(34)

4.6K 497 121
                                    

"Langit, Nenek udah nggak ada jadi sekarang tepati janji kamu, pindah dan ikut tinggal bareng Papa." Hah?

"Papa? Memang sejak kapan Om pernah bersikap selayaknya seorang Papa? Bukannya Om sudah bahagia dengan keluarga Om sekarang?" Tanya Mas Langit terlihat menahan marah.

"Lang, sejak menemukan kamu dan Nenek kamu empat tahun yang lalu, semenjak itu juga Papa sudah meminta kamu tinggal bersama Papa, Papa tidak pernah berniat menelantarkan kamu." Mas Langit masih belum merespon apapun.

"Kamu tidak mungkin selamanya membenci Papa, Lang. Papa tidak pernah mengusir kamu dan Ibu kamu tapi Ibu kamu yang meninggalkan Papa." Lanjut Papa yang semakin membuat gue nggak ngerti, ini kenapa sebenernya?

"Itu karena Papa berniat menikah lagi, apa aku salah?" Nada suara Mas Langit meninggi, tapi mendengar Mas Langit menyebutkan kata Papa untuk Om Hanif seakan memperjelas segalanya.

"Papa akui itu memang kesalahan Papa tapi semuanya sudah berlalu Lang, Papa menyesal jadi tolong maafkan dan tinggal bersama Papa, semua yang Papa punya adalah milik almarhumah Ibu kamu."

"Aku nggak bisa, aku punya keluarga aku sendiri sekarang dan Papa juga sudah mempunyai keluarga Papa sendiri, Papa bahagia bahkan tanpa aku disana." Lirih Mas Langit mengusap kasar wajahnya.

"Tapi kamu sudah berjanji akan pindah kalau suatu saat Nenek udah nggak adakan?"

"Bukan aku tapi kalian yang membuat perjanjian kaya gitu, aku nggak pernah menjanjikan apapun." Mas Langit terlihat menahan amarahnya.

"Maksudnya apa? Papa? Pindah ikut tinggal bareng kita? Maksudnya apa Pa?" Tanya Mas Bintang terlihat cukup kaget, bukan cuma Mas Bintang, gue, Bang Jian, Bu Lia bahkan Bunda sendiripun ikut kebingungan, berbalik dari kita berlima, Mas Langit sama Om Hanif malah terlihat memperlihatkan ekspresi yang berbeda.

"Jawab aku, Pa!" Suara Mas Bintang meninggi.

"Langit putra Papa juga, Papa rasa kamu sudah tahu kalau Papa pernah menikah sebelum menikah dengan Mama kamu, Langit adalah putra Papa dari almarhumah istri pertama Papa dulu dan itu artinya Langit itu Kakak kamu." Jelas Om Hanif menegaskan ucapannya.

Gue sendiri yang ikut mendengarkan penjelasan Om Hanif hanya berdiri mematung dan melepaskan genggaman gue dilengan Mas Langit, apa itu semua benar? Kenapa Mas Langit nggak pernah cerita?

"Itu nggak mungkin Pa, cuma aku putra Papa satu-satunya." Mas Bintang semakin tidak terima.

"Tapi Langit juga putra Papa, itu kenyataannya."

"Apa ini alasan Papa setuju Langit menikahi Bunga waktu itu? Apa karena Papa tahu kalau Langit itu putra Papa? Papa marah besar ke aku karena ninggalin Bunga tapi terima gitu aja saat posisi aku digantikan oleh Langit? Wah." Mas Bintang bahkan tersenyum sinis untuk ucapannya sendiri.

"Papa tidak pernah membeda-bedakan kalian berdua dan mengenai Bunga, kamu yang meninggalkan Bunga bukan Langit yang merebut posisi kamu, Papa memang sudah lama menginginkan Bunga sebagai menantu, jika kamu menolak, menikahkan Bunga dengan Langit juga apa salahnya? Dia tetap akan menjadi menantu Papa."

"Ikut Mas." Mengabaikan semua orang, Mas Langit balik menggenggam tangan gue dan membawa gue masuk ke kamar, gue yang memang masih mencoba mencerna situasi hanya pasrah digiring Mas Langit pergi.

"Maksudnya apa?" Tanya gue datar, Mas Langit mendudukkan tubuh gue disofa kamar dan menangkup kedua pipi gue.

"Dengerin Mas, Mas nggak punya maksud apapun apalagi sampai punya pemikiran ingin membohongi kamu, Mas memang tidak berencana hidup sebagai putra dari keluarga Hanif dan satu-satunya keluarga yang Mas punya sekarang adalah kamu." Jelas Mas Langit masih setia mengusap pipi gue.

"Tapi kenyataannya Mas putra dari keluarga itu, Kakak dari Mas Bintang? Menantu tertua? Punya adik ipar kaya Mas Bintang sama Bu Lia? Apa Mas mikirin perasaan aku?" Otak gue mau pecah tahu kenyataan ini.

Belum lagi dengan permintaan Om Hanif yang mau Mas Langit tinggal bareng dia, Mas Langit pindah itu artinya gue juga, yang bener aja, gimana bisa gue tinggal seatap sama orang yang pernah nyakitin gue? Itu gak mungkin.

"Karena Mas mikirin perasaan kamu makanya Mas tolak permintaan Papa, kita nggak akan pindah kemanapun jadi kamu nggak perlu khawatir." Gue memeluk Mas Langit setelah ucapannya, gue udah bahagia walaupun harus hidup sederhana, gue bahagia sekarang.

.

"Langit mana Dek?" Tanya Bang Jian yang lagi menyeruput kopinya begitu gue turun ke dapur.

"Mas Langit masih tidur Mas, wajahnya kacau, Bunda kemana?" Selepas shalat dzuhur gue memang membiarkan Mas Langit tidur, Mas Langit hampir nggak tidur dari kemarin Nenek meninggal.

"Bunda kayanya masih dikamar soalnya setelah Bintang sama keluarga pulang, Bunda belum turun lagi, wah Abang sama sekali nggak nyangka kalau Langit putranya Om Hanif." Gue nggak ngerespon apapun, gue juga sama kagetnya.

"Dek kamu baik? Abang nggak punya maksud_"

"Aku ngerti, Abang jangan khawatir, tapi untuk sekarang Bunga juga nggak tahu harus apa, cuma yang jelas Mas Langit nggak mau pindah, itu juga kemauan aku."

Gue tahu Bang Jian nggak bermaksud apapun dengan ngomong kaya tadi, gue ngerti karena gue sendiri juga sama kagetnya, kita semua jelas nggak ada yang tahu masalah ini.

"Langit mana Dek?" Tanya Bunda ulang yang tiba-tiba udah didapur, tumben nanyain Mas Langit.

"Masih tidur." Gue mendekat ke kulkas dan ngambil susu kotak gue.

"Kamu nggak berencana ngebujuk Langit buat tinggal bareng Papanya? Dia anak tertua dan otomatis semua warisannya pasti bakalan jatuh ketangan suami kamu." Ya Allah, Apa harus Bunda ngebahas masalah kaya gini?

"Nda, apa yang Bunda pikirin cuma harta? Tolong pikirin sedikit perasaan aku sama Mas Langit." Apa Bunda nggak merasa bersalah sedikitpun sama Mas Langit? Apa Bunda udah lupa gimana sikapnya menentang Om Hanif ketika Om Hanif juga setuju kalau Mas Langit yang menikahi gue? Gue yang inget aja malu.

"Karena Bunda mikirin kamu makanya Bunda ngomong begini, kalau Langit pulang kerumah orang tuanya, kamu nggak perlu hidup susah lagi Dek."

"Aku nggak pernah kesusahan Bunda, aku udah cukup bahagia sekarang jadi Bunda nggak perlu khawatir untuk apapun." Gue yang berniat duduk dimeja makan berbalik arah jalan masuk ke kamar, gue malas ngomong kalau cuma mau ngebahas ini, Bunda kenapa coba?

"Kamu kenapa?" Tanya Mas Langit berpapasan ditangga sama gue.

"Nggak kenapa-napa, Mas udah bangun? Aku masuk ke kamar dulu." Begitu gue berniat ninggalin Mas Langit, tangan Mas Langit yang menggenggam tangan gue tiba-tiba sukses membuat gue memberhentikan langkah.

"Kamu nggak punya bakat bohong, Mas udah denger semuanya." Gue narik nafas pasrah dan berbalik narik Mas Langit masuk ke kamar.

"Aku malu Mas, yang Bunda pikirin cuma harta, awalnya aku pikir Bunda udah bisa nerima Mas apa adanya tapi sekarang apa? Sikap Bunda balik berubah setelah tahu Mas anak siapa." Sikap Bunda berubah setelah tahu Mas Langit anak siapa itu sangat mengganggu.

"Nggak ada yang salah sama sikap Bunda, Bunda cuma mau yang terbaik untuk kamu." Mas Langit mengusap helaian rambut gue.

"Tapi cara Bunda yang salah Mas, aku jadinya malah nggak enak sama Mas." Cicit gue tertunduk.

"Kamu ngomong apa? Kenapa harus nggak enak sama Mas? Udah nggak papa, suatu saat Bunda akan ngerti kalau bahagia itu bukan cuma tentang harta, Mas yakin." Mas Langit yakin, gue yang kurang yakin.

"Boleh Mas tanya sesuatu?" Gue menengadah.

"Apa?"

"Apa kamu cinta sama Mas?"

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now