(39)

4.5K 489 127
                                    

Setelah dari rumah peninggalan Ibunya Mas Langit, kita berdua nggak langsung pulang tapi anehnya Mas Langit malah ngebawa gue jalan ke mall, aduh Mas, anak SMP aja kalau pacaran udah nggak kesini.

"Kita mau ngapain kesini Mas? Pacaran? Mas mainnya kurang jauh nih." Ya kalau cuma mau gandengan terus muter-muter ngelirik toko orang ya mending tiduran dikamar.

"Pacaran? Itu tren zaman apa? Kalau udah halal mah pacarannya bukan di mall tapi dikamar." Otak orang tua mah bawaannya geser sedikit.

"Yak mesum banget, nggak malu didenger orang?" Gue natap Mas Langit kesal.

"Harus malu kenapa? Halalkan? Kenalin Mbak istri saya" Mas Langit ngomong gitu ke orang yang lewat didepan kita.

"Istri saya." Ulangnya melambaikan tangan ke Abang-abang ditoko paling ujung.

"Cantik kan Bu? Ini istri saya." Allahuakbar, gue udah nutup muka gue nahan malu, suami gue kesambet apaan coba?

"Mas gila ya? Mau aku istri Mas atau bukan siapa yang peduli? Mas bikin aku malu tahu nggak?" Gue udah narik Mas Langit jalan cepet-cepet, nggak sanggup gue ngeliatin orang yang mulai pada ngetawain kita berdua.

"Mas sebenernya ngajak aku kesini mau ngapain?" Gue udah kehabisan tenaga, lemes pakai banget.

"Masuk." Gue menengadah dan mata gue membulat begitu sadar kalau Mas Langit ngajak gue masuk ke toko perhiasan.

"Mau ngapain masuk? Mas sadarkan ini toko apa? Mahal Mas." Cicit gue geram.

"Masuk dulu." Gue pasrah.

"Permisi Mas, Mbak ada yang bisa dibantu?"

"Eh Mas Langit ya? Mau ngambil pesenannya ya Mas?" Sapa Mbak-Mbaknya ramah, Mas Langit tersenyum dan mengangguk pelan.

"Sebentar ya Mas."

Ini apaan maksudnya? Mas Langit kok bisa kenal sama Mbaknya barusan? Pesenan? Mas Langit nggak mungkin nyeleweng dari guekan? Awas aja kalau berani ngelirik yang lain, panci gorengan siap melayang.

"Ini Mas." Mas Langit nerima bungkusannya dan balik menyunggingkan senyuman, senyumin aja terus Mas, terus.

"Mas, aku nyari minum dulu deh, gerah, panas." Mengabaikan Mas Langit, gue jalan lebih dulu nyari toilet, mata gue butuh penyegaran.

"Itu siapanya Mas Langit?" Pertanyaan kaya gini udah berakar dikepala gue, mau gue tanya langsung nggak enak diliatin orang tar dikata gue istri cemburuan lagi, nggak gue tanyain ya begini, panas.

"Sadar Bunga sadar, cemburu harus bertempat, inget kata suami." Gue udah mulai nepuk-nepukin pipi gue pelan, butuh oksigen banyak gue kaya di iklan.

"Tapi kalau suaminya aja nggak inget sama gue gimana?" Pemikiran kacau gue muncul lagi, "sadar Bunga." ah nggak tahu, memperbaiki jilbab sekilas gue langsung keluar berniat nyariin Mas Langit ditoko tadi.

"Sejak kapan toilet menyediakan minuman?" Allahu, Kaget gue ngusap dada begitu mendapati Mas Langit udah menyandarkan tubuhnya didinding tepat didepan pintu toilet.

"Sejak aku nikah sama Mas." Gue memaksakan senyuman gue, jangan kaya anak kecil Bunga, lebih baik tar dirumah tanya baik-baik sama Mas Langit yang tadi itu siapa.

"Mau makan dulu?" Gue menggeleng, gue nggak laper.

"Minum?" Tawar Mas Langit lagi.

"Kita minum dirumah aja." Wah ngeri jawaban gue, ini antara hemat sama nggak enak hati beda tipis ya?

"Kamu kenapa?" Gue menggeleng cepat, gue nggak mau ngobrol dijalan apalagi sambilan berdiri kaya gini, pegel.

"Tar dirumah aja ya Mas, aku udah capek banget." Gue tersenyum sekali lagi dan menggandeng tangan Mas Langit ninggalin mallnya, sekalian gue lewat toko yang tadi untuk nunjukin ke Mbak yang disenyumin Mas Langit.

"Suami saya, jangan liat."

.

"Kamu kenapa?" Tanya Mas Langit begitu gue mendudukkan tubuh gue disofa.

"Kenapa? Mas yang kenapa? Perempuan tadi siapa?" Sabar Bunga, tarik nafas dalam, tenang.

"Perempuan? Perempuan yang mana? Bukannya dari tadi Mas jalan sama kamu?" Mas Langit nggak usah pura-pura keliatan bingung.

"Hah! Yang tadi ditoko, bisa kenal gitu sama Mbaknya."

"Astagfirullah, Mas kirain yang kamu maksud perempuan siapa?"

"Memang yang tadi bukan perempuan?"

"Ya perempuan sih tapi kan itu cuma Mbak-Mbak penjualnya Bunga, kamu cemburu sama Mbak ditoko tadi?"

"Enggak." Ah salah lagi kayanya gue, bilangnya enggak, enggak salah lagi maksudnya, gimana nggak cemburu kalau ternyata Mas Langit udah pernah ketoko itu sebelum ngajak gue, pakai mesen sesuatu lagi, memang buat siapa? Buat Tante Indah? Nggak mungkin.

"Sini." Mas Langit merentangkan tangannya, dengan raut wajah masih kesal, gue bangkit dari duduk gue dan langsung memeluk Mas Langit cukup erat.

Gue sama Mas Langit ngasih solusi paling ampuh kalau seandainya diantara kita berdua ada masalah, baik masalah rumit sampai ke hal sepele sekalipun, disaat rasa kesal, marah, sedih atau bahkan bahagia, saling memeluk adalah peredanya.

"Duh istri kecil Mas, Mas bukannya kenal sama Mbak tokonya tapi Mas kesana untuk mesen sesuatu buat kamu." Mata gue langsung bebinar begitu Mas Langit memakaikan gue sebuah cincin yang cukup cantik.

"Ini cincin nikah kita." Mata gue langsung berkaca-kaca, ah yang namanya bocah memang nggak bisa ditipu, cemburuan banget tapi dibujuknya gampang banget juga.

"Dan ini hadiah pernikahan Mas untuk kamu." Mas Langit membalikkan telapak tangan gue dan menjatuhkan sebuah kalung dari dalam genggaman tangannya.

Sebuah kalung dengan liotin berinisial huruf L dan sebuah bunga mungil disisinya, ah cantik pakai banget, gue udah nggak butuh apapun, kata bahagia udah bisa terbaca jelas diraut wajah gue.

"Kamu suka?" Gue menggangguk semangat, banget Mas sukanya.

"Ini karena kamu nggak pernah jujur bilang apa yang kamu suka apalagi sampai minta sesuatu sama Mas, mulai sekarang apa yang kamu mau ngomong sama Mas, kalau Mas belum ada rezeki, kamu harus bersabar dan andai kata Mas punya rezeki, itu bukan masalah."

"Makasih ya Mas." Cicit gue rada malu sih, aneh aja bilang makasih ke suami.

"Sama-sama, yaudah sekarang kamu istirahat, besok kita pindahan." Ah, inget pindahan otak gue balik ngestak ditempat.

.

"Assalamualaikum." Ucap Mas Langit yang gue ikuti begitu kita berdua sampai didepan pintu rumah.

"Waalaikumsalam, masuk Mas, Mbak." Seorang wanita paruh baya yang ngebukain pintu, mungkin yang bantu-bantu dirumah ini.

"Papa mana Bi?" Tanya Mas Langit cukup akrab.

"Bapak sama Ibu lagi keluar Mas, sebentar lagi mungkin pulang soalnya keluar udah cukup lama, dirumah cuma ada Mas Jun." Jawab Bibinya sambilan mulai ngebantuin ngangkatin barang gue.

"Nggak papa Bi biar aku aja, oya Bi kenalin, ini Bunga, istri aku, Bunga kenalin ini Bi Kiah, yang bantu-bantu ngurusin rumah." Gue tersenyum manis dan mengulurkan tangan lebih dulu, hormat sama yang tua.

"Masih muda banget Mas, cantik." Ah gue jadi nggak enak, sebelumnya gue memang nggak pernah ke rumah Om Hanif walaupun menyandang status tunangan Mas Bintang dulu, paling ngedeprak pagar rumah yang pernah, jadi wajarlah ya kalau Bi Kiah nggak kenal resmi sama gue.

"Bibi bisa aja, yaudah aku ke kamar dulu ya Bi." Si Bibi mengangguki tapi gue malah mengeryitkan mata natap Mas Langit, gimana bisa Mas Langit udah akrab sama Bi Kiah dan kaya udah hafal sama isi rumah ini kalau baru ketemu Om Hanif empat tahun yang lalu?

"Mas kaya orang udah pernah tinggal dirumah ini aja." Cicit gue.

"Memang, sebelum Papa menikah sama Tante Indah, Mas tinggal disini bareng almarhumah Ibu juga, apa kamu lupa? Mas lahir dan belajar jalan pertama kali dirumah ini." Astagfirullah, kenapa gue nggak pernah kepikiran.

"Wah ada tamu rupanya! Main masuk ke kamar sesuka hati, wow, nggak ngerasa segan atau nggak punya malu?" Gue berbalik dan mendapati Mas Bintang sama Bu Lia berdiri tepat diambang pintu yang bersebelahan sama kita.

"Baru hitungan menit Bunga, sabar." Gue meyakinkan diri gue sendiri.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now