(33)

4.4K 494 127
                                    

"Nenek meninggal!" Innalillah, gue langsung menatap Mas Langit nggak tega, gimana nasib suami gue tanpa Neneknya?

"Kenapa nggak ada yang ngabarin aku, Bang?" Tanya gue dengan mata berkaca-kaca, kenapa nggak ada yang ngabarin gue kabar sepenting ini?

"Langit bilang kamu baru aja keluar sama temen-temen kamu belum lama." Hah! Apa ketemu temen-temen gue lebih penting dari pada nemenin Mas Langit? Suami gue bego atau gimana sih?

"Abang juga kapan pulangnya? Kalau aku tahu Mas dirumah udah pasti aku suruh jemput dari tadi." Kesal gue makin menjadi, kalau gue tahu Bang Jian udah dirumah, gue juga nggak bakalan nungguin Mas Langit lebih lama tadi, mending gue minta Bang Jian jemput sekalian.

"Kita nggak perlu berdebat sekarangkan Dek? Langit lebih butuh kamu." Gue langsung beralih menatap Mas Langit yang masih tertunduk dengan tatapan kosongnya, ini adalah alasan perasaan nggak enak gue.

Narik nafas dalam, gue berjalan mendekat dan duduk tepat disebelah Mas Langit dalam diam, gue nggak tahu harus berkata apa, kata sabar atau tabah terasa begitu canggung untuk gue sekarang.

"Mas." Lirih gue yang membuat Mas Langit menegakkan pandangannya, Mas Langit menatap gue kosong dengan jemari yang beralih mengusap pipi gue pelan.

"Nenek udah nggak ada." Ucap Mas Langit tertahan, gue mengangguk pelan dan balik menggenggam tangan Mas Langit yang mengusap pipi gue sekarang.

"Heum, kita harus ikhlas dan banyak berdo'a." Balas gue hampir nggak bisa nahan isak tangis.

Tapi disaat gue inget ucapan Bang Jian yang ngomong sekarang Mas Langit butuh gue, gue berusaha sangat keras untuk nggak menjatuhkan air mata, bukan karena gue nggak merasa kehilangan tapi gue juga harus belajar untuk bisa menjadi tempat sandaran seseorang.

"Lang, pemakamannya apa mau disegerakan atau ada yang mau ditunggu?" Tanya Bang Jian nepuk pelan bahu Mas Langit.

"Secepatnya Ji, Nenek cuma punya gue." Bang Jian mengangguk pelan dan balik ninggalin gue sama Mas Langit yang masih tertunduk tanpa kata.

.

Hari udah pagi dan pemakaman Nenek udah selesai dilaksanakan, tamu-tamu juga mulai banyak yang pulang, mereka butuh istirahat.

Kata lelah juga terlihat jelas diwajah seluruh keluarga gue terlebih Mas Langit, selesai subuh Mas Langit belum ngomong apapun sama gue sampai sekarang dan gue berusaha ngerti, Mas Langit pasti terpukul banget sama kepergian Nenek.

"Mas, Mas makan dulu." Tawar gue berdiri didepan Mas Langit dengan sepiring makanan.

"Mas belum laper, kamu aja yang makan, Mas nggak mau kamu sakit." Mas Langit memaksakan senyumannya menatap gue.

"Aku juga nggak mau Mas sakit." Balas gue meletakkan piringnya diatas meja, nggak cuma Mas Langit, gue juga khawatir.

"Mas udah nggak punya siapapun." Cicit Mas Langit kembali tertunduk.

"Mas liat aku." Gue berlutut didepan Mas Langit yang sekarang duduk disisi ranjang, mensejajarkan tubuh gue dan menangkup kedua pipinya untuk menatap gue.

"Apa aku bukan siapa-siapa untuk Mas? Mas juga punya aku sekarang." Lirih gue pada akhirnya meneteskan air mata.

"Mas nggak sendirian, Mas punya aku, bukannya keluarga aku itu keluarga Mas juga?" Ini yang selalu Mas Langit ucapin ke gue, keluarga gue, keluarga dia juga.

Melepas tangkupan gue dikedua pipinya Mas Langit beralih memeluk gue erat tiba-tiba, sadar dengan bahu gue yang sedikit terasa basah gue hanya bisa mengeratkan dekapan gue.

Sampai detik ini gue kembali menyadari suatu hal, nggak semua lelaki itu sama, nggak semua laki-laki itu jahat, diluar sana banyak yang bertanggungjawab dan menyayangi dengan ketulusan hati mereka, saat seorang lelaki meneteskan air mata bukan karena mereka rapuh tapi itu karena mereka yang pergi sudah sangat berarti.

Ungkapan jangan mempermainkan hati seorang perempuan memang nggak salah tapi sebagai seorang perempuan kita juga harus sadar, lelaki baik bukan berarti dia nggak pernah melakukan kesalahan, lihat ketulusannya lalu pertimbangkan apakah dia layak mendapatkan kesempatan kedua.

"Mas, tadi Bang Jian bilang ada Mas Bintang dibawah, mau ketemu Mas." Jujur gue, bukan bermaksud apapun tapi nyatanya Mas Bintang sama Mas Langit dulunya bersahabat, nggak ada yang salah dengan seorang teman ikut berbelasungkawah.

"Mas turun setelah ini, kita makan dulu." Gue tersenyum mengangguk pelan.

Selesai makan, gue mengikuti langkah Mas Langit turun tapi milih duduk bareng Bunda, gue nggak mau ketemu Mas Bintang bukan karena benci tapi gue belum siap aja, gue masih butuh waktu.

Nggak cuma Mas Bintang, kehadiran Bu Lia bahkan Fadil dan kedua orang tuanya cukup mengganggu perasaan gue tapi ya balik lagi, nggak mungkin selamanya gue mau menghindar, hadapi dan harus terbiasa dengan situasi adalah jalan keluarnya.

Ama setelah nganter Dinda kebandara juga langsung kerumah gue, makanan tadi aja dia yang nyiapin, sekarang Ama masih sibuk beberes apa yang bisa dibantu, sikap Ama selalu disesuaikan, tu anak sarapnya bertempat.

"Bunda, Bang Jian kapan pulangnya?" Tanya gue natap Bunda sekilas, jujur sebenernya gue mau nanyak banyak sama Mas Langit, ya memang ajal nggak bisa kita hindari tapi Nenek meninggal pasti punya sebab, gue berangkat Nenek masih baik soalnya.

"Abang memang udah di jalan pulang pas kamu keluar." Gue mengangguk pelan.

"Terus Nenek?" Gue bahkan tercekat untuk pertanyaan gue sendiri.

"Kepleset ditangga, Bunda di kamar mandi sedangkan Langit baru aja pulang nganter kamu dan nemuin Nenek udah nggak sadarkan diri." Apa karena gue? Kalau aja Mas Langit nggak maksa nganter, mungkin Nenek_

"Bukan salah kamu, itu takdir Dek jangan nyalahin diri sendiri seperti waktu Ayah meninggal dulu, Ayah meninggal juga bukan kesalahan kamu." Gue mengangguk dan Bunda mengusap bahu gue menenangkan.

"Bisa-bisanya dia datang tanpa rasa bersalah sedikitpun, berani membawa perempuan itu juga?" Gue mengikuti arah pandang Bunda dan itu tertuju untuk Mas Bintang dan Bu Lia.

"Nda, aku nggak mau ngebahas itu." Gue nggak mau ada ribut-ribut dalam keadaan berkabung kaya gini.

Mengabaikan Mas Bintang dan Bu Lia, gue hanya fokus memperhatikan Mas Langit yang berdiri dengan senyum terpaksanya, hidup bersama membuat gue cukup mengenal lelaki yang menyandang status sumi gue itu, Mas Langit cukup pintar memilah keadaan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, sendirian Om? Tante mana?" Gue bangkit dan nyalim ke orang tua Mas Bintang seperti biasa, gue nggak bisa membenci orang tua Mas Bintang, kenapa? Karena mereka nggak mempunyai kesalahan apapun.

Pas akad nikah gue sama Mas Langitpun Om Hanif ikut hadir bahkan menjadi wali untuk Mas Langit sendiri, walaupun kecewa dengan sikap Mas Bintang tapi setelah gue menikah dengan Mas Langitpun, Om Hanif selalu bilang kalau gue akan selalu menjadi menantu tertua dirumahnya, tapi itu udah nggak mungkin, menantu tertua dirumahnya ya Bu Lia sekarang, itu kenyataan.

Risih? Sedikit tapi gue nggak mungkin menolak kebaikan Om Hanif, setelah Ayah nggak ada, Om Hanif udah gue anggep kaya Ayah gue sendiri, ini juga kenyataan.

"Tante kurang enak badan, Langit dimana Nak?" Tanya Om Hanif ke gue, gue menatap Mas Langit sekilas yang masih terlihat ngomong sama Mas Bintang dan Bang Jian juga.

"Papa." Sapa Mas Bintang, mengabaikan Mas Bintang yang ikut bergabung menyambut kedatangan Papanya, gue hanya menatap lurus dan mengusap lengan Mas Langit yang sekarang ikut bergabung juga, dalam diam Mas Langit nyalim sama Om Hanif.

"Langit, Nenek udah nggak ada jadi sekarang tepati janji kamu, pindah dan ikut tinggal bareng Papa."

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang