(27)

4.4K 482 56
                                    

"Tapi disana Bunda malah mengenalkan Mas seorang perempuan dengan harapan Mas akan melepaskan kamu!" Gue tertawa perih dengan ucapan Mas Langit.

"Apa Mas pulang telat karena perempuan lain itu?" Tanya gue kembali tertunduk, kalau Bunda mengenalkan seorang perempuan pasti perempuannya lebih segala-galanya ketimbang gue, iya kali perempuan dibawah gue ya pasti Mas Langit bakalan nolak.

"Kalau Mas nerima perempuan itu, Mas nggak akan pulang hanya karena memikirkan kamu."

"Tapi baju Mas kenapa udah ganti?" Tanya gue lagi.

"Ini adalah alasan kenapa Mas pulang telat, tadi sewaktu Mas mau pulang ada ibu-ibu yang nggak sengaja nabrak dan numpahin kopinya ke baju Mas, Ibunya malah pingsan mendadak karena asmanya kambuh, Mas nggak mungkin nggak nolonginkan? Mas nemenin Ibunya dirumah sakit sampai anaknya dateng." Gue tersenyum lega dengan penjelasan Mas Langit.

"Makanya Mas selalu bilang jangan keseringan mikir aneh-aneh, tanyain sama Mas apa yang mengganjal dihati kamu!"

"Bunga pikir Mas bohong!" Mas Langit malah tertawa dengan ucapan gue.

"Malah ketawa sih Mas?"

"Terus Mas harus gimana? Nangis? Mas ketawa karena kamu lucu, pulang-pulang bukannya Mas disambut ini malah dikasih tatapan sinis." Gue balik menatap Mas Langit kesal sekarang, nggak bisa memang kita berdua akur.

"Susah ya ngomong sama orang tua!"

"Makasih udah nungguin Mas, sekarang kamu tidur, Mas beberes dulu!" Gue mengangguk pelan.

.

Hari ini ujian gue dimulai, entahlah perasaan gue sekarang campur aduk, masalah ujian, masalah Bunda, belum lagi Dinda, walaupun kata Ama si Dinda udah mendingan ya tapi dari tadi itu anak nggak ngomong apapun sama gue.

Gue sendiri juga rada sangsi mau ngomong duluan, Dinda malah kaya lagi keseringan ngobrol sama Fadil, negatif thinking gue malah menunjukan persentase semakin tinggi ngeliatnya, takutnya Dinda beneran udah nggak marah tapi malah Fadil yang ngasih hasutan lewat jalur lain.

"Woi ngapain bengong? Nggak pulang?" Tanya Ama yang ternyata udah selesai beberes lebih dulu.

"Gimana mau pulang coba, itu Dinda ngapain sama Fadil mulu?" Jawab gue menunjuk Dinda sama Fadil pakai dagu.

"Lo cemburu?" Aish kampret banget memang, ni anak isi otaknya apaan sih? Gue udah jelasin masalah Fadil ngancem gue sama Mas Langit panjang kali lebar ke Ama eh tapi bisa-bisanya dia nuduh gue cemburu?

"Otak lo bisa dipakaikan? Masih fungsikan? Masih sehatkan? Ngasal banget." Gue udah natap Ama kesal sambilan geleng-geleng kepala.

"Yakan cuma nanya! Nanya gitu! Siapa tahu otak lo lagi nyeleweng juga!"

"Gue pulang ni!" Baru setelahnya Ama narik-narik tas gue pakai senyum nggak jelas.

"Gue panggilin Dinda deh ngajak pulang sekalian." Belum sempat gue jawab, Ama udah teriak duluan.

"Din, pulang yok!" Dinda menoleh dan mengacungkan tangan tanda oke, gue sih cuma ngangguk bebek.

"Sorry!" Cicit Dinda memeluk gue tiba-tiba, gue yang mendapati sikap Dinda beneran ngerasa lega sekaligus kaget.

"Gue juga sorry! Gue asal nyeplak banget kemarin tanpa mikirin perasaan lo!" Ucap gue membalas dekapan Dinda.

"Udah ah lo pada asik sorry-sorry terus, yok pulang, gue traktir es krim seribuan depan gang sekolah deh!"

"Pelit amat!" Ucap gue sama Dinda sepakat noyor kepala Ama.

"Eh Din, tadi Fadil ngomong apaan sama lo?" Tanya Ama yang langsung narik konsentrasi penuh gue.

"Si Fadil? Tu anak rada aneh ni hari, masa dia minta gue buat ngebantuin dia cara narik perhatian cewe? Gue aja gagal narik perhatian cowo!" Dinda langsung natap gue nggak enak sama ucapannya.

"Sorry gue kelepasan, nggak ada maksud apapun gue Nga, suer, udah ikhlas gue." Gue tersenyum kecil, iya gue percaya.

"Percaya percaya, eh tapi seriusan Fadil minta tolong itu? Rada nggak enak perasaan gue." Balas gue menanggapi ucapan Dinda.

"Ah sama satu lagi, dia nanya kita semua pada mau nyambung kuliah dimana." Gue sama Ama udah membulatkan mata kaget nggak tahu harus bereaksi gimana.

"Terus lo kasih tahu kita bertiga daftar dikampus mana?"

"Yakali gua kasih tahu, sejahat-jahatnya gue kalau sama kalian nggak akan berkhianat, gue jawab aja belum tahu." Gue mengangguk setuju, kalau soal ini gue sendiri mengakui, Dinda nggak akan berkhianat, kalau Dinda berniat berkhianat dia bakalan nusuk gue dari belakang soal Mas Langit, tapi nyatanya Dinda lebih milih jujur ke gue dan minta kesempatan walaupun kesempatan itu nggak bisa gue kasih.

"Bagus, kerja bagus!" Gue narik nafas lega.

"Nga, lo kayanya juga harus cerita masalah Fadil sama Dinda deh, biar ni anak bisa antisipasi sama hasutannya." Ah pada akhirnya selama perjalanan pulang gue balik cerita ulang masalah Fadil ke Dinda ditemani dengan es krim seribuan traktiran Ama.

"Assalamualaikum!" Cicit gue dan nggak ada jawaban dari siapapun, wajar sih kan cuma ada Nenek, paling dikamarnya.

Gue yang berniat masuk ke kamar Nenek malah memberhentikan langkah begitu handphone gue berdering, melihat nama Bang Jian terpampang di layar, nggak butuh waktu lama untuk gue ngangkat panggilannya.

"Ass_

"Bunda jatuh di kamar mandi, dateng kerumah sekarang Dek." Menutup gitu aja panggilan Bang Jian, gue berlari cepat pulang ke rumah, Ya Allah.

Bang Jian kebetulan lagi diluar kota makanya lebih dulu ngehubungin gue, kalau nunggu Bunda yang ngehubungin pasti nggak bakalan mau karena gengsi sama gue.

"Bunda, Nda?" Gue berlari naik ke atas masuk ke kamar Bunda.

"Mas!" Kaget gue begitu mendapati Mas Langit berdiri tertunduk di dekat ranjang Bunda.

"Mas kenapa bisa disini?" Tanya gue kaget, apa ini alasan Mas Langit nggak bisa jemput gue? Apa karena Bunda lagi.

"Tadi Jian ngabarin Mas kalau Bunda kepleset dikamar mandi, dirumah nggak ada siapapun makanya Mas langsung datang kemari, kaki Bunda kayanya terkilir." Bang Jian ngabarin Mas Langit lebih dulu ternyata.

"Yaudah kita bawa kerumah sakit aja Mas biar lebih tenang kalau udah dicek." Tawar gue.

"Gak usah, kalian berdua pulang sana, Bunda nggak butuh siapapun!" Balas Bunda sinis.

"Ya Allah, Nda, Bunda liatkan keadaan Bunda sekarang gimana? Bunda itu harus ke rumah sakit jangan malah keras kepala kaya gini." Gimana bisa gue pulang kalau keadaan Bunda aja nggak bisa ngapa-ngapain?

"Yang keras kepala itu bukannya kamu? Udah dibilangin suruh tinggalin dia malah bebal nggak nurut sama orang tua."

"Baik, Bunga akan ninggalin Mas Langit!" Ucap gue yang dihadiahi tatapan kaget Mas Langit dan wajah antusias Bunda.

"Bagus ka_

"Tapi Bunda juga harus tahu, setelah Bunga ninggalin Mas Langit, Bunga nggak akan menikah lagi dengan laki-laki manapun, seumur hidup Bunga."

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora