(22)

4.4K 486 61
                                    

"Itu Bintang!" Potong Mas Langit berbalik menatap gue.

Mata gue langsung berkaca-kaca menatap Mas Langit, apa ini alasan Mas Bintang ninggalin gue? Apa karena Mas Bintang lebih memilih Bu Lia? Kalau memang iya kenapa Mas Bintang nggak jujur? Setidaknya gue nggak harus terjebak dalam pernikahan tanpa cinta kaya gini.

"Mas Bintang ninggalin Bunga karena lebih milih Bu Lia, Mas." Tepat saat bulir pertama air mata gue jatuh, Mas Langit membawa gue masuk dalam dekapannya.

Dalam pelukan Mas Langit gue juga menyadari satu hal, alasan Bu Lia mutusin Mas Langit apa karena Mas Bintang? Bu Lia suka sama sahabat pacarnya sendiri? Apa itu adil?

"Kenapa harus kita berdua yang menderita Mas? Kenapa mereka bisa berbahagia tanpa pernah mikirin nasib kita?" Lirih gue mulai sesegukan.

"Kita akan bahagia, Insyaallah!" Mas Langit melepaskan dekapannya di tubuh gue dan mengusap air mata gue dengan ibu jarinya.

"Ayo temui pengantinnya!" Gue menggeleng cepat.

"Untuk apa? Apa supaya mereka bisa ngeliat kehancuran kita berdua?"

"Bukan! Untuk ngasih tahu mereka kalau kita berdua juga bisa berbahagia!" Mas Langit tersenyum menenangkan dan menggenggam tangan gue erat berjalan mendekat menemui pengantinnya.

Gue terus menunduk mencoba menguatkan hati gue menemui Mas Bintang dan Bu Lia, hal terberat yang pernah gue hadapi adalah menikah dengan Mas Langit secara tetiba tapi kenyataan yang gue dapati sekarang juga menjadi hal tersulit yang harus gue hadapi selanjutnya.

"Selamat!" Ucap Mas Langit menjulurkan tangannya ke Mas Bintang lebih dulu.

Seketika suasana di antara kita berempat menjadi sangat canggung, gue masih setia mengeratkan genggaman gue ditangan Mas Langit tanpa berniat mengeluarkan sepatah katapun.

Jujur bukan gue nggak ingin mengucapkan sepatah katapun tapi gue nggak bisa, satu kata yang gue paksakan akan berakibat ke pecahnya isak tangis yang dengan susah payah gue tahan.

"Langit! Lo_-"

Mas Bintang menerima uluran tangan Mas Langit dengan tatapan terkejutnya, nggak jauh berbeda dari Mas Bintang, Bu Lia melakukan hal yang sama, Bu Lia terlihat juga sangat kagetnya memperhatikan gue sama Mas Langit.

"Selamat." Mas Langit tersenyum menenangkan sesekali melirik gue, gue hanya membalas senyuman Mas Langit dengan senyum yang gue paksakan.

"Lo ngapain disini? Untuk apa lo ngajak Bunga juga?" Tanya Mas Bintang terlihat sangat nggak suka, gue yang mendengar nama gue disebut langsung mendongak menguatkan hati menatap lelaki yang ninggalin gue tanpa kabar apapun itu.

"Selamat Pak, selamat Bu!" Ucap gue tersenyum, seketika raut bersalah terlihat jelas dari wajah Mas Bintang.

"Bunga, Mas__"

"Sekali lagi selamat!" Ulang gue bukan menatap kedua pengantin tetapi menatap Mas Langit yang tangannya masih setia menguatkan gue.

"Lo sengaja ngajak Bunga kemari?" Tanya Mas Bintang terlihat emosi.

"Gue datang memang tanpa undangan dari siapapun." Jujur gue sendiri cukup kaget, pantes pas gue tanya undangannya mana nggak di jawab, tapi gimana caranya gue sama Mas Bintang bisa masuk?

"Dan untuk Bunga, terimakasih karena lo ninggalin Bunga tepat dihari pernikahan kalian."

"Maksud lo apaan? Lo mau ngancurin pernikahan gue? Bunga, Mas bisa je__"

Dan detik itu juga Mas Langit narik gue mundur, tatapan Mas Bintang semakin penuh amarah.

"Mas bisa jelasin semuanya, Mas akan nemuin kamu secepatnya." Gue tersenyum miris dengan ucapan Mas Bintang, apa katanya? Penjelasan? Nenuin gue? Untuk apa lagi?

"Lo nggak bisa nemuin Bunga tanpa izin gue." Mas Bintang mengusap lengan gue.

"Memang lo sia__"

"Bunga istri gue sekarang." Gue menunduk dan udah pasrah, gue nggak pernah nyangka kalau Mas Bintang bisa sejahat ini.

"Bunga istri lo? Nggak usah ngayal, gue tahu lo sakit hati di tinggalin Lia tapi menganggap Bunga istri lo juga percuma Lang, itu nggak masuk akal." Hah! Nggak masuk akal? Terus apa Mas Bintang pikir yang dia lakuin sama Bu Lia sekarang itu masuk akal? Gila ya.

"Sakit hati itu bukan untuk hal kaya gini Tang, kecewa mungkin tapi kenyataan Bunga sekarang menjadi milik gue juga nggak butuh pengakuan lo, gue sama Bunga nggak butuh itu." Mas Langit bahkan tersenyum menanggapi sikap Mas Bintang.

"Bunga, Maaf Mas ninggalin kamu, Mas nggak bisa memaksakan perasaan Mas ke kamu Bunga! Maaf."

"Maaf! Apa Bapak pikir maaf Bapak bisa menggantikan rasa malu keluarga saya? Jangan pernah membahas masalah perasaan ke saya kalau nyatanya Bapak sendiri hidup tanpa pernah punya perasaan." Ucap gue menatap Mas Bintang penuh amarah.

Tahu apa Mas Bintang masalah perasaan? Lelaki baik nggak akan menyakiti hati perempuan, gue tahu perasaan nggak bisa dipaksakan tapi apa nggak bisa semuanya dibicarakan baik-baik? Gue juga akan mundur kalau memang Mas Bintang lebih milih Bu Lia tapi bukan kaya gini caranya.

"Mas, Bunga mau pulang." Gue menatap Mas Langit sekilas yang langsung diangguki.

"Tapi kamu nggak beneran nikah sama Langitkan?" Pertanyaan Mas Bintang yang membuat gue memberhentikan langkah.

"Apa Bapak pernah melihat saya keluar dengan laki-laki tanpa ada ikatan apapun?" Tanya gue balik sembari menyunggingkan senyuman.

Gue sama Mas Langit hanya saling menatap dan milih langsung pulang, mungkin kado ter wah untuk pernikahan Mas Bintang adalah kedatangan gue sama Mas Langit tanpa undangan siapapun.

"Kerja bagus!" Ucap Mas Langit begitu kita berdua sampai diluar.

"Mas juga, kerja bagus!" Gue memaksakan senyuman gue dan menunduk narik nafas pasrah.

Ya sebagus apapun jawaban gue sama Mas Langit didepan mereka berdua tadi, yang namanya di khianatin dan ditinggal tanpa pemberitahuan apapun itu tetap sakit, Mas Langit juga nggak perlu bohong didepan gue, gue tahu rasanya kaya apa.

"Mas okey?" Dan Mas Langit menggeleng pelan, benerkan.

"Bunga juga Mas, terus sekarang laper lagi." Cicit gue narik nafas panjang, mau gimanapun keadaannya, sakit hati itu menguras energi, perut meronta minta makan.

"Kamu laper?" Pakai ditanya.

"Enggak! Cuma mau ngajak Mas makan." Mas Langit tersenyum tipis dan nyubit pipi gue pelan.

"Dasar tukang makan, disituasi kaya ginipun masih mikir makan."

"Mas, masalah hati sama perut itu dua hal berbeda, jangan jadi perempuan bodoh yang mogok makan cuma karena patah hati, memang yang nyakitin bakalan peduli? Enggak! Kalau mereka sepeduli itu mereka juga nggak bakalan nyakitin." Satu tepuk tangan mendarat di depan muka gue.

"Tumben pinter, yaudah mau makan apa?" Mas Langit udah serius banget natap gue.

"Makan hati, huwaaaaa!" tangis gue pecah.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now