(23)

4.6K 522 55
                                    

"Makan hati, huwaaaaa!" tangis gue pecah.

Strategi hidup gue beneran meleset, harapan gue beneran nggak tercapai sama sekali, itu kenyataannya, pada akhirnya gue melepaskan tangisan gue didepan Mas Langit, menutup muka gue dengan kedua tangan beneran memperlengkap kekacauan gue.

"Yah yah yah tadi didalem nggak separah ini kenapa malah nangis kejernya baru sekarang? Dasar bocah." Mas Langit malah tersenyum manis merhatiin gue.

"Udah tahu bocah ngapain Mas nikahin?" Tanya gue makin terisak, Mas Langit mengusap kepala gue masih dengan senyum mengembangnya.

"Itu jodoh namanya Bunga, kalau Mas berakhir dengan menikahi kamu, Mas bisa apa? Udah turunin dulu tangannya." Dan tangis gue makin kejer, jawabannya Mas Langit mencurigakan.

"Mas memang nggak sedih ditinggalin gitu aja? Mas nggak sedih pacar Mas direbut sahabat Mas sendiri?" Tanya gue masih dengan tangan menutup muka.

"Mas punya kamu sebagai gantinya!" Mas Langit mengusap kepala gue dan menurunkan tangan gue paksa.

"Jelek kalau lagi nangis gini." Cicit Mas Langit nyubit pipi gue lagi.

"Terus aja Mas, bilang sekalian kalau Mas juga nyesel nikah sama Bunga." Senyuman Mas Langit langsung menghilang.

"Yaudah mau makan apa Dek Bunga?" Gue tanpa sadar mukul lengan Mas Langit pas manggil gue begitu, ngejek banget kedengarannya.

"Makan orang." Balas gue dan langsung makai helm, makin lama makin nggak jelas perdebatan gue sama Mas Langit.

.

"Assalamualikum!" Ucap gue langsung naik ke atas, panggilan Bang Jian juga nggak gue respon, gue lagi nggak mau ngejelasin apapun, kalau pada mau nanya yaudah sama Mas Langit aja, infonya bakalan sama.

"Bunga kenapa Lang?" Tanya Bang Jian yang masih bisa gue denger, ah setidaknya Bang Jian nanya ke orang yang tepat.

Berlalu masuk ke kamar gue beberes dan milih langsung tidur, Mas Langit juga belum masuk, mungkin masih cerita panjang kali lebar untuk menjelaskan seberapa luas kronologi kejadian tadi, penghiatan dan perselingkuhan kedua tersangka yang tak punya hati itu.

"Bunga!" Baru aja gue pikirin orangnya dateng.

"Kenapa? Jangan ganggu Bunga, tahukan kalau emosi anak ABG masih belum stabil begimana? Bahaya untuk Mas." Cicit gue langsung narik selimut nutupin seluruh tubuh.

"Jadi beneran nggak mau nih?"

"Nggak."

"Oh yaudah Mas kasih lagi sepatunya ke Jian ya?"

"Hah sepatu?" Gue langsung bangkit berlari nahan Mas Langit, sepatu apaan? Jangan bilang itu pesenan gue dari beberapa bulan yang lalu? Gue kudu ngerengek berminggu-minggu cuma untuk dibeliin ini.

"Tadi katanya nggak mau."

"Udah siniin!" Mas Langit tersenyum jail dan memberikan bungkusannya ke gue, begitu gue buka raut wajah gue asli beneran berubah, mata gue berbinar sekinclong kalau lagi nangkringin oppa-oppa bertebaran yang jauh diluar sana.

"Bang Jiannya mana Mas?" Tanya gue masih kegirangan.

"Udah balik, udah sedihnyakan? Kalau udah, besok pulang sekolah, Mas berencana ngajak kamu ketemu Bunda." Gue menutup kotak sepatu gue dan beralih menatap Mas Langit menelisik, ketemu Bunda? Untuk apa?

"Ngapain Mas? Bunga nggak mau kesana kalau cuma untuk denger omongan nggak enak Bunda." Gue nggak mau berantem sama Bunda, mungkin dengan nggak kesana untuk beberapa waktu lebih baik, itu pemikiran gue.

"Tugas kita untuk meyakinkan Bunda, Mas nggak akan menyerah sekarang, kita akan mendapatkan restu Bunda, insyaallah." Gue udah nggak bisa ngomong apapun kalau udah begini, Mas Langit pasti udah mikirin semuanya baik-baik.

"Mas, Bunga cuma takut kalau Bunda bakalan ngerendahin Mas lagi." Gue tahu Mas Langit nggak akan membalas apapun untuk ucapan Bunda tapi gue juga nggak mau Mas Langit terus nahan diri.

"Bunda kamu itu artinya Bunda Mas juga, Mas nggak akan marah karena Mas tahu alasan Bunda bersikap seperti itu apa, Bunda terlalu sayang sama kamu jadi kita sebagai anak nggak perlu bersikap sama, yang perlu kita lakuin itu bersabar dan jelaskan pelan-pelan kalau memang ada sikapnya Bunda yang salah." Ah, andai Mas Langit sesabar ini ngadepin gue.

"Okey?" Tanya Mas Langit yang gue angguki.

"Okey!"

.

"Mas, Bunga berangkat ya!" Gue melambaikan tangan gue ke Mas Langit yang lebih dulu balik digenggam tetiba.

"Kenapa?" Tanya gue bingung.

"Salim!" Hah! Salim? Kan kemarin udah habis shalat.

"Mas becandakan? Nggak mungkin disinikan? Ini sekolah lo Mas." Gue udah cengengesan pura-pura bego sendiri, yah yang bener aja disuruh nyalim didepan gerbang sekolah, berasa Bapak lagi nganter anaknya.

"Salim!" Ulang Mas Langit dengan tatapan datarnya itu.

"Okey okey okey!" Gue nyalim dan langsung berbalik ninggalin Mas Langit diparkiran, ngeselin banget, nyuruh sesuatu selalu pakai maksa.

"Bunga! Bunga! Bunga!" Ah udah ketahuan siapa yang manggil gue inimah, Ama udah.

"Lo tahu barusan gue liat apa? Gue liat Pak Bintang sama Bu Lia dateng ke sekolah bareng dan kabar terpanasnya lagi adalah mereka berdua udah nikah, sarap nggak tu?" Jelas Ama pakai nafas ngosngosan.

"Terus?" Balas gue masih fokus jalan, jujur gue sedikit kaget, bukan karena gue tahu Mas Bintang sama Bu Lia udah nikah tapi lebih karena gue kaget mereka udah go public disekolah.

"Terus? Itu harusnya gue yang nanya! Lagian lo nggak syok gitu sama informasi gue? Berita wow banget itu!"

"Gue udah tahu!" Dan detik itu juga mata Ama yang berbinar, nagih penjelasan udah ini.

"Tar gue jelasin, nggak sekarang, udah telat ini." Mengabaikan Ama yang udah narik-narik nggak jelas, gue berjalan lurus masuk ke kelas, pusing gue ngadepin Ama.

Selama pelajaran, udah nggak terhitung umpatan Ama ke guru yang lagi ngajar didepan kelas, belum lagi tatapan Fadil yang serasa mau nelen gue hidup-hidup, mumet banget kepala gue asli, gimana sama nasib ujian gue coba kalau begini ceritanya?

"Baru tahu gue ada guru tapi nggak punya malu, selingkuh sama sahabat pacar dan lebih parahnya lagi nikung calon murid sendiri, hebat!" Cicit Ama sambilan natap Bu Lia nggak suka.

"Mereka nggak selingkuh, Bu Lia mutusin Mas Langit dulu sebelum ngaku sama Mas Bintang, kalau sama gue juga nggak bisa protes, orang Mas Bintang juga nggak punya rasa apapun ke gue jadi wajar kalau Mas Bintang nerima Bu Lia." Balas gue nulis dikertas dan gue kasihin ke Ama.

"Lo bego apa nggak punya otak sih Nga? Mereka yang salah kenapa malah lo yang ngalah? Kalau gue jadi lo, udah gue viralkan kebusukan tu guru berdua." Balas Ama lagi.

"Gue nggak bego cuma otak gue lebih jalan dari pada otak lo, buang-buang waktu gue kalau cuma buat mikirin mereka." Gue balikin lagi kertasnya.

"Tumben otak lo bener, kenapa?" Gue tersenyum sekilas menatap kertas yang dibalikin Ama.

"Kenapa? Karena Langit lebih luas dari pada Bintang, kalau Bintang dan Bunga hanya akan terlihat indah jika dipandang bersama, maka Langit akan memiliki Bunga disetiap pandangannya, Langit memiliki perlindungan terbaik untuk kehidupan seorang Bunga."

"Itu kata suami gue." Haha.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now