PP-43

6.7K 257 5
                                    

*****

Tiara menatap pria paruh baya di depannya dengan tatapan tajam sekaligus merajuk.

"Aku gak mau tahu, aku mau nikah sama Dirly!" Bentak Tiara, dia akan memperjuangkan apa yang dia inginkan. Tidak mau seperti dulu lagi.

"Tiara, apa yang kamu harapkan dari laki-laki seperti dia? Miskin dan juga sudah menikah!"

Yudhistira selalu di buat geram dengan semua tindakan putri tunggalnya. Bahkan sejak dulu. Dia selalu menuruti keinginan Tiara karena berpikir jika gadis itu yang cuma dia miliki di dunia ini. Apapun akan dia berikan. Kecuali satu.

Tiara menggeleng kencang, "kalau Papa nggak setuju, aku bakal kabur atau mungkin bunuh diri!" Ancamnya.

"Tiara!"

Tiara terisak tak terkendali, "aku mohon, Pa. Aku gak bisa hidup tanpa dia. Masalah dia udah menikah, aku janji, cepat atau lambat dia akan bercerai dengan istrinya."

Yudhistira mendesah pasrah. Lelah. Apapun yang dia katakan tentang pria itu jelas tidak akan di dengarkan oleh Tiara.

"Lakukan apapun yang kamu mau. Tapi kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk, jangan salahkan Papa atau mengatakan jika Papa tidak memperingatkanmu tentang itu. Paham?"

Tiara mengangguk kencang. Dia merasa bahagia. Akhirnya hubungannya dan Dirly mendapat lampu hijau dari sang ayah. Dia tidak sabar untuk memberitahu kabar ini pada pria yang sangat dia cintai itu.

Tiara pun melenggang pergi dengan riang.

Yudhistira menghela nafas panjang, "apapun, Nak. Papa sudah melakukan dan memberikan apapun padamu. Berharap kamu bahagia. Karena seperti yang kamu tahu, usia Papa tidak akan lama lagi..." Lirihnya pedih.

*****

Apartemen Rillian ramai oleh coletahan ibu mertuanya yang memang berisik. Berbincang dengan antusiasme tinggi walaupun baik Nadilla maupun Nadira tidak menanggapi dengan antusiasme yang sama.

Rillian akan bergabung dengan pembicaraan jika di libatkan. Jadi, selama dia tidak di tanya, dia sibuk menghabiskan makan malamnya dalam diam. Tidak terlalu mendengarkan apa yang di ocehkan Tasya.

"Ini sudah mau malam, apa Mama tidak mau pulang?" Tegur Nadira sembari menyendok kuah soto di depannya.

Tasya mendelik ganas, "Mama mau menginap di sini. Mama kangen pada Nadilla, iya kan, Sayang?"

Nadilla tidak bisa berkata apa-apa kecuali memasang senyum kecut.

Nadira mendengus, "kamarku kelewat kecil untuk menampung kita bertiga," protesnya galak.

Tasya memandang putri bungsunya itu penuh kritik dan tatapan sok terluka, "siapa bilang kita akan tidur bertiga?" Tanyanya.

Nadira mengernyit bingung, "maksudnya Mama mau tidur di sofa?"

Sebuah pukulan mendarat cantik di kepala Nadira, hadiah dari sang Mama yang terlihat sangat jengkel.

"Tidak. Mama dan Dilla akan menempati kamarmu, berdua saja," ujar Tasya.

Nadira semakin bingung. Dia bertukar pandang dengan Nadilla yang cuma memberikan gelengan tak berdaya.

"Lalu aku?" Nadira menunjuk dirinya sendiri.

Tasya tersenyum penuh arti dan memandang Rillian yang masih makan.

"Tentu saja kamu tidur dengan Rillian, bukan begitu, Yan?"

Rillian langsung tersedak. Menatap tak percaya pada Tasya dan berharap dia salah mendengar.

"A-apa?" Gagap pria itu. Tenggorokannya terasa lecet karena kuah soto yang panas.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang