PP-01

14K 532 10
                                    

*****

Nadira mendesah, menatap kakaknya yang sedang berkemas dengan terburu-buru.

"Tidak ada yang tertinggal?" Bisik Nadira, tegang.

Nadilla menggeleng, menutup koper dan memandang adik yang sejak tadi duduk diam di ranjangnya. Meraih tangan sang adik.

"Terima kasih sudah mau menolong kakak, Dira. Kamu memang yang terbaik," ujar Nadilla.

Nadira tersenyum paksa.

"Apa rencana Kakak setelah ini?"

Nadilla menggeleng, "kamu tahu, Kakak akan keluar dari sini besok saat papa dan Mama sibuk di kantor. Kakak udah sepakat dengan Dirly. Kami akan pergi jauh."

Nadira menggenggam erat tangan saudarinya. Dia tidak mau berpisah. Tapi, mau bagaimana lagi? Ini demi kebahagiaan sang kakak. Ah, andai saja orang tuanya bukan pengejar harta... Menurut Nadira, Dirly adalah sosok yang baik, hangat dan sangat pengertian. Cocok untuk Nadilla yang kadang masih labil juga manja. Tapi, karena keluarga Dirly sangat biasa-biasa saja, ayah mereka tidak menghendaki hubungan Nadilla dan pemuda itu langgeng.

"Kalau nanti Papa dan Mama nyariin, kamu bilang saja tidak tahu. Kakak tidak akan mau menikah dengan Rilian-Rilian itu," sungut Nadilla yang sejak awal sangat menentang keras keputusan ayahnya.

Nadira tersenyum paksa, "aku akan sangat merindukan Kakak..."

Nadilla memeluk adiknya, "Kakak akan sering kasih kabar padamu. Kakak janji..."

Keesokan harinya, setelah kedua orang tua berangkat bekerja. Nadira dan Nadilla sepakat untuk bertukar peran. Bertukar kepribadian demi untuk mengecoh para penjaga. Nadira yang biasanya berpakaian kasual, sekarang berpakaian seperti Nadilla, feminim dengan dress pendek warna maroon. Sementara Nadilla meminjam setelan milik sang adik. Semua penjaga tidak akan bisa membedakan mereka.

"Non Dira mau kemana?" Tanya seorang penjaga saat Nadilla yang menyamar sebagai Nadira keluar sambil menarik koper.

"Aku mau ada acara di kampus, Mama gak bilang?" Tanya gadis itu, bahkan meniru gaya bicara Nadira dengan sangat baik.

Nadira yang asli cuma memperhatikan mereka dari pintu. Menggigit bibirnya dan berdoa dalam hati semoga rencana sang kakak berjalan lancar.

"Oh? Nyonya tidak bilang. Ya sudah, apa perlu di antar supir?"

Nadilla tersenyum, "tidak perlu. Aku bisa naik taksi." Gadis itu melenggang santai melewati gerbang.

Nadira menghela nafas lega. Dia tahu ini bodoh, para penjaga mungkin saja bisa di kelabui. Tapi bagaimana dengan orang tua mereka? Nadira tidak tahu pasti, apakah kedua orangtuanya mampu membedakan putri kembar mereka atau tidak. Kalau tidak, itu sangat bagus. Kalau bisa? Nadira bergidik memikirkan apa yang bakal terjadi nanti. Apalagi dengan pesta pernikahan yang sudah di ambang mata.

*****

"Dira kemana?" Tanya Tasya, Mama Nadira dan Nadilla ketika makan malam.

Gerakan tangan Nadira terhenti, menatap mamanya dengan bimbang.

"Ehm, katanya ada kegiatan sama anak-anak kampus," Nadira kemudian menunduk, tidak berani memandang wajah sang Mama terlalu lama.

Tasya mengangguk dan kembali makan.

Nadira mendesah lega.

"Besok keluarga Irawan akan datang," cetus Harry Aurelie. Tangan Nadira langsung gemetar, membuat sendok yang dia pegang jatuh berdentang ke lantai. Harry menatapnya, "dan papa harap kamu menjaga sikapmu di depan mereka, Dilla."

Nadira mengangguk kaku, berdoa dalam hati semoga semua berjalan lancar. Tidak ada yang menyadari kenyataan yang terpampang di depan mata ini. Dia bertanya-tanya dalam hati, sudah sampai mana pelarian Nadilla saat ini.

"Mama akan mempersiapkan agar Dilla tampil cantik untuk besok," ujar Tasya dengan riangnya.

Harry mengangguk, "sebaiknya begitu. Dan pastikan agar anak itu tidak kabur," dia mendelik pada Nadira.

"Kamu akan bersikap manis kan, sayang?" Tanya Tasya pada Nadira.

"Iya...Ma," jawab Nadira gugup.

Tasya mengernyit memandang putrinya, "Dila, kamu baik-baik saja?"

Nadira mengangguk, "aku baik. Apa aku boleh kembali ke kamar? Sepertinya perutku sedikit sakit, ehm...datang bulan," cicitnya ketakutan.

Tasya tersenyum, membelai rambut Nadira dengan sayang, "istirahatlah, kamu harus tampil segar untuk besok," katanya.

Nadira berdiri dan buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Dia merasa takut, gugup. Aktingnya tidak bagus sama sekali. Tubuhnya gemetar karena dia yakin, penyamarannya tidak lama lagi akan terbongkar.

*****

"Sayang, lihat! Mama beli gaun baru untukmu!" Seru Tasya masuk begitu saja ke kamar Nadilla dan mengerjap beberapa kali karena kamar itu kosong. "Aneh..." Bisiknya.

Entah mendapat firasat dari mana, Tasya langsung membuka lemari dan langsung membelalak begitu mendapati lemari itu kosong.

Tasya menjerit.

Nadira yang mendengar jeritan itu buru-buru mendatangi TKP, begitu melihat lemari kosong terbuka, wajahnya pucat. Apalagi melihat kemarahan tampak jelas di wajah ibunya.

Nadira mundur selangkah. Dia teledor! Dia malah tidur di kamarnya sendiri alih-alih kamar Nadilla. Sekarang habis sudah. Mereka ketahuan.

"Nadira Aurelie, di mana kakakmu?" Desis Tasya.

Nadira menggeleng panik, "aku tidak tahu, Ma," jawabnya jujur.

Tasya menjerit lagi, "bagaimana ini? Dia kabur! Apa yang harus kita lakukan dengan keluarga Irawan?!" Wanita itu semakin histeris.

Nadira tidak tahu harus mengatakan apa.

Tasya berjalan bolak-balik, berpikir dan berpikir.

"Ma...? Mama baik-baik saja?" Nadira tahu itu pertanyaan sangat bodoh. Tapi dia agak mencemaskan keadaan ibunya yang mudah stress itu.

"Sebentar, Mama mau telpon papamu dulu," wanita itu pergi sambil menggerutu.

Nadira mendesah, duduk di tempat tidur Nadilla dan mengusapnya, "kamu di mana, kak?" Bisiknya.

Tentu saja Harry marah besar ketika tahu putri sulungnya kabur. Dia membentaki semua penjaga gerbang karena hal ini. Tidak ada yang berani melawan apalagi membantah pria itu. Harry bisa menjadi sangat mengerikan saat marah.

"Pa?" Panggil Nadira ketika Harry kembali masuk rumah setelah puas memarahi semua orang.

"Sialan, sebentar lagi mereka sampai!" Bentak Harry entah pada siapa. Tasya berusaha menenangkan pria itu, "jika anak itu pulang, ikat saja dia! Kalau perlu, patahkan kakinya!"

Tasya membelalak syok, tapi tidak membantah.

Harry memandang Nadira, "karena papa tidak mau malu pada mereka, kamu harus menikah dengan Rilian menggantikan kakakmu yang bodoh itu."

Nadira diam.

Harry menggerutu dan berjalan pergi, di ikuti Tasya yang masih berusaha menenangkan suaminya.

"Apa saja, aku selalu melakukan apa saja untuk kalian semua..." Bisik Nadira, menghapus air matanya yang baru saja turun.

*****

TBC

07122019

Nggak suka ya....?

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang