Bagian Dua: Hinata Ritsu

110 20 21
                                    

Rachaela mengingatkan, "Kalian belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Kau ingin cemilan ikan?" Natsuki berpura-pura memusatkan perhatian pada kucing di lengannya.

Yuki yang berjalan di samping Natsuki, yang juga berada pada barisan paling depan, dengan mudah membuat langit oren menjadi pemandangan paling menarik. Rachaela berdecih.

"Novel apa yang baru kaubaca?" Miwa berjalan di sampingnya.

Dia dan keempat lainnya tahu betul sindrom terpengaruh pada apa yang baru dibaca milik Rachaela. Gadis itu akan terus membahas dan mengungkit-ungkit hal yang sama dari sebuah buku, yang terkadang tidak sesuai logika, hingga dia menemukan bacaan baru. Lalu, dari bacaan baru itu akan memunculkan pembahasan baru hingga buku lainnya dibaca. Terus seperti itu.

"Aku baru saja selesai membaca sebuah novel komedi."

"Eh?"

"Ini tidak ada hubunganya dengan novel yang baru kubaca," ucap Rachaela.

"Lalu?" Miwa mengernyit. Mungkin kali ini tidak seperti biasanya.

"Aku hanya penasaran," kata gadis itu. "Aku pernah membaca bahwa pada saat-saat terakhir kehidupan manusia, mereka akan diperlihatkan apa yang telah mereka lalui dalam hidup. Lalu, pada akhirnya mereka kembali menginginkan kehidupan. Meski terlambat."

Sachi yang berjalan di belakang berkata sinis, "Tetap saja kau terpengaruh pada apa yang kaubaca."

Rachaela mengabaikannya karena tahu gadis itu masih kesal dengan kebenaran yang secara sengaja dia katakan di depan Kai. Sekarang pemuda itu mengunci Sachi di tangannya, terus berpegangan tanpa lepas sedetik pun.

"Itu juga berpengaruh pada orang yang bunuh diri?" Natsuki mengangkat lengan kucing dan memaju-majukan bibirnya, bermain dengan kucing itu.

"Mungkin." Rachaela tidak bisa memastikan.

"Orang yang bunuh diri adalah mereka yang paling menginginkan kehidupan," ujar Sachi. "Karena bukannya mereka ingin mati, melainkan karena mereka ingin menghentikan rasa sakit."

Miwa berdecak. "Dengan kehidupan Hinata-san yang seperti itu, sebuah kehebatan bahwa dia bisa bertahan hingga sekarang."

"Para penggertak itu keterlaluan," gumam Yuki cukup keras. "Orang tuanya juga."

"Orang yang tidak membantunya tidak berbeda dari mereka yang menyakitinya," sarkas Sachi.

Yuki tersentak, terdiam. Dia menoleh ke belakang dengan wajah cemas. "Sachi-san."

"Aku juga tidak berbeda," lanjut Sachi dengan lirih.

Kai menatap gadis itu dalam diam.

"Maaf," ucap Yuki.

"Anggap saja konsep reinkarnasi itu ada," Miwa menengahi, "pasti Hinata-san sudah memiliki kehidupan lain yang bahagia. Takdir tidak sekejam itu."

"Untukmu," sinis Rachaela.

Miwa belum sempat bertanya apa maksudnya sebelum sebuah suara genit memanggil namanya. Dia melirik ke depan salah satu toko di sebrang jalanan kota yang mereka lewati, melihat pacarnya berada di sana. Omemoto Yui, sang bunga sekolah.

"Takdir juga tidak selalu memihakku." Miwa pasrah.

Agar tidak mempermalukan gadis yang sedang bersama dua temannya itu, dia dengan sabar menunggu mereka menyebrang. Hingga mereka berhadapan, Yui memeluk lengannya.

"Ayo pulang bersama." Gadis itu tersenyum manis.

"Oke," balas Miwa singkat.

Pasangan itu pergi, dua teman Yui juga dengan cepat pergi, meninggalkan lima anggota klub paranormal yang memasuki sebuah toko makanan penutup. Masing-masing memesan satu macam minuman dan satu macam kue, kecuali Sachi si mulut manis yang memesan hingga empat macam kue.

ENDING [✔]Where stories live. Discover now