Bagian Lima: Topeng

42 10 10
                                    

"Kau percaya kalau ia benar-benar bunuh diri? Seperti Hinata-san?" Nagisa menghampiri Victor yang baru saja akan pergi.

"Ada buktinya, bukan?" Victor mengajaknya masuk ke dalam mobil.

Pagi tadi, seakan mengulang kejadian Hinata Ritsu, ada orang yang tergantung di ujung tangga menuju lantai tiga. Shigeto Nihei, pemuda nomor satu di SMA Hikaru. Sang ketua dewan murid.

Ada bucket bunga matahari dan ponsel di bawahnya. Di balik chasing ponsel itu, ada sebuah kertas bertuliskan:

Aku akan meminta maaf kepadanya.

Yang diduga ditujukan kepada Ritsu. Dan, diperkuat dari jejak pesan terakhirnya ke Sachihata Yousei. Jika pesan seperti itu diketahui oleh siswa, pasti akan ada kegemparan tambahan.

"Luka di wajahnya itu, kau mengatakan kalau sudah ada sejak kemarin. Siapa yang melakukannya?"

Nagisa menggeleng pelan. "Aku tidak tahu."

"Sachi-chan tidak datang hari ini?"

"Allen berkata gadis itu sakit."

"Karena pesan yang Shigeto-san kirim?" Victor menghela napas. "Seharusnya kita bisa mendapat banyak informasi dari gadis itu. Ia tidak terlihat dekat dengan Shigeto-san, bukan?"

"Begitulah."

"Tapi dari pesannya, mereka seperti kenalan dekat."

Nagisa menatap ke luar jendela selagi Victor melajukan mobil keluar dari lingkungan sekolah.

"Aku jadi tahu kalau Sachi-chan pernah melakukan percobaan bunuh diri. Gadis yang rumit."

Dalam diam, Nagisa mengernyit atas panggilan Victor. Pemuda itu tentunya tidak mengenal Sachi, tetapi memanggilnya dengan akrab. Tidak ada kecanggungan sama sekali.

"Kabar baiknya, aku jadi bisa berkunjung ke rumah Sachi-chan." Victor berkedip. "Aku tidak sabar."

"Bukankah gadis itu sakit?" kata Nagisa. "Kau berpikir Allen berbohong?"

"Siapa saja yang mendapat pesan seperti itu pasti akan merasa sakit. Karenanya, aku akan ke sana untuk menenangkan."

"Setelah ada kasus seperti ini dan informasi kalau Yousei-san tidak datang, Nishiki-san sudah pergi terlebih dahulu."

"Oh, pacarnya? Itu bagus. Aku penasaran seperti apa lelaki yang disukai Sachi-chan. Kau tahu, aku bisa berubah menjadi apa saja."

Nagisa memutar mata, yang sangat jarang dilakukannya.

.

.

Saat Sachi membuka mata, dia berada di kamar Allen. Kepalanya pusing. Ada beberapa hansaplas di tangannya. Ketika melihat itu, dia tahu pesan Nihei sebelumnya bukanlah mimpi. Pemuda itu benar-benar menelepon.

Sachi menyibak selimut, berniat turun dari ranjang, tetapi rasa sakit menyapa. Kakinya tidak lepas dari luka. Dia melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan. Perutnya bergemuruh.

Weifler menyambutnya setelah dia bersusah payah pergi ke dapur. "Duduklah. Aku baru saja membuatkanmu nasi goreng."

Sachi makan dalam diam.

"Tadi teman-temanmu datang ke sini, tapi mereka pulang karena kubilang kau masih tidur. Mereka orang-orang yang baik. Pantas saja kau tidak ingin pindah."

"Apa yang terjadi semalam?"

"Sebenarnya, aku tertidur pulas semalam," kata Weifler. "Allen yang bercerita kalau dia mendengar suara gaduh dari kamarmu. Yah, kamar itu belum dibersihkan, kau sebaiknya tidak melihatnya dulu. Bisa membuat kepala sakit. Oh, Allen sepertinya memiliki dendam pada ponselmu. Dia hampir melempar benda itu ke dinding jika tidak kucegah. Dan juga, ada kasus lagi di sekolahmu. Aku bersungguh-sungguh, Sachi, sebaiknya kau dan Allen keluar dari sana. Aku mendengar banyak wali murid juga ingin melakukan hal yang sama."

ENDING [✔]Where stories live. Discover now