(42)

4.4K 485 60
                                    

"Sebegitu bagusnya Dinda dimata Mas?" Tanya gue menatap Mas Langit kecewa.

"Dek, kalian kemari mau ngasih solusi buat Abang jadi_"

"Kenapa harus Dinda?" Ulang gue bangkit dari ranjang dan keluar kamar Bang Jian gitu aja.

"Salah ngomong lo kan?" Ucap Bang Jian ke Mas Langit yang masih bisa gue denger.

Lagian Mas Langit sebenernya punya hubungan apa sama Dinda? Apa sebegitu bagusnya Dinda dimata Mas Langit? Apa dia memang suka sama Dinda makanya dia bilang nggak akan nolak perasaan Dinda kalau belum nikah sama gue waktu itu.

Gue masuk ke kamar membaringkan tubuh gue diranjang dan narik selimut untuk nutupin seluruh tubuh gue, gue nggak tahu perasaan gue sekarang kaya apa, intinya gue nggak suka, gue kecewa, gue cemburu. 

"Nga, Mas bisa jelasin." Suara Mas Langit yang diikuti dengan pergerakan disisi ranjang sebelah gue.

"Nggak perlu, Mas memang suka sama Dinda." Lirih gue, nggak boleh nangis Bunga, nggak boleh, disaat kaya gini gue beneran ngerasa kalau gue masih kaya anak kecil banget.

"Mas nggak punya maksud apapun ngomong kaya tadi, Mas nyaranin Dinda tanpa punya maksud lain sama sekali." Jelas Mas Langit yang membuat gue tersenyum miris.

"Nggak punya maksud? Dari sekian banyak perempuan diluar sana kenapa harus Dinda? Apa karena cuma Dinda yang ada dipikiran Mas? Apa cuma Dinda yang bagus dimata Mas?" Tanya gue dengan mata berkaca-kaca.

Gue menurunkan sedikit selimut gue untuk menatap Mas Langit, apa Mas Langit sama sekali nggak ngerti perasaan gue? Ya secara pilihan mungkin memang bener Mas Langit milih gue dan nolak Dinda tapi bukan cuma Dinda yang sakit tapi gue juga.

"Apa Mas pikir karena Mas milih aku jadi cuma Dinda yang kecewa? Apa Mas pikir cuma Dinda yang sakit hati? Aku juga kecewa setiap kali Mas terlihat nggak enak hati karena udah nolak Dinda, hati aku juga sakit setiap kali ngeliat Mas khawatir sama Dinda apa Mas tahu?" Mas Langit cukup tercengang dengan ucapan gue sekarang.

Selama ini gue nahan semua perasaan gue karena mencoba bersikap lebih dewasa, setiap kali Mas Langit ngerasa nggak enak, ngerasa bersalah bahkan nggak tegaan sama Dinda, gue coba ngerti tapi jangan berlebihan juga, diamnya gue malah dikira gue baik-baik aja.

"Apa Mas nggak pernah sadar dengan sikap Mas sendiri? Apa Mas yakin kalau Mas beneran milih aku? Apa Mas yakin kalau Mas cinta sama aku? Aku rasa enggak Mas." Gue nggak mau nangis, beneran.

"Bunga, Nga, Mas minta maaf, Mas sama sekali nggak bermaksud nyakitin hati kamu." Raut bersalah terlihat jelas diwajah Mas Langit.

"Heumm, Mas nggak perlu minta maaf, aku cuma mau istirahat." Memaksakan senyuman, gue kembali narik selimut dan tidur.

Maksud tatapan yang penuh rasa bersalahnya itu apa? Mas Langit ngerasa bersalah apa karena dia baru sadar dengan perasaannya sendiri?

.

"Mas, shalat subuh dulu." Ucap gue membangunkan Mas Langit, menatap gue sayu, Mas Langit bangkit dan berniat mengusap wajah gue sebelum lebih dulu gue elak.

"Aku udah wudhu'." Cicit gue bangkit mulai pakai mukena.

Gue sholat dengan Mas Langit sebagai imam, mengamini setiap doanya, nyalim, beberes dan turun kebawah tanpa berniat mengucapkan sepatah katapun, apa gue marah? Enggak, gue nggak marah, gue hanya memberikan waktu Mas Langit untuk mikirin perasaan dia yang sebenernya untuk siapa.

Gue juga butuh waktu, gue nggak mau menenangkan pikiran gue yang sembraut, apa gue terlalu berlebihan sekarang? Entah, yang bisa gue akui sekarang hanya satu hal, gue cemburu.

"Langit mana Dek?" Tanya Bunda begitu gue turun ke dapur.

"Ada di kamar, Bunda masak apa?" Gue mengalihkan pembicaraan, gue nggak mau Bunda tahu apapun, andai bisa, gue nggak mau Bang Jian tahu juga.

Membantu Bunda menyiapkan sarapan, pagi-pagi banget gue udah minta Ama jemput gue dirumah, dia mau ngomong sesuatu dan gue juga, kalau ada tempat dimana gue bisa cerita, Ama orangnya.

"Bun, aku keluar sama Ama sebentar ya." Pamit gue ke Bunda.

"Kamu ketemu Ama?" Tanya Bang Jian antusias yang memang sedang menyeruput kopinya.

"Heum, kalau gitu aku jalan duluan ya, assalamualaikum." Gue salim dan keluar dari rumah, Ama udah nunggu.

Untuk Mas Langit gue tetap izin kok, cuma lewat chat yang gue kirim sewaktu Mas Langit masih tidur, paling kalau nanti bangun, Mas Langit bakalan baca.

"Lo udah tahu kalau gue nolak Abang lo kan?" Tanya Ama yang gue angguki.

"Alasan gue nolak?" Gue juga mengangguki pertanyaan Ama.

"Nga, gue beneran minta maaf, gue nggak ada maksud buat nyakitin hati Abang lo tapi gue beneran belum siap, gue masih mau memperbaiki diri gue dulu, gue ngerasa kalau gue belum pantes untuk Abang lo." Dan kali ini gue tercengang dengan alasan Ama.

Gue pikir Ama nolak ya karena memang belum siap nikah, belum siap melepas masa remaja, belum siap menanggung beban berumahtangga, gue nggak pernah tahu kalau alasan Ama nolak karena ngerasa kurang sepadan sama Bang Jian.

"Ya Allah, lo mikir apaan sih Ma? Harusnya lo ngomong kaya gini sama Bang Jian jadi Bang Jian nggak akan salah paham, kalau lo ngomong kaya gini, Bang Jian pasti bakalan mikirin solusi lain." Geram gue.

"Memang Abang lo mikir apa?" Pada akhirnya gue menjelaskan kesalahpahaman Bang Jian, Mas Langit bahkan gue juga, gue minta maaf untuk itu, gue salah karena mikir aneh, gue bahkan nggak kenal dengan sahabat gue sendiri.

"Nanti coba gue omongin sama orangnya lagi." Gue mengganguk setuju.

"Lo sendiri kenapa? Gue tahu lo punya masalah jugakan?" Gue tersenyum dan narik nafas dalam dengan tebakan Ama, Ama bahkan jauh lebih ngerti gue.

Singkat kata akhirnya gue juga cerita ke Ama masalah gue sama Mas Langit, bukan maksud mau ngumbar masalah rumah tangga gue tapi gue sendiri juga butuh tempat bicara hanya sekedar mengurangi beban gue.

"Lo juga nggak bisa bersikap kaya gini sama Mas Langit, oke katakanlah sikap Mas Langit salah tapi apa lo bakalan terus ngebiarin masalah kaya gini berlarut?" Gue menggeleng.

"Gue cuma mau ngasih Mas Langit waktu untuk beneran yakin sebenernya perasaannya untuk siapa? Gue nggak mau Mas Langit salah paham dengan perasaannya ke gue, gue takut perasaan yang dimaksud cinta sama Mas Langit ternyata hanya rasa nyaman seiiring kebersamaan kita berdua."

"Terus kalau ternyata yang lo takutkan itu bener, apa lo mau pisah sama Mas Langit? Enggakkan Nga? Mau lo jujur atau enggak yang gue liat sekarang, sahabat gue udah jatuh cinta sama suaminya, apa gue salah?" 

"Gue memang cinta sama suami gue tapi gue juga nggak mau nyiksa Mas Langit untuk tetap tinggal, gue juga mau Mas Langit bahagia."

"Dan gimana sama perasaan lo? Apa lo nggak mau bahagia?"

"Mungkin gue akan bahagia kalau ngeliat Mas Langit bahagia dengan orang yang bener-bener dia cinta."

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu