(25)

4.3K 506 67
                                    

"Terus mau Mas sekarang apa?" Berasa kaya lagi nantanginkan gue?

"Mau Mas? Kamu yakin mau tahu?" Gue mundur selangkah karena tatapan Mas Langit yang meragukan sekali menurut gue.

"Mas mau apa udah buruan?" Desak gue, dikamar mandi bukannya adem tapi malah tambah panas.

"Lulus dengan nilai baik dan jadi istri yang baik untuk Mas juga, cuma itu jadi sekarang buruan beberes, kita ketempat Bunda." Mas Langit nyentil kening gue sekali dan mundur dari ambang pintu.

Begitu pintu di tutup gue langsung menyunggingkan senyuman dengan nafas yang udah beneran lega, untung Mas Langit nggak minta aneh-aneh, hampir aja gue jantungan sama tatapannya.

"Oh ya Mas hampir lupa." Tiba-tiba pintu kamar mandi balik dibuka.

"Yakkk! Apaan sih Mas?" Kaget gue, kalau gue udah buka baju gimana? Wah kacau ni orang tua, kacau.

"Cemburu itu artinya sayangkan? Apa kamu mulai sayang sama Mas?" Gue nelen ludah gugup sama pertanyaan Mas Langit.

"Mas sendiri? Mas sayang nggak heummm, sama Bunga?" Nanya tapi natap langit-langit kamar.

"Nggak ada suami yang nggak sayang sama istrinya Bunga!"

.

"Udah?" Gue mengangguk pelan begitu nemuin Mas Langit yang udah lebih dulu selesai beberes.

"Heumm, Mas, tapi!" Gue menggantungkan kalimat gue sendiri, gue beneran belum yakin untuk nemuin Bunda sekarang.

"Sekarang atau nanti nggak akan jauh berbeda Bunga, lebih cepat kita menemui Bunda, Mas rasa itu pilihan lebih baik, Mas cuma nggak mau Bunda merasa kita abaikan perasaannya kalau kita terus nunda, apapun reaksi Bunda itu urusan belakangan yang penting Bunda harus tahu kalau perasaan Bunda juga penting untuk kita." Adem banget gue dengernya.

Gue nggak tahu pemikiran Mas Langit yang memang selalu mikir positif begini atau semua orang tua kaya gini? Bareng Mas Langit malah ngebuat gue ngerasa kalau selama ini gue masih sangat kekanak-kanakan, gue bahkan nggak bisa ngelakuin apapun dengan benar kalau sendirian.

"Kita berangkat sekarang?" Walaupun masih meragu, gue mengangguk pelan dan melangkah mengikuti Mas Langit dengan nafas tertahan, semoga Bunda bisa bersikap lebih baik.

"Assalamualaikum!" Ucap gue begitu mengetuk pintu rumah.

"Waalaikumsalam!" Gue membulatkan mata gue begitu tahu yang ngebukain pintu rumah gue siapa.

"Dil? Lo ngapain dirumah gue?" Tanya gue kaget, bukan cuma gue, Mas Langit juga terlihat sama terkejutnya.

"Gue dateng bareng Mama, Bunda lo sakit memang lo nggak tahu?" Hah! Astagfirullah, gue beneran nggak tahu.

Mendorong tubuh Fadil dari ambang pintu, gue berlari menaiki tangga langsung masuk ke kamar Bunda, kenapa gue bisa nggak tahu kalau Bunda lagi sakit? Bang Jian juga nggak ngomong apapun sama gue.

"Bunda kenapa?" Tanya gue langsung menggenggam tangan Bunda yang berbaring pucat di kamarnya, gue juga melirik Tante Dian Mamanya Fadil sekilas yang memang duduk ditepi ranjang.

"Bunda kamu cuma kecapean Nga, udah Tante kasih vitamin!" Jelas Tante Dian yang langsung gue angguki.

"Bunda gimana Nga?" Gue berbalik dan mendapati Mas Langit udah berdiri dibelakang gue.

"Bunda cuma kecapean Mas!" Balas gue sesangat lega tapi enggak dengan tatapan Bunda yang masih setia mendiamkan gue bahkan nggak mau natap Mas Langit sama sekali.

"Ini siapa Bunga?" Tanya Tante Dian yang membuat gue sedikit tersentak gelagapan.

"Cuma anak tetangga depan rumah!" Jawab Bunda yang membuat gue menatap Mas Langit khawatir.

Ini yang gue takutkan, kehadiran gue sama Mas Langit nggak akan mengubah pemikiran apalagi perasaan Bunda, kemarahannya belum mereda dan sikapmya ke Mas Langit juga nggak baik, gue nggak mau keadaan kaya gini berlanjut lama.

"Dia suami Bunga Tan." Gue nggak akan melangkah mundur lagi, Bunda berhak melampiaskan kemarahannya tapi gue juga punya kewajiban menghargai suami gue.

"Kamu jadi nikah? Bukannya udah batal?" Tanya Tante Dian semakin kaget, batal? Apa Tante Dian nggak dateng pas acara pernikahan gue? Walaupun kecil-kecilan harusnya sebagai sahabatnya Bunda, Tante Dian udah tahu.

"Heumm, tapi kenyataannya Mas Langit suami Bunga Tan!" Gue tersenyum tipis untuk menenangkan suasana.

"Suami? Suami yang bisanya cuma nyusahin, nggak punya apapun tapi beraninya menikahi anak saya! Semenjak menikah dengan dia, Bunga selalu membantah ucapan Bundanya sendiri, apa itu yang namanya suami?" Bunda nggak mau mengalah.

"Bunda! Bunga mohon, Bunga sama Mas Langit kemari mau ngejengukin Bunda bukan mau berdebat." Gue bangkit melepaskan genggaman gue ditangan Bunda.

"Terus aja ngebelain suami miskin kamu." Ya Allah, gue meneteskan air mata mendengar ucapan Bunda, ini nggak akan berhasil.

Dalam diam, gue mengusap air mata dan keluar dari kamar Bunda gitu aja, mengabaikan Fadil yang menatap gue kecewa tapi gue peduli apa? Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan Fadil, ini masalah keluarga gue.

"Apa lo puas ngeliat Bunda lo sakit kaya gitu Nga?" Tanya Fadil berhasil ngejar gue sebelum tangan gue menyentuh gagang pintu.

"Mulut lo bisa diem nggak? Lo itu nggak tahu apapun jadi jangan asal ngomong." Balas gue menatap Fadil semakin nggak suka, gue udah gerah jadi jangan di pancing lagi.

"Gue tahu semuanya! Lo nikah sama Mas Langit cuma untuk nutupin malu keluarga karena Pak Bintang ninggalin lo tepat dihari pernikahan lo berduakan? Gue juga tahu kalau Bunda lo nggak setuju sama Mas Langit karena dia miskin dan yang terpenting gue juga tahu kalau lo sama sekali nggak cinta sama suami lo." Gue tersenyum sinis untuk ucapan Fadil.

"Lo bener! Semua yang lo ucapain itu bener, nggak ada yang salah." Jawab gue yang membuat Fadil menyunggingkan senyumannya.

"Kesalahan lo cuma satu, lo salah kalau mikir gue nggak cinta sama suami gue, denger dan catat omongan gue sekarang, gue akan ngelakuin apapun untuk membuat Mas Langit bertahan disisi gue, gimanapun caranya." Kesabaran gue udah di uji dengan sikap Bunda, apa gue harus meladeni Fadil juga sekarang?

"Lo kira Mas Langit beneran suka sama lo? Palingan laki-laki miskin dengan tampang pas-pasan kaya dia itu cuma mau harta lo doang, percaya sama gue." Yak.

"Gue nggak punya alasan apapun untuk percaya sama ucapan lo."

"Denger ya Dil, ini rumah tangga gue dan Mas langit itu suami gue jadi gue yang lebih tahu dia gimana, lo berhak ngomong apapun tapi jangan sekali-kali lo menilai rendah suami gue."

"Bukannya suami lo memang rendahan? Laki-laki mana yang mau nampung buangan orang lain?" Dan disaat tangan gue berniat nampar Fadil, Mas Langit narik tubuh gue berbalik dan membawa gue masuk dalam dekapannya.

"Kalau barang buangan yang anda maksud adalah berlian yang sangat berharga untuk saya, bukannya anda bisa dikatakan lalat yang selalu terbang didekat sebuah penampungan?"

"Anda berhak mengatakan apapun untuk saya tapi jangan pernah menilai istri saya sesuka hati anda, akan saya pastikan, buangan yang anda maksud akan saya pertahankan apapun dan bagaimanapun caranya!"

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang