01

3.3K 212 19
                                    


Alarm digital berbunyi tepat pukul enam pagi, melebarkan sepasang mata bulat. Layaknya program otomatis, sesosok gadis bertubuh mungil beranjak dari tempat tidurnya. Tanpa jejak kemalasan ia memulai hari, menggulung rambutnya asal untuk bersiap.

Senyum tersemat di garis bibir, melebar bersama deretan gigi yang terpajang rapi, tulang pipi terangkat, menonjol sedikit memamerkan wajah tirus. Menata bekal makan siang untuk sang adik selalu menjadi hal favorit Jieun di pagi hari, berharap satu senyum kecil akan ia dapat. Tak mengharapkan lebih, mendapati Jisu menghabiskan makanan yang ia siapkan rasanya sudah cukup. Menyelesaikan tugas pertama, Jieun lekas menghampiri kamar Jisu.

"Jisu-ya, ayo bangun," panggilnya seraya mengetuk pintu. Tak ada jawaban dari sang adik, Jieun mengetuk lagi. "Jisu-ya...! Ayo bangun, kau bisa ter-"

Hempasan pintu terbuka kasar justru yang ia dapat. "Aku tidak tuli!" Jisu mendengus kesal, tatapannya pun terlihat tajam.

"Oh, aku hanya ingin memastikan kau tidak telat bangun." Senyum terulas canggung, seolah tengah menghibur diri. "Sekarang cepatlah bersiap, aku sudah membuatkanmu sarapan pagi." Tidak ada jawaban, hanya bantingan pintu di wajah yang Jieun terima.

Semenjak kejadian dua tahun yang lalu semuanya berubah. Tidak hanya kehidupan mereka, pun sifat Jisu. Jieun sebagai putri tertua mengemban tanggung jawab penuh. Menghidupi keluarga mereka, dan tentunya mengurus dan menjaga sang adik. Pindah ke Seoul menjadi keputusan terbesar yang ia ambil, meski tujuannya tak lagi untuk menimba ilmu seperti yang selama ini ia impikan.

Bagi Jieun, pelajaran hidup menyapa kedewasaannya jauh lebih cepat dan keras dibandingkan duduk di bangku perkuliahan. Gadis berumur dua puluh tahun itu tahu mana yang harus ia prioritaskan dalam hidup. Bukan dirinya sendiri, melainkan masa depan Jisu.

Sejak kecil Jisu sangat berbakat menari. Mengirimnya ke sekolah biasa sama saja menyia-nyiakan kemampuan gadis itu. Jisu selalu bermimpi untuk menjadi seorang penari yang hebat, dan sebagai kakak yang baik sudah sewajarnya Jieun ingin mewujudkan mimpi itu. Cita-cita yang hampir saja tak menemui titik terangnya ketika mereka harus kehilangan kedua orang tua.

Menggunakan seluruh peninggalan dari ayah dan ibunya, Jieun memutuskan untuk menyewa apartemen kecil di Seoul, mendaftarkan Jisu ke Seoul Multi Art School, dan menggunakan sisa tabungan yang ia miliki untuk membayar biaya sekolah Jisu yang nyatanya tidak murah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Jieun rela bekerja keras siang dan malam.

"Tumben kau tidak mengepak sisa ayam goreng jualanmu untuk bekal makan siangku." Jisu memeriksa bekal miliknya sebelum memasukkannya ke dalam tas sekolah.

"Itu karena Kakak menerima gaji kemarin, jadi Kakak memasak yang lebih enak untukmu." Rasanya ingin berbangga dan berbagi pencapaian, nyatanya Jieun malah menuai gerutu.

"Hanya kimbap sapi dan telur dadar gulung, apa istimewanya?"

Jieun memilih untuk tersenyum kecil, menyodorkan amplop berwarna cokelat ke arah Jisu. "Oh, ya. Ini uang saku bulananmu. Hampir saja Kakak lupa memberikannya."

Tanpa berpikir untuk mengucapkan rasa terima kasih atas kerja keras sang kakak, Jisu menerima amplop itu dari tangan Jieun. Bergegas beranjak dari tempat duduknya. "Aku berangkat," lirihnya sebelum melenggang pergi.

"Tunggu!" Jieun berlari ke arah sang adik, membenarkan dasi kupu-kupu di kemejanya. "Semangat belajarnya dan hati-hati di jalan," ucapnya lembut.

Jisu melempar tatapan tajam, seakan menjerit 'jangan bersikap seolah kau mempedulikanku' sebelum berlalu.

Sikap dingin sang adik kepadanya memang bukan tanpa alasan. Bahkan setelah dua tahun berlalu, Jisu masih terus menyalahkan Jieun atas kematian kedua orang tua mereka. Seberapa dalam pun penyesalan yang ia tunjukkan, dan seberapa keras pun ia berjuang untuk menebus semua itu, Jisu seolah tak mempedulikannya.

Days of SunshineWhere stories live. Discover now