PP-04

10.2K 398 1
                                    

*****

Nadira masuk begitu saja ke apartemen yang beberapa minggu ini menjadi huniannya. Lagipula, Rillian juga jarang menampakkan batang hidungnya. Nadira seakan hidup sendiri. Tapi dia merasa itu jauh lebih baik daripada harus berhadapan dengan lelaki sialan macam suami di atas kertasnya itu.

"Mbok? Masak apa?" Tanya Nadira mengintip panci yang beruap dengan wangi menggunggah selera. Gadis itu hampir saja meneteskan air liurnya.

"Nyonya, ngagetin," keluh mbok Narti sambil memegangi dadanya.

Nadira nyengir.

"Ini loh, Nya... mbok masak gulai kambing," kata wanita tua itu.

Nadira mengerjap, "hah?"

Gulai kambing? Yang benar saja! Pikir Nadira. Dia benci makanan itu tidak tahu kenapa. Makanya di rumah ART tidak pernah masak itu.

"Tapi itu kan...?"

"Nyonya gak suka?" Tebak mbok Narti.

Nadira mengangguk, "gak tahu kenapa. Pertama nyoba, dulu sekali, rasanya bikin eneg.."

"Lah, itu sih yang masak tidak tahu tekniknya. Di jamin, gulai yang ini nyonya pasti suka," desak mbok Narti.

Nadira tidak mengatakan apa-apa dan pergi dari dapur. Meskipun aroma makanan itu membuat nafsu makannya timbul, tapi dia tidak tahu apakah bisa memakannya atau tidak.

*****

Tasya langsung menghambur ke arah pintu, menarik Harry yang baru saja memasuki rumah dalam keadaan sangat lelah setelah seharian di kantor mengurusi banyak hal.

"Ada apa sih, Ma?" Sungut Harry.

Tasya terus menarik pria itu, masuk ke ruang baca. Memaksa sang suami duduk di sebelahnya.

"Tadi aku liat Nadilla, Pa..."

Ekspresi Harry tetap datar.

"...Papa tidak berniat nyari dia atau berusaha buat dia kembali ke rumah? Mama kangen Dilla, Pa..."

Harry mendesah, "Papa sedang berusaha sebenarnya. Selama ini Papa menyuruh orang untuk mencari keberadaan anak nakal itu. Juga sekalian menggali informasi tentang lelaki yang membawanya kabur."

Tasya mendesah, jengkel. Dia juga kesal pada lelaki yang sangat di bangga-banggakan Dilla itu. Lelaki tidak jelas asal-usulnya, masa depan suram. Pokoknya sangat tidak cocok dengan putrinya, itulah sebabnya dia mendukung rencana sang suami menjodohkannya dengan lelaki pilihan. Tapi dasar, Dilla malah kabur dan memaksa mereka menahan malu serta mendesak Nadira menggantikan sang kakak. Tasya menyesal kenapa Nadilla tidak seperti adiknya yang begitu patuh.

Jika Nadilla adalah anak yang patuh, saat Harry memintanya putus dengan pacar tidak jelasnya itu, tentu saja tidak akan ada perjodohan. Tapi gadis itu kelewat keras kepala. Mengatas namakan cinta hingga membuatnya buta dan melarikan diri dari keluarga.

"Jadi? Ada informasi?" Tanya Tasya tidak sabar.

Harry memutar matanya, "sekalipun ada, Papa tidak mau membaginya padamu."

Tasya melotot, "kenapa?"

"Karena Mama pasti akan ke tempat anak itu, membujuk dan sebagainya. Tapi rencana Papa bukan seperti itu." Ujar Harry, menyeringai.

"Rencana Papa apa? Tolong jangan sakiti Dilla..."

"Papa tidak mungkin menyakiti anak itu sekalipun dia nakal. Papa cuma mau menunggu, sampai dia sadar bahwa tindakannya itu salah. Kita tunggu saja, tidak lama lagi, anak itu akan pulang dan menyesal."

Tasya mulai gelisah, "Papa...serius?"

Harry mengangguk, "Papa sudah mengirim orang untuk mengawasinya dari jauh. Kita akan mendapat kabar yang berkala tentang mereka. Mama tenang saja."

Tasya mengangguk. Selama ini suaminya memang bisa di percaya.

*****

"Aku pulang!" Dirly masuk ke kamar kontrakannya yang baru.

Dilla yang sedang nyetrika cuma mendongak, tersenyum lebar, "darimana?" Tanyanya.

Dirly mengangkat kresek hitam, "cari makan, nih makan," dia meletakan kresek di depan Dilla.

Dilla membukanya. Nasi bungkus. Dengan lauk yang sangat sederhana. Selama ini dia tidak mengeluh. Sekalipun tidak makan, dia tidak mengeluh. Karena dia mencintai Dirly. Lelaki itu sudah berusaha keras untuk menghidupi mereka. Meskipun bekerja apa saja...

Dirly duduk di depan Nadilla, melanjutkan pekerjaan gadis itu.

"Ayo di makan, kamu pasti lapar, kan?"

Mata Dilla berkaca-kaca, "kamu sudah makan?" Tanyanya karena Dirly cuma membawa satu bungkus nasi.

Dirly tersenyum, "sudah, tadi di sana."

Dilla tahu jika Dirly berbohong. Lelaki itu memang tidak pernah bisa berbohong. Matanya tidak akan fokus jika sedang berbohong dan saat ini mata Dirly seperti itu. Memandang kemana saja asal tidak ke arah Dilla.

Dilla tersenyum, beranjak mengambil piring dan sendok. Mulai makan. Hatinya damai...

"Ini..." Dia mengulurkan suapan pada Dirly.

Lelaki itu menatapnya, "aku sudah kenyang. Kamu makan saja," elaknya.

Dengan sikap Dirly yang seperti itu, Dilla semakin mencintainya. Dia harus bersabar agar orang tuanya menerima Dirly. Dia lelaki yang baik. Sangat baik.

"Kalau kamu tidak mau makan, aku juga tidak makan," ancam Dilla.

Dirly menatapnya tajam.

Dilla terlihat serius, "aku tidak main-main," katanya lagi.

"Dilla..."

"Ayolah...please..." Bujuk Dilla, menyentuh bibir Dirly dengan sendok, "...buka mulutnya..." Desaknya.

Dirly mendesah, dia membuka mulut dan membiarkan makanan itu masuk ke sana.

Dilla nyengir, "begitu lebih baik," katanya.

"Kamu rubah kecil pemaksa," sungut Dirly.

Dilla terkekeh, "itu namaku," sahutnya. Dia tidak pernah marah, Dirly sering memanggilnya dengan sebutan begitu jika sedang jengkel.

Dilla bahagia meskipun hidup sangat sederhana. Ada Dirly, itu sudah cukup. Dia teringat adiknya, dia berhutang budi pada Nadira karena bersedia menggantikan posisinya...

Semoga kamu baik-baik saja, Dira... Pikir Dilla.

*****

TBC

10122019

Masih...ngambang?
Jangan lupa voment ya 😘😘😘

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang