(28)

4.2K 473 57
                                    

"Tapi Bunda juga harus tahu, setelah Bunga ninggalin Mas Langit, Bunga nggak akan menikah lagi dengan laki-laki manapun, seumur hidup Bunga!"

Gue udah capek ngadepin permintaan Bunda yang satu ini, kalau memang Bunda sesangat ingin melihat gue sama Mas Langit pisah, baik gue penuhi, tapi Bunda juga harus ingat satu hal, pisah bukan berarti cerai, gue akan pisah sama Mas Langit tapi jangan harap gue bakalan minta Mas Langit melepaskan gue.

"Bunga jaga bicara kamu." Mas Langit mengingatkan, jujur sebenernya bukan gue mau kasar apalagi sampai mau nyakitin perasaan Bunda tapi posisi gue juga istri, gue nggak tahan dengan semua ucapan Bunda untuk Mas Langit.

"Bunga cuma mau menikah sekali seumur hidup Bunda, apa nggak bisa Bunda mengalah sekali ini aja demi Bunga." Lirih gue pelan.

"Bunda hanya akan mendapatkan seorang menantu lelaki dari anak perempuan Bunda, jadi jangan pernah berpikir akan mendapatkan menantu lain." Gue beneran berharap Bunda akan ngerti.

"Apa kamu udah nggak waras Dek? Apa hebatnya Langit dimata kamu? Langit nggak punya kelebihan apapun makanya Bunda rasa Langit itu bukan yang terbaik, diluar sana masih banyak laki-laki yang sesuai untuk kamu." Kelebihan? Kekurangan? Apa yang Bunda maksud sekarang tentang harta?

"Kalau Bunda rasa Mas Langit bukan yang terbaik untuk Bunga harusnya Bunda ngomong kaya gitu sebelum akad nikah Bunga waktu itu! Harusnya sebelum itu Bunda!" Apa gue salah?

Mereka semua hanya protes masalah kekurangan Mas Langit, nggak serasi dan nggak sepadan, selalu ngomong kalau Mas Langit bukan yang terbaik untuk gue, kalau memang itu yang ada dipikiran mereka harusnya mereka buka suara waktu Bang Jian minta Mas Langit menikahi gue bukan malah sekarang.

Kalau sekarang mereka ngoceh bahkan sampai ngelakuin segala macam cara untuk misahin gue sama Mas Langit itu semua bakalan percuma, kenapa? Karena gue udah terlalu nyaman menyandang status seorang istri dari lelaki bernama Langit.

"Kamu masih bisa milih Dek, kamu masih bisa nentuin masa depan kamu, semuanya belum terlambat, kalian belum saling cinta dan yang terpenting belum ada anak yang mengikat kalian berdua!" Gue tersenyum miris dengan pemikiran Bunda gue.

"Apa Bunga harus mengikat Mas Langit seperti yang Bunda mau? Apa Bunga sama Mas Langit harus mengikat pernikahan kami berdua dengan kehadiran seorang anak baru Bunda akan ngerti? Apa itu yang Bunda mau?"

Gue udah kehabisan ide untuk menghadapi Bunda, gue keras kepala mungkin iya tapi yang Bunda lakuin sekarang udah nggak bener, Bunda yang gue kenal bukan orang sejahat ini, Bunda yang gue kenal nggak akan menilai seseorang rendah hanya karena materinya.

"Kamu ngancem Bunda?" Gue menggeleng cepat, gue nggak pernah berniat untuk ngancem Bunda.

"Enggak, Bunga ngasih Bunda pilihan, biarin Bunga belajar mandiri bareng Mas Langit atau Bunda mau Bunga mengikat Mas Langit seperti cara yang Bunda maksud!"

Bunda hanya terdiam dengan ucapan gue, Mas Langit beranjak mendekat dan mengusap bahu gue menenangkan, apa harus begini supaya Bunda mau menerima Mas Langit? Kalau iya mungkin gue nggak punya pilihan lain.

"Kalau Bunda nggak mau kerumah sakit, kita panggil dokter kerumah aja Mas." Cicit gue masih khawatir dengan kondisi Bunda, walaupun masih bisa berdebat tapi wajah pucat Bunda nggak akan nipu.

"Tapi Mas_"

"Gak papa Mas, dokternya memang dokter keluarga yang udah biasa nanganin Bunda kalau lagi sakit, cuma biasanya setelah dikabarin, Bang Jian bakalan dateng ngejemput, kalau Mas yang jemput dokternya sekarang bisakan?" Gue narik Mas Langit menjauh, kalau Bunda tahu Mas Langit yang jemput dokternya bisa berabe lagi.

Sekilas gue merhatiin Mas Langit yang mulai keliatan gelisah sambilan sesekali menatap ke arah luar jendela, mendung, Mas Langit pasti kepikiran mau jemput pake motornya kalau hujan gimana.

"Mas, dikamar Bunga ada kunci mobil dideket nakas, Mas pakai mobil Bunga aja." Gue tersenyum menenangkan tapi Mas Langit masih terlihat menimbang.

"Nggak papa Mas, bukan kita mau makai fasilitas Bunda buat seneng-seneng tapi memang keadaan lagi mendesak, demi Bunda ya Mas."

"Mas berangkat sekarang, kalau ada apa-apa langsung kabarin Mas." Gue mengangguk pelan.

Setelah Mas Langit jalan, gue balik duduk disebelah Bunda yang udah buang muka menolak menatap gue, Ya Allah, sabar Bunga sabar, orang tua nggak bisa dikerasin, tar yang ada makin marah dan berakhir dengan tambah nggak suka.

"Kamu bahagia hidup miskin kaya gitu? Bunda cuma nggak mau kamu atau bahkan cucu Bunda nanti hidup susah, Bunda udah pernah tahu rasanya Dek." Ucap Bunda masih belum menatap gue.

Gue memeluk Bunda erat belum berniat mengucapkan sepatah katapun, gue tahu Bunda khawatir ke gue tapi gue nggak pernah tahu kalau Bunda bakalan sampai khawatir ke calon anak-anak gue juga.

"Bunda, Bunga bahagia, walaupun Bunga sama Mas Langit hidup sederhana tapi rasa tanggungjawab yang Mas Langit berikan membuat Bunga merasa tercukupi untuk segala sesuatunya."

"Bunda tahu, Bunga sayang sama Bunda, di dunia ini cuma Bunda perempuan yang paling berharga untuk Bunga tapi sekarang Bunga juga seorang istri Bunda, kalau Bunda ada diposisi Bunga apa Bunda akan ninggalin Ayah diwaktu susahnya?"

"Bukannya bangkit bersama itu lebih baik Bunda? Bunda sama Ayah juga susah bareng dan bahagia barengkan? Walaupun masa kecil Bunga sama Bang Jian cukup kesulitan ekonomi tapi liat sekarang, Bunga sama Bang Jian nggak kekurangan sesuatu apapun, Bunda sendiri saksinya."

"Dan yang terpenting, dari semua kata-kata Bunda dan perlakuan Bunda untuk Mas Langit, sampai detik inipun Mas Langit nggak pernah membalas ucapan Bunda dengan suara tingginya apalagi sampai membenci."

"Asal Bunda tahu malah selama ini selalu Bunga yang membebel ke Mas Langit kalau Bunda udah marah-marah tapi Bunda harus tahu juga apa yang selalu Mas Langit bilang, Bunda Bunga itu artinya Bunda Mas Langit juga, apa semua itu belum bisa jadi bukti kalau Mas Langit cukup baik untuk Bunga?"

Seketika Bunda berbalik menatap gue dan anehnya nggak membalas satu katapun ocehan panjang kali lebar gue, tumben, biasanya nhgak suka gitu kalau gue ngomongin Mas Langit.

Gue cuma berharap semua ocehan gue bakalan nyerap ke kepala dan semoga aja bisa merambat masuk kehatinya, gue nggak mau lagi ada ribut-ribut, gue gak bisa milih antara Bunda sama Mas Langit, berat.

"Kamu beneran suka sama Langit?" Hah? Bunda nanya apaan barusan? Suka? Gue sama Mas Langit gitu? Gak mungkin.

"Bunda becanda? Kan Bunda sendiri yang bilang kalau Bunga belum cinta sama Mas Langit nah kenapa malah Bunda tanya?" Yang bener aja gue suka sama Mas Langit, orang tua gitu.

Lagian terlepas dari status kita berdua kayanya Mas Langit juga nggak mungkin suka sama gue, secara gitukan gue masih kaya anak kecil, ngusahin dan bisanya cuma ngajak berantem doang.

Selera Mas Langit walaupun miskin gitu pastinya juga bukan modelan gue, palingan yang dewasa deh, nah guekan belum dewasa, dewasa gue paling dipaksa keadaan tapi jaminan bentaran doang itu, begitu situasi reda, sifat asli gue bakalan balik lagi.

"Bunda kenal kamu Dek!" Ya yang bilang Bunda gak kenal gue siapa? Kan gue anaknya.

"Bunda mungkin bisa memisahkan kalian kalau hanya menyangkut pernikahan tapi akan sangat sulit memisahkan dua orang yang hatinya sudah terpaut, kalian nggak perlu punya momongan buru-buru kalau perasaan aja udah cukup untuk mengikat kalian berdua." Maksud Bunda?

"Bukan pernikahan yang mengikat kalian berdua tapi perasaan!"

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now