu?" Kan kan ditanya balik lagi.

"Aku nanya sama Mas kenapa selalu Mas tanya balik?" Kesal gue udah sampai ke ubun-ubun.

"Mas menikahi kamu juga tanpa cinta diawal, cinta bukan suatu syarat dalam pernikahan tapi yang Mas harus cintai itu perempuan yang sudah Mas nikahi, istri Mas, kamu! Apa Mas salah?" Lagi-lagi Mas Langit mewakili.

"Gue yang ngajarin lo ngomong ngalus gitukan? Hebat." Bang Jian ketawa nggak jelas.

"Lo ngajarin gue buat ngalusin anak perempuan orang bukan ngajarin gue cara ngerayu istri." Ini apaan lagi?

"Kalian berdua bener-bener ya." Gue udah nggak tahan ngadepin mereka berdua, gue balik masuk ke kamar adalah cara paling ampuh buat menghindari mereka berdua, kacau banget tu orang tua.

"Udah siap semua Nga?" Gue menggertakkan gigi gue begitu kepala Mas Langit muncul dibalik pintu.

"Udah, Mas ada barang yang mau dibawa lagi?" Tanya gue masih rada kesal.

"Enggak, mau ikut Mas sebentar? Kita keluar." Satu usapan Mas Langit disetiap helaian rambut gue sukses besar membuat rasa kesal gue ngambang gitu aja.

"Kemana?" Tanya gue jauh lebih lembut.

"Kamu akan tahu nanti, Mas tunggu dibawah jadi jangan lama."

"Heummm." Begitu Mas Langit keluar gue langsung beberes dan turun nemuin Mas Langit dibawah.

"Mau pakai mobil apa motor?" Tawar Mas Langit, gue melirik keluar jendela dan cuaca cukup cerah.

"Motor aja boleh Mas." Mas Langit tersenyum sekilas dan mengangguk pelan.

Hampir setengah jam lebih Mas Langit mengendarai motornya, gue hampir aja ketiduran kalau nggak ada tangan Mas Langit yang nepuk tangan gue sesekali, ah kacau banget, bisa-bisanya tidur dimotor, nggak salah juga sih, anginnya mendukung.

"Tahu gini mending bawa mobil." Cicit Mas Langit nyupit pipi gue.

"Sorry Pak bos, kita dimana?" Gue tersenyum kecil dan mulai melirik kesekitar, kita didepan sebuah rumah dan gue nggak tahu ini rumah siapa.

"Masuk dulu." Jangan bilang ini rumah Om Hanif? Nggak mungkin, perasaan bukan ini rumahnya.

"Rumah siapa sih Mas?" Tanya gue penasaran, ya yang namanya gue, kepo itu adalah sifat akut.

"Rumah kita." Hah? Rumah kita? Nggak jadi pindah ke rumah Om Hanif?

"Ini rumah peninggalan almarhumah Ibu dari Nenek dulu, selama ini rumahnya masih atas nama Papa setelah Ibu nggak ada dan sekarang rumah ini sudah berubah menjadi atas nama kamu." Hah? Apaan lagi sekarang?

"Mas, aku sama sekali nggak butuh apapun dari Mas, ini berlebihan Mas, aku nggak bisa nerimanya." Iya kali rumah dikasih segampang itu ke gue? Gue belum pernah denger pohon berdaun duit soalnya.

"Kita masuk dulu." Mengusap bahu gue, Mas Langit masuk lebih dulu ke dalam rumahnya, walaupun rumahnya sederhana tapi ini cukup nyaman menurut gue.

"Kalau sekarang kita punya rumah ini jadi kita nggak harus pindah ke rumah Om Hanif kan?" Tebak gue sendiri.

"Kita tetap tinggal bareng Papa sampai kita berdua dapat izin suka rela dari Papa untuk mulai hidup mandiri." Dan ini jawabannya.

"Mas, aku beneran nggak bisa terima." Cicit gue balik narik lengan Mas Langit.

"Mas juga nggak bisa berbuat apapun, rumah ini adalah warisan turun temurun dari keluarga Mas, dari Nenek, untuk Ibu dan sekarang rumah ini memang untuk kamu."

"Ini juga akan menjadi rumah untuk anak-anak kita nanti." Ambyar sudah.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang