(47)

4.8K 511 80
                                    

"Mas Langit!" Kaget gue sama Ama.

"Mas kapan pulang?" Tanya gue gugup, Ama sendiri juga langsung kicep nggak berkutik, abis kita berdua kayanya.

"Belum lama." Jawab Mas Langit datar, Mas Langit nggak mungkin denger omongan gue sama Ama kan? Nggak dengerkan?

"Kalau gitu gue balik dulu ya Nga, Mas, Aku pulang dulu." Gue tersenyum nggak karuan ke Ama.

"Heumm, hati-hati, makasih udah nemenin Bunga." Mas Langit tersenyum sekilas dan berjalan masuk ke kamar lebih dulu.

"Suami lo nggak mungkin dengerkan?" Cicit Ama nyikut lengan gue.

"Gue juga nggak tahu, yaudah lo pulang deh, tar coba gue cari tahu Mas Langit denger apa enggak, udah pulang sana." Ama setuju dan langsung balik.

Menutup pintu rumah, gue juga berjalan masuk ke kamar dengan perasaan beneran nggak karuan, membuka pintu kamar perlahan dan mendapati Mas Langit duduk disisi ranjang sedang melepas dasinya, ah kacau gue.

"Mas__"

"Duduk." Satu kata dari Mas Langit dan narik gue duduk tepat disebelahnya.

"Kamu kemana sama Ama tadi? Jawab pertanyaan Mas dengan jujur Bunga." Tanya Mas Langit dingin, gue yang mendapati tatapan dingin Mas Langit hanya tertunduk nggak ngejawab apapun.

"Bunga, kemana arah padangan kamu kalau suami lagi ngomong?" Gue nggak boleh buka mulut.

"Jawab pertanyaan Mas, kamu kemana sama Ama tadi?" Ulang Mas Langit.

"Rumah sakit." Cicit gue pelan.

"Rumah sakit? Untuk apa? Kamu sakit?" Tatapan Mas Langit seketika berubah khawatir, gue mengangguk pelan.

"Kamu nutupin apa sama Mas sekarang? Kamu__"

"Mas, jangan sekarang, aku nggak mau berdebat sama Mas, Mas juga pasti capekkan?" Gue nggak mungkin ngomong sekarang, semakin gue ngelak semuanya cuma akan berujung dengan perdebatan, gue nggak mau.

"Mas menginginkan kamu." Gue yang berencana bangkit, cukup tertegun dengan ucapan Mas Langit.

"Mas milih kamu, tolong jangan siksa Mas lagi dengan sikap dingin kamu, apa belum cukup waktu tiga minggu untuk menghukum kesalahan Mas, Mas sama sekali nggak menginginkan perempuan lain, Mas cuma butuh kamu." Mas Langit memeluk gue dari belakang sekarang.

"Mas rela ngelakuin apapun tapi tolong jangan pernah berpikir untuk ninggalin Mas apalagi minta Mas melepaskan kamu, itu nggak mungkin, sampai kapanpun Mas nggak akan ngelakuin itu."

"Selama tiga minggu Mas menuruti keinginan kamu, awalnya Mas pikir, mungkin kamu benar, apa Mas nggak sadar sama perasaan Mas sendiri? Tapi sekarang Mas yakin kalau pilihan Mas nggak pernah salah."

"Setiap hari Mas cuma bisa merhatiin kamu, Mas cuma bisa ngusap helaian rambut kamu disaat kamu tertidur pulas, Mas merindukan tatapan bahagia kamu, Mas merindukan semua hal tentang kamu."

"Cukup tiga minggu Nga dan Mas nggak bisa nerusin semuanya lagi, sikap kamu bikin Mas khawatir, setiap hari Mas cuma terus mikirin keadaan kamu, apa kamu sama sekali nggak bisa ngerti gimana perasaan Mas sekarang?"

"Ini terakhir kalinya Mas ngasih tahu kamu, Mas nggak punya perasaan apapun sama Dinda, Ama atau Dinda keduanya sama dimata Mas, mereka cuma adik-adik Mas dan juga sahabat kamu."

"Mas tahu kamu khawatir dan Mas akui Mas juga salah, Mas minta maaf tapi ngasih jarak antara kita berdua juga nggak akan berhasil Nga, Mas terlalu membutuhkan kamu. heummm."

"Aku cuma takut kalau Mas sebenernya nggak cinta sama aku, aku cuma terlalu takut kalau perasaan Mas selama ini cuma rasa nyaman sesaat, aku nggak mau Mas salah pilih, aku cuma mau Mas bahagia."

"Mas akan bahagia kalau bareng kamu." Gue mengangguk pelan, ikut mengusap lengan Mas Langit yang memeluk gue.

"Besok Mas anterin kamu ke Dokter." Ucap Mas Langit yang membuat gue cukup kaget.

"Ngapain?" Tanya gue melepas dekapan Mas Langit, mau ngapain ke dokter lagi?

"Tadi kamu bilangnya sakitkan? Mas mau kamu cek ulang ke dokter, apa ada yang salah?" Hah?

"Mas, udah azan, shalat dulu." Gue mengalihkan pembicaraan dan berjalan lebih dulu masuk ke kamar mandi, kacau kalau diperpanjang.

.

"Amin." Ucap Mas Langit yang ikut gue amini, gue maju mendekat ke Mas Langit dan mengecup tangannya pelan, Mas Langit ikut meletakkan tangannya di kepala gue dan mengecup kening gue cukup lama juga.

"Mas mau makan sekarang? Ama masak soalnya tadi." Gue cengengsan, hari ini pulangnya gue cuma tiduran.

"Kalau Dinda yang masak kamu pasti udah ngurung diri lagi." Mas Langit tersenyum jail dan mengusap pipi gue.

"Yak, Mas jangan mulai lagi." Kesal gue.

"Bukan mulai lagi tapi coba kamu pikir ulang, yang Mas omongin bener apa enggak? Maksud Mas bilang kaya gini supaya kamu ngerti, Ama atau Dinda, mereka berdua sama, mereka temen-temen kita."

"Yaudah ayo makan, sebelum aku ngantuk lagi." Gue memaksakan senyum berat dan bangkit turun lebih dulu.

Nggak lama gue nyiapin makanan di meja, Mas Langit turun dan mgambil posisi dimeja makan, memperhatikan gue nggak jelas dan jujur aja gue mulai ngerasa risih, Mas Langit kenapa sekarang?

"Kenapa ngeliat aku kaya gitu?" Tanya gue meletakkan piring didepan Mas Langit.

"Kamu beli susu lain?" Tanya Mas Langit memperhatikan susu kotak yang gue pegang.

"Heummm, nyoba yang baru aja Mas." Gue nggak bohongkan? Ini memang beda rasa tapi tetap susu kotak, yang pasti beda manfaat juga.

"Mas mau lauk apa?" Gue tersenyum aneh dan ikut duduk disebelah Mas Langit, nemenin makan.

"Kamu nggak makan?"

"Ini makan Mas." Gue mengangkat sedikit susu ditangan gue dan lagi-lagi menyunggingkan senyum nggak karuan.

"Perlengkapan kuliah gimana? Udah beres semua?" Ah ngomongin kuliah gini bawaannya jadi males, lagi ngisi gini ngapain kuliah, jalan satu semester tar juga cuti lagi.

"Heumm, nggak tahu Mas." Gue menatap Mas Langit sekilas dan balik fokus ke susu kotak gue.

Selesai makan gue juga langsung beberes dan nyamperin Mas Langit sebentar yang ternyata lagi duduk dikamar Nenek, Mas Langit pasti kangen Neneknya.

"Mas, insyaallah Nenek udah ditempat terbaik, kita banyak berdoa." Cicit gue begitu membuka pintu perlahan.

"Insyaallah, kamu belum tidur?" Gue mengangguk pelan.

"Ini nyariin Mas mau ngajak tidur, aku udah ngantuk."

"Kamu duluan aja, Mas nyusul." Gue mengangguk pelan dan berjalan masuk ke kamar lebih dulu.

Dikamar, gue mengeluarkan hasil tes gue dirumah sakit tadi dan gue letakin didekat nakas dengan harapan Mas Langit bakalan liat dan baca isinya sendiri.

"Semoga keliatan." Cicit gue meletakkan kertasnya.

"Itu apa Nga?" Brukk, kaget dengan kehadiran Mas Langit kaki gue malah nggak sengaja kepentok sisi ranjang.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now