PP-22

7.4K 295 4
                                    

*****

Nadira melenggang dengan riang menuju ruang tengah. Duduk di sofa dan mulai menonton televisi. Yeah, meskipun dia tidak terlalu peduli dengan semua tayangan itu. Tapi hatinya meminta dia untuk menonton, jadi dia menonton.

Oke, lupakan.

Narti datang dan memberikan segelas jus mangga yang terlihat segar. Nadira menerimanya dengan senyuman lebar, "Makasih, Mbok. Aku emang haus," ujarnya dan menenggak jus itu, "ahhh..." Nadira mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Meletakkan gelas kosong ke atas meja.

"Nyonya terlihat senang," celetuk Narti yang sejak tadi memperhatikan majikan mudanya itu.

Nadira menatap wanita itu dan nyengir, "cieee Mbok kepo. Well, aku emang lagi senang sih. Aku baru saja pergi dengan kawan baru dan dia orangnya lucu banget," katanya sambil mengenang pertemuan yang dia jalani beberapa saat lalu.

Narti tersenyum, dia ikut senang jika Nadira senang.

Nadira masih mempertahankan cengirannya.

"Nyonya kok kaya orang lagi kasmaran gitu sih?" Seloroh Narti.

Nadira tersentak dan menatap Narti dengan kening berkerut, "kasmaran?" Ulangnya.

Narti mengangguk, "iya. Kalau sama Tuan sih tidak masalah, Nya. Saya pasti dukung sejuta persen."

Wajah Nadira langsung berubah kesal mendengar itu, "Mbok, aku sama manusia batu itu tidak akan seperti itu. Mbok kan tahu kami bagaimana selama ini," sungutnya.

Narti cuma tersenyum. Dia sangat tahu hubungan kedua majikannya sangat tidak akur. Setiap bertemu selalu saja berdebat. Ngotot menunjukkan kebencian pada diri masing-masing. Tapi Narti tahu, kedua majikannya itu tidak tahu ada istilah, benci dan cinta itu cuma beda tipis. Sangat tipis. Wanita tua itu percaya jika sebenarnya mereka saling mencintai. Hanya saja masih di kalahkan oleh ego masing-masing.

"...Rillian itu bukan tipeku."

Narti mendengar Nadira menggerutu pelan sambil menekan-nekan tombol remot dengan tidak manusiawinya.

"... pria arogan menyebalkan dan sangat membosankan. Sangat berbeda dengan G..."

"Berbeda dengan siapa maksudmu?" Datang sebuah suara bernada marah dari belakang Nadira. Membuat gadis itu terlonjak kaget dan kontan berdiri.

Rillian menatap Nadira dengan tajam. Siang ini dia tidak konsentrasi dengan pekerjaan karena masalah ini. Awalnya semua baik-baik saja. Tapi Evan...pria itu...!!

Narti menyadari situasi di antara mereka buru-buru undur diri. Tidak mau ikut campur.

Nadira berdehem, "tumben sudah pulang. Ini bahkan belum jam empat," katanya gugup. Dia mengutuk dirinya sendiri karena merasa gugup.

"Aku berbeda dengan siapa maksudmu?" Ulang Rillian tajam.

Nadira mendengus, "kamu menguping pembicaraanku?" Tuduhnya.

Rillian menggeram marah. Dia tidak mengerti. Dia marah karena siang tadi melihat... Oke, ralat! Dia sangat marah dan sangat ingin berteriak-teriak atau memukul sesuatu sebagai pelampiasan. Tapi dia berusaha mengontrol denyut emosinya yang mulai menggelegak.

Menyadari ekspresi tak bersahabat dari Rillian, Nadira mundur selangkah dan hampir saja terjatuh karena menabrak meja di belakangnya.

"Kamu kenapa sih?" Cicit Nadira.

Rillian memejamkan matanya sesaat, "aku kenapa? Hah! Kenapa tidak kamu tanya itu pada dirimu sendiri, Nadira!" Serunya.

Nadira mengerjap. Dia sungguh tidak mengerti dengan sikap Rillian saat ini. Kenapa pria itu marah coba? Salah Nadira apa?!

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang