PP-53

7.3K 280 19
                                    

*****

Dirly menghembuskan nafas panjang. Memandang hampa Tiara, gadis yang baru saja resmi menjadi istrinya beberapa jam lalu. Saat ini mereka sudah ada di kamar hotel, karena mereka menikah di hotel itu. Teringat lagi pernikahan yang dia jalani dengan Nadilla, begitu sederhana. Berbanding terbalik dengan pernikahan kali ini. Semua serba mewah.

"Kamu kenapa sih?" Tanya Tiara, cemberut. Karena sejak tadi Dirly terus saja diam.

Dirly menggeleng, dia tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi dia terpaksa melakukannya. Demi misi yang dia jalani... Demi dendam yang harus dia balaskan.

"Kamu jangan bohong. Aku tahu kalau ada yang kamu pikirkan," desak Tiara seraya duduk di samping Dirly. Menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu. Pria yang sangat dia cintai.

"Tidak ada, sungguh. Aku cuma masih tidak percaya kalau akhirnya kita menikah," kata Dirly memaksakan sebuah senyum.

Tiara tersenyum dan mencium pipi suaminya itu, "kamu harus terbiasa. Sekarang kita sudah menikah. Aku mau kita hidup bahagia selamanya. Janji?"

Dirly menatapnya dalam diam. Mudah saja Tiara berbicara begitu karena dia mencintai Dirly.

Tapi Dirly? Cintanya masih untuk...Nadilla. wanita yang mungkin saja saat ini sudah benar-benar membencinya. Apalagi teringat apa yang dia katakan ketika mereka berjumpa di persidangan beberapa waktu lalu. Dirly merasa bodoh. Andai saja dia bisa menjelaskan kebenaran ini, alasan kenapa dia harus bersama Tiara. Tapi itu tidak mungkin. Dirly akan membiarkan Nadilla untuk sekarang. Tapi dia berjanji pada dirinya sendiri, suatu saat ini, dia akan berusaha mendapatkan Nadilla kembali. Apapun cara dan resikonya.

"Dirly, ih!" Seru Tiara yang merasa kesal karena di abaikan.

Dirly gelagapan, "eh, maaf. Iya aku juga mau kita bahagia." Walaupun jelas tidak bersama, tambahnya dalam hati.

Tiara merengut.

"Sudah malam, bukankah kamu lelah? Apa kamu tidak mau istirahat?" Tanya Dirly.

Tiara mendengus jengkel, "baiklah. Aku mau ke kamar mandi dulu." Gadis itu beranjak sambil menggerutu tidak puas.

Dirly melangkah ke arah cermin. Memandang pantulan wajahnya. Dia sadar, ekspresi di wajah itu sangat datar. Hidupnya sudah...kalau boleh di katakan, hancur. Berantakan, sejak berpisah dengan Nadilla. Baiklah, itu murni kesalahannya karena sebuah ambisi.

Dirly menghela nafas panjang dan beranjak ke arah jendela. Memandang kota di luar. Sampai tiba-tiba sepasang lengan melingkar di pinggangnya.

Mulai saat ini, Dirly akan hidup mengikuti arus saja. Biarlah, apapun yang terjadi. Tapi yang pasti, tujuannya harus tercapai.

*****

Rillian mendelik pada Nadira yang masih betah melakukan agresinya.

"Ayolah, Dira. Sampai kapan kamu bersikap anti padaku?" Keluh pria itu di tengah kegiatan makan malam mereka.

Nadira mendongak dengan mulut penuh. Heran dengan ekspresi Rillian. Memangnya dia melakukan apa?

"Kamu tidak menggubrisku sama sekali," kata Rillian lagi.

Nadira menelan makanannya, "kamu nyebelin sih," ujarnya tak acuh.

Rillian harus bersabar jika ingin menghadapi Nadira. Apalagi perdebatan semacam ini.

"Kamu yang aneh. Kenapa masih saja marah tentang Alya? Kamu kan tahu dia cuma masalalu," ujar Rillian geram. Nyatanya dia tetap tidak bisa sabar.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang