(5)

6K 522 21
                                    

"Bunga! Ayo kita menikah!" Empat kata dari Mas Bintang yang membuat gue membulatkan mata nggak percaya.

"Bunda masuk dulu, kalian juga bicara di dalam!" Lanjut Bunda seolah memberi ruang untuk gue sama Mas Bintang bicara.

Setelah Bunda masuk, gue cuma menatap Mas Bintang penuh tanda tanya, sekarang apa lagi yang ada dalam pikiranya Mas Bintang? Kenapa mendadak malah berubah pikiran? Bukannya Mas Bintang nggak mau menikah dalam waktu dekat karena sekarang gue masih siswinya?

"Mas nggak disuruh masuk?" Tanya Mas Bintang masih setia membalas tatapan penuh tanya gue.

"Bukannya Bunda udah nyuruh tadi? Masuk ya masuk aja!" Balas gue lagi, kita berdua ngomong dengan mata yang masih tertaut, gue butuh penjelasan.

"Tapi kamu menghalangi pintu!" Gue menggeser tubuh gue beberapa langkah dalam diam, ni orang aneh bin ajaib banget.

Mendapati Mas Bintang udah duduk diruang tamu dengan begitu santainya, gue juga beranjak dari ambang pintu dan beralih masuk berniat langsung naik ke atas masuk ke kamar gue.

"Bu_"

"Apa lagi?" Potong gue berbalik menatap Mas Bintang masih nunggu penjelasan.

"Kamu mau kemana?"

"Masuk kamar, kenapa? Buruan ngomong mau apaan? Jangan belibet bisakan?"

"Ayo menikah!" Ulang Mas Bintang yang membuat gue semakin nggak percaya dengan apa yang gue denger sekarang.

"Menikah? Bapak kesambet apa begimana? Kemarin Bapak masih nolak dan sekarang malah ngebet sendiri? Bapak pikir saya bisa Bapak jadiin mainan? Maaf Pak, saya gak punya waktu untuk ikut sama becandaan Bapak." Gue lagi nggak minat buat diajak becanda.

"Mas serius Bunga!" Gue menatap Mas Bintang mencari kebohongan dimatanya tapi gak ada, Mas Bintang terlihat sangat tulus.

"Maaf, Bunga gak bisa, setelah Bunga pikir-pikir omongan Bapak waktu itu ada benernya, Bunga masih kekanak-kanakan, belum pantas menanggung beban seorang istri." Tolak gue, gue harus mikir ulang semua ini.

"Bunga!"

"Apalagi sih Pak?"

"Menikah sekarang atau kita batalkan pernikahan kita? Kamu cuma punya dua pilihan itu, Mas kasih kamu waktu satu hari, besok, kasih Mas jawabannya, Mas permisi dulu!" Dan Mas Bintang pergi gitu aja.

Yang barusan itu apaan? Beneran ngajak gue nikah? Widih kepalanya geger otak apa begimana? Dari yang nolak keras bisa-bisanya berubah jadi setuju tanpa paksaan kaya gitu, rasanya ada yang salah.

"Bintang bilang apa Dek?" Astagfirullah ucap gue ngusap dada.

"Bunda ngagetin!" Balas gue geram, untung gue masih muda jadi jantung masih rada sehat.

"Jadi Bintang bilang apa?" Ulang Bunda lagi.

"Bunda udah tahu kenapa masih nanya lagi? Bukannya Bunda udah denger semua? Mas Bintang ngajak nikah!" Entah kenapa berita yang seharusnya bisa ngebuat gue bahagia tapi sekarang rasanya malah aneh, gue gak sedih tapi juga nggak happy-happy banget, biasa aja.

"Jadi Adek jawab apa? Adek setujukan?"

"Jadi terus dari tadi Bun, belum Bunga jawab, Bunga pikir-pikir dulu."

"Kalian berantem?" Bunda gue nanya lagi, kenapa nggak sekalian gue diintrogasi aja, bikin sesi tanya jawab keluarga.

"Bukannya setiap hari juga berantem ya Bun? Apa bedanya? Tu orang aja yang aneh mendadak ngajak nikah, mulai nggak beres kayanya." Reflek Bunda nyubit tangan gue begitu gue ngomong kaya gitu, ini sebenernya yang anak Bunda siapa sih?

"Sakit Bun, udahkan? Jangan tanya lagi, Bunga masuk ke kamar dulu!" Gue narik diri menjauh dari Bunda dan masuk ke kamar, makin lama gue dibawah makin banyak pertanyaan yang bakalan dilemparkan Bunda.

.
.
.

Sekarang jam udah nunjukin pukul setengah empat pagi dan selama itu juga gue belum bisa tidur sama sekali, apa Mas Bintang beneran serius sama ucapannya? Kalau tar tiba-tiba tu orang nagih jawaban sama gue bagaimana? Gue mesti ngasih jawaban apaan?

Jawab tunggu gitu? Ah tunggu sama dengan batalkan katanya? Kalau batal itu lebih kacau lagi, apa gue nggak bakalan menyesal? Masalahnya sekarang itu gue mulai nggak yakin sama pilihan gue sendiri, ditambah lagi sama sifat Mas Bintang yang tiba-tiba aja berubah pikiran dan ngajak nikah sekarang itu malah nambah aneh.

"Dek, kamu bangunkan?" Tiba-tiba suara Bang Jian yang terdengar jelas udah kaya hantu tahu nggak, muncul tetiba dengan mata gue yang nggak bisa nangkap wujud keberadaannya.

"Dek!" Ish apaan sih ni orang tua?

"Apaan sih Bang? Ganggu tahu nggak?" Kesal gue begitu membuka pintu kamar kasar.

"Kenapa masih belum tidur? Ini udah jam berapa Dek? Kamu masih mikirin ajakan Bintang?" Hah! Bang Jian tahu dari mana lagi? Cepat banget perasaan nyebar beritanya.

"Udah tahu jadi Abang nggak usah nanya, nambah mumet tahu kepala Bunga aja? Abang mau apa ni jadi? Ngomong aja buruan." Tangan gue udah siap-siap untuk nutup balik pintu kamar.

"Kalau memang udah yakin ya terima, kalau belum yakin ya jangan, susah amat Dek! Hidup itu jangan kebanyakan di dramatisir, nanti jadinya malah over!" Jelas Bang Jian pakai keyakinan penuh kayanya.

Kalau nentuin pilihan itu segampang gue nelen omongan tetangga, udah tidur nyenyak gue dari tadi, lah ini masalahnya nentuin pilihan nggak segampang ngasih makan ayam tetangga, konsekuensinya berat kalau gue salah pilih.

"Udah ni? Segitu doangkan? Balik ke kamar Abang sana!" Dan gue tutup balik pintu kamar gue tepat didepan muka Bang Jian, jangan tanya omelan Abang gue dari balik pintu.

Uring-uringan dikamar, nggak berasa azan subuh udah berkumandang, gue shalat dan setelahnya duduk diatas sajadah gue cukup lama, gue harus nentuin pilihan sekarang, itu harus.

.
.
.

Dengan melangkah perlahan, gue melewati koridor dengan perasaan beneran nggak karuan, satu harapan gue berharap kalau gue nggak akan ketemu sama Mas Bintang hari ini dan harapan lainnya adalah Mas Bintang bakalan lupa sama ucapannya sendiri kemarin, harapan yang bodoh banget memang.

"Bunga, lo di tunggu Pak Bintang diruangannya!" Kampret banget memang, baru juga gue mau mendudukkan pantat gue di kursi, dengan berat hati pantat gue kembali harus gue angkat karena ucapan Dewi temen sekelas gue barusan.

"Dinda udah dateng belum?" Tanya gue balik ke Dewi.

"Belum deh, suara cemprengnya belum kedengeran juga!" Hah! Suara cempreng pula katanya.

Ngucapin makasih ke Dewi, gue meletakkan tas gue di kursi dan balik keluar kelas berjalan gontai ke ruangannya Mas Bintang, Mas Bintang mesti mau nagih jawaban gue sekarang, ngapain lagi nyari gue pagi-pagi gini kalau bukan karena itu coba?

"Tok tok tok, permisi Pak!" Cicit gue begitu kepala gue nyembul dari balik pintu.

"Masuk!" Balas Mas Bintang bahkan nggak melirik gue sama sekali.

"Kata Dewi Bapak nyariin saya?" Gue nanya masih dengan posisi berdiri, kagak dipersilahkan duduk soalnya, kejam bangetkan guru gue?

"Ya atau tidak? Kamu bisa keluar setelah memberikan pilihan untuk salah satu dari dua kata itu!" Udah segitu doang? To the point banget ni orang.

Berdiri dihadapan Mas Bintang, gue mulai meremet rok sekolah gue karena makin bingung, gue harus ngasih jawaban apa disaat udah semakin di desak kaya gini? Sebelum ini memang gue yang mau buru-buru menikah tapi kenapa sekarang malah gue yang meragu? Ini semua karena sikap Mas Bintang yang berubah dadakan.

"Bunga!" Ulang Mas Bintang bahkan bangkit dari duduknya menatap gue.

"Bismillah! Heummm!" Gumam gue mengangguk pelan dan keluar ninggalin ruangan Mas Bintang gitu aja.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now