PP-39

6.4K 258 10
                                    

*****

Nadilla menarik kopernya dengan susah payah. Keluar dari rumah kontrakan yang selama beberapa waktu ini menjadi tempat tinggalnya. Dengan Dirly yang terus merepet memintanya untuk tetap tinggal, namun Nadilla tidak peduli. Terlalu sakit hati akibat pria itu. Meskipun mungkin masih ada setitik cinta itu, namun rasa sakit masih mendominasi. Apalagi mengingat kenyataan bahwa dia kehilangan anak yang bahkan belum pernah dia jumpai.

"Dilla, aku mohon jangan pergi. Maafkan aku! Aku akan menjelaskan semua padamu, tapi aku mohon jangan tinggalkan aku..." Mohon Dirly.

Nadilla menatap pria itu. Tidak bisa di pungkiri, dia meninggalkan keluarga yang selama ini mencintainya demi pria ini. Berharap mendapat kebahagiaan. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

"Kapan? Kapan kamu akan terus terang?! Aku sudah sangat bersabar selama ini. Kesempatanmu sudah habis, Dirly."

Dirly menggeleng panik, mencoba menahan koper istrinya, "aku mohon, Dilla... Percaya padaku. Aku sangat mencintaimu."

Nadilla menggeleng, menghapus air mata yang terlanjur jatuh, "aku juga mencintaimu, Dirly. Sangat. Tapi kamu sudah menorehkan rasa sakit yang tidak akan kamu mengerti. Aku seolah tidak di hargai olehmu," bisiknya.

Dirly menitikkan air mata, sadar jika sikapnya memang sangat menyebalkan belakangan ini. Tapi dia memiliki alasan. Dan itulah masalahnya. Dia tidak bisa memberitahu Nadilla tentang alasan itu. Paling tidak, untuk saat ini.

"Kamu mau kemana? Pulang ke rumah orangtuamu?" Tanya Dirly putus asa.

Nadilla menggeleng. Tidak mungkin dia pulang ke rumah saat ini. Papanya pasti akan murka dan memberikan hukuman berat jika dia menunjukkan wajah di depan pria itu.

"Aku mau--"

Ucapan Nadilla terhenti saat sebuah mobil Van berhenti di depan dua sejoli itu. Dua orang keluar dari sana dan salah satunya langsung menghambur memeluk Nadilla.

"Ayo kita pergi, Kak," bisik Nadira sambil mengurai pelukan.

Nadilla mengangguk. Dia menatap Dirly, mungkin untuk yang terakhir. Dia akan belajar melupakan pria itu dan rasa sakit yang dia alami karenanya, "selamat tinggal, Dirly. Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan untukku," lirihnya.

Dirly menggeleng kencang, dia ingin menahan. Berteriak meminta Nadilla untuk tinggal. Tapi dia sadar itu sudah tidak mungkin.

"Kopermu?" Tanya Rillian yang sejak tadi memperhatikan Dirly dengan tatapan menilai penuh kritik.

Nadilla mengangguk dan membiarkan saja saat Rillian membawa kopernya masuk mobil. Pria itu menunggu di sisi mobil.

Nadilla menghela nafas panjang. Tidak memandang ke Dirly, "ayo, Dira. Kita pergi dari sini," ajaknya.

Nadira mengangguk, menggandeng tangan sang kakak. Menuntun wanita itu hingga masuk ke dalam mobil dan Nadira memutuskan untuk duduk di sebelah Nadilla. Membiarkan Rillian yang mengemudi sendiri.

"Kakak mau tinggal dengan kami, kan?" Tanya Nadira, mereka sudah membahas ini ketika di rumah sakit. Dan Rillian juga tidak keberatan. Nadira cukup terkesan akan perubahan sikap pria itu yang jauh lebih manusiawi.

Nadilla menggeleng lemah, "Kakak tidak tahu. Tapi...jika sementara mungkin iya, kakak mau. Tapi tidak bisa seterusnya. Kakak mau pergi mencari kerja..." Ujarnya.

Rillian mengintip dari kaca, "kerja? Cuma mengandalkan ijazah SMA? Itu mustahil," katanya.

Nadira mendelik pada suaminya itu, "aku menyesal pernah memujimu," sungutnya.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang