(36)

4.7K 491 110
                                    

"Pilihan yang Papa kasih nggak akan berubah, pertimbangkan semuanya dalam satu minggu, kamu yang pindah atau semua harta peninggalan Ibu kamu yang Papa pindah alihkan." Ucap Om Hanif tegas.

Apa perlu semuanya dipersulit kaya gini? Mas Langit aja nggak pernah mau mempermasalahkan soal harta warisannya tapi kenapa itu malah jadi masalah besar untuk keluarga yang lain?

Memperhatikan Om Hanif sekilas, gue berbalik menatap Mas Langit yang terlihat mulai menggepalkan kuat jemarinya, gue ikut mengusap kedua tangan Mas Langit dengan harapan Mas Langit bisa sedikit tenang.

"Apa Papa harus bertindak sejauh ini?" Tanya Mas Langit sesangat dingin, tatapan dingin dari seorang Langit beneran terasa asing untuk gue.

"Kamu yang meminta Papa melakukan itu." Mas Langit menganggukkan kepalanya pelan sembari tersenyum miris, lelaki yang biasanya ceria sama suka bercanda tiba-tiba bisa mengeluarkan tatapan dinginnya itu beneran nggak baik menurut gue.

"Baik, kalau memang itu kemauan Papa, aku akan pindah tapi dengan satu syarat, aku nggak mau serumah sama Bintang." Ucap Mas Langit tegas.

"Mas!" Gue khawatir.

"Aku nggak akan basa-basi, awalnya aku berharap Papa akan sedikit mengerti posisi aku sekarang, seharusnya semua udah cukup jelas, saat aku bilang kalau aku punya keluarga aku sendiri sekarang, apa Papa belum ngerti juga?"

"Bunga! Apa Papa pernah beneran mikirin perasaan aku sama Bunga? Apa Papa pernah mempertimbangkan perasaan kami berdua kalau harus hidup serumah sama mereka?" Tanya Mas Langit menatap Mas Bintang sama Bu Lia dengan dagunya.

"Maksud lo apaan? Lo ngusir gue?" Mas Bintang bangkit dari duduknya detik itu juga, Mas Bintang menatap Mas Langit nggak suka dan Bu Lia juga melakukan hal yang sama sewaktu melirik gue.

"Dan lo jelas tahu alasan gue nggak bisa serumah sama lo kenapa?" Mas Langit juga terlihat nggak suka.

"Sama halnya Papa, aku punya tanggung jawab juga sekarang, aku punya hati yang harus aku jaga jadi sekarang semuanya juga terserah Papa, aku pindah masuk itu artinya Bintang yang harus pindah keluar dari rumah."

"Dan untuk lo, gue nggak pernah bilang ngusir, kenapa? Karena gue akan menjamin tempat tinggal yang layak untuk lo sama Lia, cuma itu yang bisa gue kasih sebagai seorang Kakak."

"Sama halnya Lia yang sangat penting untuk lo, Bunga juga yang terpenting untuk gue sekarang, lo bisa bertanggung jawab untuk istri lo dan gue bisa bertanggung jawab untuk perasaan istri gue juga." Mas Bintang belum merespon apapun.

"Ini jawaban aku jadi Papa nggak harus nunggu seminggu, semuanya balik lagi terserah Papa, sehari setelah Bintang pindah, aku akan masuk ke keluarga Hanif seperti mau Papa, aku rasa itu udah cukup adil."

Gue udah nggak ngerti harus bersikap kaya apa? Ya walaupun agak berat di Mas Bintang tapi gue rasa pilihan Mas Langit juga cukup adil, gue nggak mau hidup dengan seseorang yang udah ngasih bekas luka mendalam untuk gue.

Tapi kalau gue pikir panjang juga, apa Tante Indah mau terima kalau Mas Bintang harus keluar dari rumah? Mana mungkin Tante Indah bakalan terima gitu aja anak kandungnya keluar sebagai syarat anak tirinya bersedia tinggal, itu juga nggak bakalan mudah.

"Ada yang mau dibahas lagi?" Suara Mas Langit balik memecah keheningan.

"Bintang akan pindah jadi kamu juga harus menepati ucapan kamu." Ucap Om Hanif tegas.

"Pa! Kenapa harus aku yang keluar? Apa aku bukan putra Papa?" Mas Bintang marah sekarang.

"Kamu juga putra Papa, kamu atau Langit nggak ada bedanya tapi rumah yang kita tempati sekarang adalah milik almarhumah Ibunya Langit, semua yang kita punya sekarang milik Langit." Jelas Papa yang membuat Mas Bintang semakin kehilangan akal.

"Papa pamit pulang sekarang, segera urus kepindahan kalian berdua." Dan Papa keluar dari rumah gue gitu aja.

"Lo akan nyesel, gue jamin." Sama halnya Om Hanif, Mas Bintang dan Bu Lia juga bangkit keluar dari rumah gue gitu aja, kenapa keadaan seakan makin kacau.

"Mas, Mas yakin dengan pilihan Mas? Bukannya dengan minta Mas Bintang keluar dari rumah cuma akan menambah masalah?" Tanya gue masih belum melepaskan tangan Mas Langit.

"Apa Mas punya solusi lain? Kalau semua peninggalan Ibu di alihkan ke Mas itu artinya Papa juga akan hidup sederhana, Papa mungkin nggak akan jatuh miskin karena bagaimanapun Papa berhak untuk kerja kerasnya selama ini." Gue mengiakan.

"Mungkin bagi kita berdua bukan masalah besar hidup sederhana seperti sekarang tapi gimana dengan Papa? Tante Indah nggak akan terima, belum lagi Jun yang masih SMP, pilihan Mas hanya cara memberikan keluasan untuk mereka apa Papa belum ngerti?"

"Bintang juga, apa selamanya dia mau bergantung dengan Papa? Dia punya keluarganya sendiri sekarang, sampai kapan dia mau tinggal dan bergantung sama Papa? Bintang sama Lia mereka berdua punya perkerjaan tetap, seharusnya mereka bisa menjadikan itu awal untuk bisa hidup lebih mandiri."

"Mas seperti ini bukan karena Mas membenci tapi Bintang terlalu nyaman dengan semua fasilitas yang diberikan Papa, Mas sama sekali nggak berniat menyulitkan hidup mereka, belajar hidup dengan penghasilan sendiri nggak ada salahnya." Untuk kesekian kalinya gue balik tercengang dengan pemikiran suami gue, wah gue aja sama sekali nggak berpikiran sejauh itu.

"Tapi kalau Mas Bintang pindah, Tante Indah juga pasti nggak bakalan terima Mas." Gue tetap terganggu dengan ini.

"Mas nggak bisa menjaga perasaan semua orang, mengenai Tante Indah itu akan jadi tanggung jawab Papa, Papa akan cari solusinya, Mas nggak mungkin mengabaikan perasaan kamu lagi." Tangan Mas Langit kembali mengusap kepala gue yang masih tertutup kerudung.

"Andai Mas bisa, Mas lebih milih hidup berdua sama kamu, walaupun harus sederhana tapi kita bahagia, Mas nggak harus memikirkan perasaan orang lain, Mas hanya perlu membahagiakan kamu."

Dengan senyum tipis, gue memberanikan diri mengecup kening Mas Langit pelan, memejamkan kedua mata gue ikut menenangkan hati yang seakan ikut terasa bimbang, ada yang salah menurut gue.

"Mas, boleh aku ngasih pendapat?" Cicit gue nggak yakin, iya kali bocah kaya gue mau ngasih pendapat.

"Apa?" Mas Langit sama sekali belum melepaskan usapannya dikepala gue yang sesekali beralih mengusap kedua pipi gue juga.

"Mungkin aku bakalan keliatan plin-plan sekarang tapi aku rasa pilihan kita tetap salah, bukannya Mas yang selalu bilang kalau kita nggak bisa bersikap keras dengan orang tua? Menentang atau memberikan pilihan yang berat kaya gitu nggak akan berhasil Mas."

"Minta Mas Bintang pindah itu sama aja kita ngajak perang, orang yang nggak suka nggak akan akan pernah mau ngerti niat baik kita, untuk apa kita pindah dan menyenangkan Papa tapi Mas Bintang bahkan Tante Indah malah akan semakin mendemdam? Mereka semakin membenci?"

"Aku tahu Mas menolak pindah karena mikirin perasaan aku dan jujur juga, aku bahagia banget dengernya, Mas lebih milih ngejaga perasaan aku dari pada memiliki warisan orang tua Mas, aku bahagia, sangat."

"Tapi aku juga nggak mau gara-gara aku, hubungan Mas dengan keluarga Mas semakin memburuk, mau bagaimanapun Mas Bintang tetap adiknya Mas, sebagai anak tertua bukannya Mas harus lebih bijak dan bisa mengayomi kedua adik Mas?"

"Kamu yakin? Mas nggak akan maksa kamu." Tanya Mas Langit seolah mengerti maksud ucapan panjang kali lebar gue barusan.

"Memang Mas tahu aku mau bilang apa?" Tanya gue balik tersenyum kecil.

"Kamu mau kita pindah tinggal bareng Papa tapi Bintang sama Lia nggak harus keluar dari rumah, apa Mas salah?"

"Enggak, suami aku bener." Gue mencoba tertawa lepas.

"Ayo kita coba Mas, terkadang cara terbaik untuk berdamai dengan hati adalah dengan mengiklaskan keadaan." Mas Langit lagi lagi malah tersenyum manis dengan ucapan gue, karena gue masih bocah dikata gue nggak bisa serius apa yak?

"Jadi gimana?" Gue mulai kesal soalnya Mas Langit cuma senyam-senyum doang.

"Baik tapi Mas punya syarat juga." Ish orang tua, sama istri aja perhitungan.

"Apa?"

"Mas mau kamu." Beuh, dasar orang tua modus.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang