PP-46

6.4K 268 14
                                    

*****

Nadira mengangguk memberi semangat pada Nadilla yang semakin terlihat ragu dan cemas di sampingnya. Mereka saat ini berada di depan pintu rumah keluarga Aurelie. Nadilla ingin pulang dan meminta maaf. Memang dia sudah bertemu dengan mamanya belum lama ini di kediaman Nadira. Tapi saat itu Nadilla meminta Tasya agar diam. Tak mengatakan apapun pada kepala keluarga Aurelie mengenai keberadaannya.

"Kita langsung masuk atau tekan bel?" Tanya Nadira.

Nadilla menarik nafas panjang. Lagi, dia berusaha menenangkan diri. Dia sangat yakin jika akan menghadapi kemarahan sang ayah di dalam nanti. Tak peduli jika hari sudah jauh malam sekalipun, jika pria itu ingin berteriak, maka akan dia lakukan.

Nadira menggenggam tangan kakaknya dan kembali tersenyum, "Kakak tahu kalau Mama ada di rumah. Kita akan baik-baik saja. Well, Papa tidak akan semurka seperti yang Kakak bayangkan jika ada Mama. Tenang saja," katanya meyakinkan.

Tapi tetap saja Nadilla cemas. Tapi lagi, dia juga tidak mungkin terus berdiri di sini seperti orang bodoh. Apalagi satpam sudah memperhatikan mereka sejak tadi dari posnya.

Menarik nafas panjang, Nadilla mengangguk, "tekan saja bel itu, Dira. Bagaimanapun, sudah beberapa waktu ini aku bukan penghuni rumah ini lagi," katanya.

Nadira tersenyum dan menekan bel tiga kali. Biasanya, jika dia datang ke rumah, dia akan masuk begitu saja tanpa perlu menekan bel. Tapi baiklah, dia menghargai keputusan kakaknya.

Beberapa saat kemudian, pintu terkuak.

"Non...?"

Nadira nyengir, "hai, Mbak Parni. Masih ingat kak Dilla, kan?" Gadis itu mengerling Nadilla yang cuma bisa tersenyum kaku.

Parni adalah wanita yang bekerja di rumah itu selama beberapa tahun. Sudah Nadira anggap bagian keluarga, seperti Mbok Narti di apartemen Rillian.

"Non Dilla! Bagaimana mungkin saya lupa?! Astaga, mari masuk Non Dira, Non Dilla!"

Kedua saudari masuk mengikuti langkah Parni yang sedang berceloteh tentang berbagai hal. Di antaranya kerinduan keluarga pada sosok Nadilla yang sudah pergi sekian lama tanpa ada kabar. Membuat Nadilla semakin merasa bersalah akan kebodohannya itu.

"Ribut-ribut apa sih, Parni?! Dari tadi sudah--" Tasya membelalak dan detik berikutnya dia menghambur memeluk Nadilla, "--sayang, akhirnya kamu pulang, Nak!" Pekiknya girang. Tingkahnya hampir sama dengan anak TK yang mendapatkan mainan baru.

Nadira memutar mata, memandang sekeliling. Mencari sosok lain di rumah itu.

"Papa ada, Ma?" Cetus Nadira.

Nadilla langsung kaku. Perlahan dia melepaskan pelukan Tasya. Memandang wanita itu dengan cemas.

Tasya mengibaskan tangannya acuh tak acuh, "pria itu belum pulang. Ada urusan penting katanya. Entahlah. Tapi siapa peduli! Ayo, Mama baru mau masak dengan Parni!"

"Mama..." Panggil Nadilla dengan suara lirih.

"Iya, Sayang? Ada apa? Kamu pasti cemas dengan papamu, iya? Jangan khawatir, dia tidak akan melakukan apa-apa padamu. Mama jamin," Tasya menegaskan.

Nadilla tersenyum paksa. Memandang Nadira yang baru saja mendengus keras. Dia sudah masuk ke bagian dalam rumah lebih dulu sambil berseru mau mencari camilan di lemari es.

"Ayo, masuk. Mama kangen banget sama kamu." Tasya terkikik sambil merangkul Nadilla dan menuntun putrinya menyusul Nadira ke arah dapur, "...padahal kita baru saja bertemu, iya kan? Tapi astaga, Mama sangat kangen!" Pekiknya.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang