PP-51

5.8K 305 22
                                    

*****

Nadilla keluar dari ruang sidang dengan wajah datar. Dia tentu saja bertemu dengan pria itu tadi. Dirly. Dan sikap Dirly jauh lebih dingin dari yang sudah-sudah. Nadilla berusaha untuk tidak mengeluh. Dia akan melupakan Dirly dan memulai semuanya dari awal. Itu tekadnya. Dirly adalah masalalu yang tidak usah di ingat, namun untuk di jadikan pelajaran. Bahwa tidak selamanya pria baik itu...baik.

Nadilla juga tidak akan menuntut apapun. Dia akan bersikap kooperatif agar persidangan ini segera selesai. Persetan dengan ucapan hakim yang meminta mereka untuk 'bersemedi'!! Sungguh, konyol! Dia terus melangkah, mendengarkan dengan separuh hati apa yang di katakan kuasa hukumnya mengenai masalah ini.

"Terima kasih, Pak Handoko. Saya sangat mengerti," ujar Nadilla ketika dia sampai di samping mobilnya.

Pria bernama Handoko ini adalah salah satu pengacara top di dalam negeri. Dia pria paruh baya itu cukup mengenal Harry Aurelie dan membantu pria itu beberapa kali. Jadi dia sama sekali tidak keberatan saat Harry menghubunginya dan meminta agar dia membantu kasus perceraian putrinya.

Pak Handoko mengangguk, "kalau begitu, sampai jumpa lagi, Dilla."

Nadilla mengangguk, "mari, Pak. Saya pulang dulu."

Nadilla masuk mobil dan langsung tancap gas. Sialnya, dia malah mengingat apa yang di katakan Dirly sebelum persidangan di mulai beberapa jam tadi. Dia tidak habis pikir, kenapa Dirly bisa berubah sedrastis itu. Dia tidak mengeluh atau menyesal, dia cuma bertanya-tanya. Bukannya dia peduli.

"Sial, lupakan Dirly, Dilla! Dan mulai hidup baru! Oke, sekarang apa yang mesti aku lakukan?" Oceh Nadilla.

Akhirnya Nadilla memutuskan untuk menyambangi kediaman adiknya, Nadira.

Tentu saja Nadira sangat antusias.

"Kakak harusnya bilang kalau mau datang. Ya ampun!"

Nadilla memutar matanya, dia duduk di sofa, memperhatikan bagaimana Nadira tengah berkutat tidak jelas dengan rak sepatu yang ada di pojok ruangan.

"Sebenarnya apa yang kamu lakukan?" Tanya Nadilla dengan kening berkerut.

Nadira mendesah dramatis, "semua sepatuku yang layak pakai mendadak lenyap. Mbok Narti tidak tahu apa yang terjadi. Aku juga tidak."

Nadilla sama sekali tidak mengerti apa yang tengah di ocehkan Nadira saat ini.

"Masa sih semua sepatu itu pergi dengan sendirinya dan meninggalkanku satu pasang sandal jepit jelek ini?" Keluh Nadira, berdiri dan mendelik ganas pada sandal jepit kumal yang dia maksud.

Nadilla merasa geli, dia menyumpal mulutnya agar tidak tertawa keras.

Nadira mendengus, duduk di sebelah sang kakak, "bagaimana sidangnya? Apa si brengsek itu datang?" Nadira sudah memiliki julukan baru untuk calon mantan kakak iparnya itu.

Nadilla mengangguk, mengangkat bahu, "tentu saja dia datang, Dira. Tapi tidak kakak gubris."

Nadira mendengus, "sumpah ya, aku gak percaya kalau si Tiara itu ternyata pelakor! Aku sudah menghubungi dia dan ngajak ketemu, tapi dia nolak dan bersikap seakan tidak mengenalku. Kakak percaya itu?"

Nadilla diam. Dia sendiri masih di buat bingung. Kenapa Nadira bisa kenal dengan Tiara? Dan kelihatannya mereka cukup dekat...

Nadira menghembuskan nafas berat, "memang ya, para Pelakor itu mestinya di musnahkan dari muka bumi. Mereka jenis spesies tidak berguna!" Katanya berapi-api.

Nadilla menatapnya, "kamu mengatakan itu seakan rumah tanggamu sendiri yang di ganggu Pelakor, Dira."

Nadira langsung gelagapan, menggeleng panik, "bukan begitu! Aku cuma...well, aku cuma sebel sama kaum mereka!" Ujarnya sewot.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang