(43)

4.5K 491 99
                                    

"Mungkin gue akan bahagia kalau ngeliat Mas Langit bahagia dengan orang yang bener-bener dia cinta." Gue mengusap air mata gue perlahan. Gue tertunduk dengan air mata kembali mengenang, apa gue bisa ngadepin masalah kaya gini?

"Yang sabar, kesehatan lo juga penting Nga, gue nggak mau lo jatuh sakit karena terus kepikiran kaya gini." Gue memaksakan senyuman gue.

"Sekarang lo mau kemana?" Gue menggeleng untuk pertanyaan Ama, gue nggak tahu mau kemana? Kemanapun asal bukan ketemu Mas Langit.

"Kita cari makan dulu deh, lo belum makankan?" Gue menggangguk setuju.

Dalam diam, Ama tetap fokus dengan kemudinya sedangkan gue mengusap air mata gue sesekali dan menangis dalam diam, gue tahu ini nggak akan mudah tapi gue juga nggak punya pilihan lain selain menghadapi.

"Turun dulu." Gue mengikuti Ama turun dan masuk ke toko langganan kita berdua, tokonya persis banget baru buka tapi kita berdua tetep nunggu diruang tunggu khusus keluarga, kebetulan yang punya toko saudaranya Ama.

"Lo kalau mau tiduran juga nggak papa, aman kok, tar kalau memang makanan udah jadi gue bangunin." Tawar Ama natap gue prihatin.

"Tengkyu." Menyamankan posisi gue, handphone gue ubah ke mode hening dan tidur.

.

"Nga, makan dulu." Gue mengerjapkan mata perlahan dan sedikit memperbaiki kerudung gue.

"Lo nggak makan?" Tanya gue karena makanan yang di meja cuma ada satu porsi.

"Gue udah tinggal lo aja, tadi mau gue bangunin lebih cepet tapi kayanya lo pules banget." Gue mengernyitkan kening begitu mendengar jawaban Ama.

"Memang sekarang jam berapa?"

"Jam sebelas pagi menjelang siang." Hah? Gue tidur udah tiga jam? Pantes Ama nggak nungguin.

"Yaudah lo makan dulu, tar yang nungguin makin kelamaan."

"Yang nungguin? Memang siapa?" Siapa yang nungguin gue?

"Hah? Yang nungguin? Gue maksudnya, udah lo makan, gue turun sebentar okeh." Menatap Ama aneh, gue tetap mengangguki dan mulai menyuap makanan gue.

Sembari menyuap makanan, gue juga mulai melirik handphone gue yang tenyata tidak mendapatkan notif dalam bentuk apapun, bahkan dari orang yang mungkin gue harapkan.

Gue juga beralih ke chat yang gue kirimkan ke Mas Langit, mendapati chat gue ternyata udah dibaca tanpa dibalas sama sekali juga membuat gue menarik nafas pasrah, makan Bunga, lo nggak harus sakit sekarang.

Meletakkan handphone gue kembali, gue tetap menyuap makanan ke mulut gue walaupun dengan isak tangis tertahan, gue nggak harus mengharapkan apapun, gue yang mau Mas Langit punya waktu untuk mikirin perasaannya sendiri.

"Ma, lo ngasih gua makan tapi minumnya kagak gitu?" Tanya gue begitu pintu tetiba terbuka.

"Ini minum kamu." Gue mengerjapkan mata gue dan kembali tertunduk menerima minuman yang diletakkan tepat didepan gue, kenapa Mas Langit ada disini?

"Apa pergi tanpa izin Mas membuat kamu merasa jauh lebih baik?" Tanya Mas Langit ikut memposisikan diri disamping gue.

"Mas tahu aku disini dari mana?"

"Kamu belum jawab pertanyaan Mas." Gue mengehela nafas dalam dan memberanikan diri natap Mas Langit.

"Kan udah izin." Ucap gue yakin.

"Lewat chat? Apa itu izin yang kamu maksud?"

"Aku cuma nggak mau ngebangunin Mas." Mas Langit tersenyum sinis dengan jawaban gue, alasan nggak berbobot memang.

Ketika Langit Mencintai Bunga (END)Where stories live. Discover now