Bagian Dua: Topeng

38 11 25
                                    

Dengan apa yang baru terjadi, Allen tetap tidak mengurungkan niat untuk menyeret Sachi berbelanja bersamanya. Lagi pula, dia paham gadis itu. Berada di tempat sepi sendirian hanya akan membuat pikirannya meliar. Berbahaya.

Buktinya, melempar serangan Nihei ke belakang pikiran, Sachi sedang fokus memperhatikan rak makanan ringan di hadapannya. Memelototi seakan itu bisa berjalan pergi di waktu lain.

"Besok ayah akan pulang." Yang berarti Sachi tidak bisa menimbun banyak makanan ringan.

Gadis itu menghela napas dan mengambil empat makanan ringan dan dua kaleng soda.

Allen memilih segala yang dibutuhkan rumah dengan cepat dan mereka pulang sebelum hari gelap. Miwa datang saat makan malam. Setelah menyerahkan urusan cuci piring pada Sachi, Allen pergi. Dia akan menginap di rumah teman online-nya, yang juga menjadi alasan Kai bisa datang malam ini.

Pemuda itu saja yang tidak tahu bahwa Miwa sudah memanggil anggota klub paranormal lainnya.

Jadi, Kai mengernyit saat bertemu Natsuki dan Yuki di depan rumah Allen. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Natsuki yang tidak mendeteksi hawa dingin yang sudah sedari tadi dideteksi Yuki berkata dengan riang, "Miwa bilang karena kita tidak bisa mengadakan pertemuan klub tadi, kita bisa melakukannya malam ini. Itu juga karena Allen-san pergi dan besok adalah hari libur."

Rachaela tidak bisa datang karena ada Nagisa bersamanya. Dia cukup mengerti bahwa pemuda itu akan memaksa ikut jika dia pergi dan akan membuat yang lainnya menjadi tidak nyaman.

Sachi, Natsuki, Kai, Miwa, dan Yuki menghabiskan malam minggu dengan menonton film, makan, dan bermain game. Miwa mengantar ketiga orang temannya ke rumah masing-masing dengan mobil saat hampir tengah malam. Keesokan paginya, dia bangun dengan tubuh penuh lebam misterius.

"Tidak ada yang menyuruhmu untuk mengadakan pertemuan klub." Sachi melemparkan petunjuk selagi memakan bubur instan yang baru dibuatnya.

Miwa mengingat tatapan tajam Kai semalam dan akhirnya sadar. Dia mengirimkan banyak permintaan maaf pada Kai melalui chat, bertindak sok imut, dan berakhir dimasukkan ke daftar hitam. Dia pun menggunakan ponsel Sachi, yang mana Kai tidak akan berani untuk melakukan hal yang sama.

"Teruslah melakukannya dan seluruh tubuhmu akan menjadi lebam tanpa setitik kulit normal besok."

"Aku seharusnya tahu bahwa Kai terlalu pendendam. Selain itu, teman-temannya sungguh tidak masuk akal." Miwa melempar ponsel ke sofa dan meratap, "Aku tidak ingin pernikahanmu kelak akan berisi banyak kursi yang sengaja dikosongkan untuk teman-teman Kai."

"Aku dan Kai tidak akan menikah."

"Yah, kau masih takut hantu." Miwa diam sejenak. "Tunggu! Terlalu cepat untuk mengatakan kau tidak akan menikah dengan Kai."

"Terlalu cepat untuk membicarakan pernikahan."

"Benar juga."

Sachi memberikan lirikan sedetik. "Sayang juga. Gebetan seseorang sudah bertunangan dengan orang lain."

Miwa menggeram. "Kau tahu Allen tidak ada, 'kan? Aku bisa-"

"Bisa apa?"

Pemuda yang baru disebutkan Miwa berdiri di pintu dengan headphone di kepalanya.

Miwa menghela napas mengakui kekalahan. Dia tidak bisa membalas Sachi saat ada Allen.

.

.

Di depan sebuah pusara, Nihei berdiri dengan se-bucket bunga matahari di tangannya. Pemuda itu tidak mengenakan kacamata seperti yang biasa dia lakukan. Tidak merapikan rambut. Ada kapas dan hansaplas di wajahnya.

Dia bernapas pelan, menatap nama Hinata Ritsu di hadapan. Berjongkok, meletakkan bunga.

"Kau menyukai bunga matahari, bukan?"

"Kau sangat perhatian."

Nihei tersentak kaget mendengar suara yang dikenalnya. Miwa berdiri di belakangnya bersama Sachi. Pemuda itu tersenyum lebar, menatap bolak balik pada Nihei dan Sachi.

"Kupikir kalian perlu membicarakan sesuatu," katanya. "Dan, turut berduka cita atas wajahmu."

Allen telah memberitahunya tentang apa yang terjadi antara Sachi dan Nihei kemarin. Miwa perlu sedikit memperingatkan pemuda itu sebelum meninggalkannya berdua dengan Sachi di makam yang sepi. Tentu saja, dia tidak benar-benar pergi, hanya berdiri cukup jauh untuk tidak mendengar percakapan mereka, tetapi tetap memperhatikan dengan teliti.

Untuk beberapa saat, dia malah berfokus pada Nihei seorang. Itu karena sang ketua dewan murid yang terlihat sangat berbeda. Baju santai, celana jeans, wajah penuh memar, dan rambut berantakan. Ditambah tanpa kacamata, dia tidak akan dikenali dalam pandangan sekilas.

"Aku tidak tahu kau berani datang," kata Sachi.

"Ritsu sudah benar-benar pergi." Nihei menatap sayu.

"Terima kasih padamu. Ritsu akhirnya bisa memiliki keberanian untuk memutuskan penderitaannya."

"Kau tidak bisa bertingkah sok suci di hadapanku, Sachi. Sama seperti kau sudah melihat seperti apa diriku, aku sudah melihat seperti apa dirimu."

"Aku sekeji dirimu?"

"Aku dan Ritsu saling mencintai. Kau tidak bisa menghakimiku seperti ini."

"Ritsu mencintaimu?" Sachi tertawa kecil. "Ya. Ritsu hampir saja mencintaimu, tetapi kau tidak bisa menghargainya sama sekali. Itu bukan cinta, Nihei. Itu nafsu. Jika saja malam itu kalian hanya mengobrol, maka mungkin dia tidak perlu bunuh diri. Mungkin ... aku masih bisa berubah juga."

"Kau menyalahkanku karena ini?"

"Aku tidak begitu."

Nihei menyugar rambutnya, menatap ke langit. "Jika semua yang menyakiti Ritsu akan dihukum, maka itu baik jika kita juga pergi ke sana. Untuk meminta maaf. Dia adalah gadis baik yang pemaaf."

Pemuda itu tersenyum tipis sebelum duduk bersila di tanah. Sachi memperhatikannya sebentar sebelum pergi.

"Kalian cukup tenang setelah perkelahian kemarin," kata Miwa.

"Kami tidak berkelahi."

"Penganiayaan sepihak?"

"Tidak ada yang terjadi kemarin, Miwa." Sachi menajamkan mata.

Miwa menerima kodenya dan mengangguk keras. "Aku baru saja mengigau. Ayo, kita bisa kehabisan takoyaki."

Pada awalnya, mereka tidak berniat ke makam, melainkan membeli takoyaki yang disukai ayah Allen-Weifler. Pria itu sudah dalam perjalanan ke rumah. Akan tetapi, ide sepintas Sachi membawa mereka ke makam, yang tidak terduga membuat mereka bertemu dengan Nihei.

Setelah membeli takoyaki dan pulang, Miwa menceritakan pertemuan itu kepada Allen, selagi Sachi dibawa pergi oleh Weifler entah ke mana.

"Kau sungguh pintar untuk tidak menguping."

Bohong jika Miwa tidak merasakan sarkasme dari pemuda itu. Meski sikap Allen sangat datar, acuh tak acuh, dia sebenarnya tipe keras di luar lembut di dalam. Miwa yakin pemuda itu penasaran mengenai hubungan Sachi dan Nihei.

"Aku memang pintar."

Setelah mengatakannya, Miwa berpura-pura fokus pada ponsel. Di forum sekolah, berita tentang Nihei yang babak belur tersebar. Banyak gadis yang menyayangkan ketua dewan murid mereka yang teladan itu harus mengalami nasib buruk.

Tidak ada keterangan dari mana Nihei mendapatkannya, hanya ada info bahwa Nihei sudah seperti itu sejak pulang sekolah kemarin. Dia keluar sangat terlambat. Pemuda itu tidak membuat klarifikasi atau menjelaskan apa pun.

Beberapa orang menuding dia bertemu orang tidak waras atau semacamnya. Tidak ada yang berpikiran buruk terhadap pemuda itu sendiri.

Miwa sendiri sudah lama berpikiran negatif pada orang-orang terkenal seperti Nihei, jadi dia tidak kaget melihat interaksi berbeda pemuda itu dengan Sachi. Sepertinya, pemuda berantakan kemarin adalah sosok Nihei yang sebenarnya.

.

.

4 Juni 2020

ENDING [✔]Where stories live. Discover now