Bagian Satu: Pecah

30 10 15
                                    

Arisa diam memandangi sepatu yang dipakainya. Gadis dengan rambut ikal sebahu itu mengalihkan pandangan pada sepanjang jalan yang sepi, hanya dilewati sesekali oleh mobil. Awal musim dingin ini dingin. Akan tetapi, hatinya lebih dingin.

Dia bersandar pada pembatas jalan, bersidekap dada.

Sebuah taksi berhenti di hadapan. Yuki keluar dari sana.

"Maaf merepotkanmu, Arishima-san," kata pemuda itu.

"Tidak apa-apa." Arisa berjalan, beriringan dengan Yuki. "Aku sudah telanjur terlibat."

Yuki bergumam.

"Kau sungguh membuatku kagum." Arisa tersenyum. "Aku tidak tahu bahwa rumor kalau kau bisa melihat segalanya itu asli. Maksudku ..., itu tidak masuk akal. Ah, jangan tersinggung, ya?"

"Ini memang tidak masuk akal."

"Tapi kau sudah membuktikannya. Bahkan kakakku tidak tahu kalau aku bisa berkomunikasi dengan arwah. Yah, maksudku kepribadian lainku yang bisa. Hanya saja ..., aku tidak tahu kalau kau sampai menghubungiku. Kudengar kau pemalu. Dan, ya, kau pasti kesusahan. Aku senang bisa membantu."

"Aku benar-benar berterima kasih, Arishima-san."

"Jangan katakan hal itu lagi. Aku juga ingin masalah ini cepat selesai. Aku tidak ingin lulus dengan bayang-bayang mereka yang sudah tidak ada."

Yuki tersenyum tipis pada Arisa. Kemudian, sebuah titik putih tertangkap pandangannya. Dia melihat langit di mana salju turun dengan lembut.

"Ini sangat cepat datang."

"Ya, 'kan?"

.

.

Yuki dan Arisa sampai di tempat tujuan. Sebuah lingkungan yang tidak begitu baik. Perumahan yang tidak teratur apalagi rapi. Mereka berdiri di balik tembok sebuah rumah, hanya sedikit jauh dari objek di ujung jalan. Kediaman Hinata. Hinata Ritsu.

Di malam yang tenang, mereka tahu di tempat lain tidak seperti itu.

"Jika kita tidak pergi sekarang—"

"En."

Arisa yang akan berjalan terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Dia memperhatikan Yuki yang memaku di tempat. Wajah pemuda itu sangat tenang, tetapi tangannya yang mengepal tidak berhenti gemetar.

"Yuki-kun," panggil Arisa. "Kita biarkan saja?"

Pada rumah gelap di ujung jalan, muncul cahaya yang terlihat dari luar jendela. Namun, ini sudah tengah malam dan salju perlahan turun. Tidak ada yang memperhatikan. Terlalu malas dan dingin.

Tidak sampai cahaya itu membesar dan menghasilkan asap. Lama kelamaan semakin pekat. Suara sesuatu yang roboh terdengar dari dalam. Sedikit demi sedikit lampu tetangga menyala, bahkan ada teriakan.

Rumah Ritsu terbakar. Api dengan cepat menyebar dan melahap rumah yang didominasi kayu itu.

Arisa menggenggam tangan Yuki, menarik pemuda yang linglung itu menjauh, menuju taman yang berada sedikit ke atas. Mereka bisa melihat situasi dari sana. Lebih aman dibanding berada di tempat yang mana mereka bisa dicurigai sebagai pelaku.

"Harusnya ... kita bisa ... mencegahnya." Yuki dengan napas terengah mencengkram lututnya. Kemudian, pemuda itu terduduk di tanah.

Arisa berdiri di depan, menatap ke kejauhan. Dia adalah seorang atlet, jadi berlari jauh bukanlah masalah. "Kita bukan pembunuh juga, 'kan?"

"Hatiku tidak nyaman."

"Bukankah dengan begitu kau lebih yakin untuk menghentikannya?"

"Tapi ... karena keterlambatanku, rumah Hinata-san ...."

ENDING [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang