PP-17

7.8K 292 3
                                    

*****

Rillian berjalan mondar-mandir tidak jelas. Sesekali dia menatap ponsel atau laptop yang tergeletak di atas meja kerjanya. Tidak ada notifikasi apapun. Tidak ada E-mail apapun selain urusan pekerjaan. Dia sejak pagi gelisah. Sudah beberapa hari ini dia tinggal jauh dengan rumah. Karena mengurus proyek yang dia menangkan. Rillian sangat sibuk hingga tidak sempat cuma sekedar memberi kabar. Jika saja Attar --papanya-- tidak menelpon, mungkin dia juga tidak memberi kabar pada orangtuanya.

Tidak, sebenarnya bukan itu yang membuat Rillian gelisah. Meskipun dia sendiri tidak tahu alasannya. Dia seolah menunggu kabar buruk...

"Ekhem!"

Suara deheman itu membuat Rillian terlonjak. Mendelik pada pria yang berdiri di pintu kamarnya.

"Apa?!" Sengat Rillian tidak bersahabat.

Pria itu memutar matanya. Evan, adalah sahabat sekaligus asisten Rillian untuk proyek ini. Rillian sengaja mengajak serta Evan ke Dubai karena pria itulah yang paling dia percaya di dunia ini selain kedua orangtuanya, tentu saja.

"Aku sudah ketuk sejak tadi tapi kamu sibuk sendiri." Evan melenggang masuk dan duduk di ranjang Rillian. Menatap si empunya kamar dengan ekspresi geli.

Membuat Rillian jengkel dan jengah.

"Memang ada apa?" Tanya Rillian, mengalihkan tatapannya.

Evan terkekeh, "cuma mau mengatakan jika si Basyir Sa'ad itu sepertinya merasa enggan dengan desaign yang kamu sodorkan tempo hari."

Rillian menatapnya, "hah?" Dia kaget. Padahal sebelumnya pria yang bertanggungjawab atas proyek itu setuju! Kenapa sekarang jadi begini?! "...apa mau dia sebenarnya?" Geram Rillian, mengepalkan kedua tangannya.

Evan mengangkat bahunya acuh tak acuh, "dia cuma keberatan sedikit saja. Kita harus memperbaiki bukaan jendela saja. Menguranginya beberapa inchi."

"Aku tidak mengerti," sahut Rillian.

Evan mendesah jengkel, "di mana otakmu?! Masalah sederhana begini kamu tidak mengerti?!" Sengatnya.

Rillian mendelik, "kamu bicara begitu padaku? Kamu lupa siapa aku?" Desaknya.

Evan mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Di saat genting begini, Rillian kenapa masih sempat melucu?!

"Dia tidak mau, saat jendela terbuka, daunnya melewati batas tanah yang dia miliki," sinis Evan.

"Itu memang ilegal," kata Rillian santai.

Evan mampu menahan diri agar tidak melempar bantal ke wajah bos sekaligus sahabatnya itu.

"Jadi?!" Tuntut Evan tidak sabar.

"Yasudah, berikan saja apa yang dia mau. Karena dia lah aku jauh dari rumah," kata Rillian akhirnya.

"Jauh dari rumah atau jauh dari istri?" Cibir Evan.

Rillian mendelik.

*****

Nadira langsung memeluk Nadilla begitu mereka keluar dari gedung pencatatan sipil.

"Selamat, Kak! Akhirnya kakak menikah!" Dira melepas pelukannya dan berganti menatap Dirly, "aku titip kakakku ya... meskipun manja, dia itu sangat baik dan jelas sangat mencintaimu," katanya pada pria itu.

Dilla menggandeng lengan Dirly yang beberapa saat lalu sudah sah menjadi suaminya. Dia sangat bahagia. Akhirnya mereka menikah. Meskipun dengan cara seperti ini. Tapi Dilla masih berharap jika suatu hari nanti, kedua orangtuanya akan menerima kehadiran Dirly.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang