Bagian Satu: Hinata Ritsu

214 30 42
                                    

Hanya tiga hari setelah peristiwa mengerikan itu terjadi, sekolah kembali memulai pembelajaran efektif. Demi kenyamanan bersama, tangga tempat pemandangan itu tadinya berada ditutup, sehingga hanya digunakan tangga di ujung lain gedung untuk naik ke atas.

Hinata Ritsu, enam belas tahun, ditemukan tewas bunuh diri dengan tubuh tergantung pada kerangka pagar tangga menuju lantai tiga. Karena tubuhnya yang penuh luka, polisi sempat mengira itu adalah pembunuhan. Akan tetapi, setelah diperiksa lebih lanjut, itu semua adalah luka lama yang belum sembuh.

Gadis itu adalah korban intimidasi di sekolah dan orang tuanya sendiri tidak peduli, malah terkadang memukulinya atas kesalahan yang dilakukan sang adik. Para tetangga yang berkata menyayangkan kejadian itu juga sebenarnya tidak berinisiatif melakukan sesuatu.

Diduga Ritsu memutuskan bunuh diri karena tekanan batin.

Agar tidak mencemari nama baik sekolah maupun keluarga, kasus ini ditutup-tutupi dan dinyatakan selesai dalam waktu singkat. Tidak ada yang benar-benar peduli dan orang-orang menganggapnya angin lalu. Meski pemandangan mengerikan itu akan terbayang setiap kali mereka menaiki tangga di sekolah, mereka mencoba untuk menjalani keseharian seperti biasanya.

Setidaknya begitu.

Klub sastra yang juga merangkap sebagai klub paranormal mengadakan pertemuan hampir setiap hari. Yang tentu saja tidak ke semuanya merupakan pertemuan yang berguna.

Ruangan yang berisi tiga orang gadis dan tiga orang pemuda itu kini hanya diisi suara kipas angin dan kucing.

Hanya setelah seperempat jam berlalu, Rachaela bertanya, "Pencapaian dan penyesalan ..., kaupikir Hinata-san melihatnya?"

Seorang gadis duduk di satu-satunya sofa di ruangan itu, bersandar pada sang pacar dengan perhatian terfokus pada buku sketsa di tangannya. Gadis lain duduk bersandar pada dinding di bawah jendela, mengelus-elus kucing kesayangannya yang memiliki bulu hitam dan putih. Dua pemuda duduk di lantai bermain catur.

Tidak mendapat respons apa pun, gadis berambut semiran ungu itu kembali bertanya dengan nada yang didramatisir, "Pencapaian dan penyesalan ..., kaupikir Hinata-san melihatnya?"

"Jika tidak kaujelaskan apa yang kaumaksud, kaupikir kami akan mengerti?" Pemuda yang rambutnya berdiri kaku beberapa senti menyaut setelah dua menit berlalu. "Kami tidak bisa memasuki pikiran dramatismu secara langsung."

Menyetujui perkataan pemuda dengan rambut seperti duri landak itu, Yuki mengangguk. Dia menatap Rachaela yang duduk di kursi kayu di samping sofa. "Apa kau masih terbawa suasana novel yang baru kaubaca? Aku curiga kalau kau benar-benar menderita chunibyo."

Miwa terkejut dan tertawa, berkata, "Kupikir selama ini Rachel memang chunibyo." Dia memindahkan perdana mentri miliknya. "Skak mat!"

Yuki memelototi papan catur sebelum menatap penuh tuduhan kepada pemuda di hadapannya. "Aku ingat betul susunannya tidak seperti ini. Miwa-kun, kau curang lagi?"

Miwa yang duduk menyilangkan kaki menyangga dagunya dengan tangan, meletakkan sikunya di atas paha. "Aku ini orang yang jujur, lho."

Di atas sofa, Sachi menengadahkan tangannya. "Yuki, aku lupa membawa penghapus."

Pemuda yang dipanggil namanya itu meninggalkan masalah Miwa dan permainan caturnya tanpa kata, membuka tas yang dia letakkan di atas meja dekat dengan pintu, mengambil penghapus dan meletakkannya di atas tangan Sachi.

"Sankyu," ucap gadis itu.

"Aku juga ingin punya pelayan setia seperti Yuki, ah," gumam Miwa.

ENDING [✔]Where stories live. Discover now