Bagian Tiga: Topeng

31 10 21
                                    

"Menyesal itu memang curang, Sachi. Aku sudah memikirkannya. Dan, semakin kupikirkan, semakin menjijikkan dirimu terasa. Kau berjalan ke sana kemari di antara para korban tanpa merasa bersalah sedikit pun. Mereka memang pantas mati. Tapi sebelum mereka, kau yang harus mengawali."

"Kau ingin membunuhku?"

"Tidak tahu. Aku ingin pendapat Ritsu."

"Nihei, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Sesuatu yang sangat penting."

"Kau bisa memercayakan rahasia besar pada orang sepertiku? Kita bisa dianggap bermusuhan."

"Orang yang sama-sama menjijikkan pantas berada di sisi yang sama."

"Terima kasih atas penjelasaannya. Jadi, apa?"

Sachi diam menatap ruangan penuh warna putih yang dia tempati.

Nihei di sebrang telepon menatap figura di tangannya. Di situ, ada foto Ritsu yang tersenyum manis. Jari yang memegang figura semakin mengerat dengan perkataan Sachi mengiringi.

Begitu.

Sambungan telepon ditutup.

Nihei menghela napas, mengambil tas yang ria letakkan di atas kasur, lalu berangkat ke sekolah. Wajahnya memang belum terlepas dari memar, tetapi dengan kacamata, rambut dan seragam rapi, senyum lembut di mulut, karismanya tetap ada.

Pemuda itu mengangguk dan membalas sesekali saat murid dari sekolah yang sama menyapa. Kebanyakan merupakan adik kelas perempuan dan beberapa teman lelaki. Ketika sampai di gerbang, dia bertemu Ren.

Pemuda itu jauh lebih pintar darinya dalam hal akademik, tetapi tidak cukup percaya diri untuk menempati kursi ketua.

"Selamat pagi, Nihei-san."

"Pagi, Ren."

"Wajahmu benar-benar buruk."

"Begitulah." Nihei menyentuh wajahnya dengan tawa kecil.

Ketika keduanya melewati kelas Sachi, Nihei menyempatkan diri untuk melirik ke dalam. Kursi gadis itu kosong. Tadinya dia berpikir gadis itu belum datang, tetapi kemudian dia tahu bahwa Sachi absen hari ini. Dia pergi ke suatu tempat bersama ayah Allen. Itu sedikit aneh karena Allen sendiri tidak diajak.

Ketika sedang mengerjakan tugas di ruang dewan murid, Ren bertanya, "Apa kau tahu kalau Yousei-san pernah melakukan percobaan bunuh diri?"

Gerakan tangan Nihei terhenti. "Dari mana kau mengetahuinya?"

Ren menghindari tatapan pemuda itu. "Tidak sengaja mendengar dari ruang guru."

"Mungkin kau salah dengar." Sang ketua dewan murid tersenyum kecil. "Sachi sangat ceria. Dia juga memiliki banyak kenalan di sekolah ini karena dipercaya bisa meramal. Apalagi lima teman klubnya. Mereka terlihat sangat dekat dan saling membantu satu sama lain."

"Aku tidak berpikir aku salah dengar." Ren bertanya dengan ragu, "Kau memanggilnya dengan akrab, ya?"

"Kau tidak tahu kalau kami berasal dari SMP yang sama?"

"Tidak."

"Kupikir kau tahu segalanya."

"Aku bukan Yuki-kun."

Nihei menyangga dagunya dengan tangan. "Tadinya aku benar-benar berpikir kau memiliki kemampuan melihat segalanya seperti sepupumu itu. Habisnya, kau juara umum."

"Yang kedua."

"Yoshimura-san sudah tidak ada."

"Yousei-san pernah melakukan percobaan bunuh diri." Ren mengembalikan topik pembicaraan mereka. "Dia masih harus pergi ke psikolog sesekali. Seperti hari ini."

ENDING [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang