12

390 87 5
                                    

Kepura-puraan seperti ini seharusnya menjadi hal yang biasa bagi Kyungsoo, bukan sumber perhatian utama sang ibu adalah makanan sehari-harinya sejak ia menginjakkan kaki di rumah besar ini. Ia tidak kesal. Sungguh. Hanya saja terkadang seorang anak sepertinya pun memiliki kerinduan akan perhatian tulus.

Nyatanya semua kepedulian yang tersaji di wajah Nyonya Do tak lebih dari sekadar pemanis, basa-basi yang bahkan terdengar seperti perintah. Untuk Kyungsoo berusaha lebih keras lagi, membanggakan nama keluarga Do di hadapan teman-teman bisnis sang ibu.

"Huh!" Menghela napas kasar, mencoba menenangkan diri. Kyungsoo pun membawa langkahnya meninggalkan rumah dan berangkat ke sekolah. Sengaja tak memanggil Paman Shin untuk mengantarkannya, ia justru memilih untuk menggunakan transportasi umum. Berharap hiruk pikuk jalanan kota serta ocehan hidup para penumpang bus bisa membuatnya merasakan kehidupan yang lebih normal.

Tak cukup lama hingga ia akhirnya tiba di sekolah. Satu dua kali lompatan langkah ia ambil memasuki pelataran gedung, menyapa beberapa bebatuan tersesat dengan ujung sepatunya. Well, setidaknya mood-nya sedikit membaik setelah melakukan hal itu. Beberapa langkah lagi sebelum memasuki gedung utama, sosok familier tiba-tiba mencuri perhatian pemuda itu. 

Kyungsoo pun menghentikan langkah karenanya. "Lee Jieun?"

Sang pemilik nama mengerutkan dahi. "Kau terlihat tak bersemangat?" ujarnya terdengar peduli.

Kyungsoo menghela napas. "Mood-ku sedang tidak baik, dan kau memperburuknya dengan pertanyaanmu," timpalnya malas.

Wajah tertekuk Kyungsoo membuat Jieun terkikih. "Secepat itu sikap akrabmu kadaluwarsa, huh?" cibir si gadis, mengambil langkah mendekat untuk berdiri di samping Kyungsoo. Tanpa basa-basi melingkarkan lengan di pundak pemuda itu. "Katakan apa yang membuatmu kesal? Kak Jieun pasti akan mendengarkanmu," cengirnya, menepuk pundak Kyungsoo pelan seolah keduanya begitu akrab.

Kyungsoo menoleh cepat, wajah kelewat bersahabat dari Jieun membuatnya terpaksa tersenyum bodoh. Berdecih pada dirinya sendiri tentang betapa mudahnya gadis ini mengumbar peduli. Namun, entah mengapa gestur kecil dan ekspresi wajah miliknya terihat lebih tulus. Berbeda sekali dengan apa yang ia dapati dari sang ibu pagi ini.

"Apa kau mau menghiburku?" ungkapnya terdengar serius.

Jieun melebarkan pupil, menarik lengannya turun untuk menyambar tangan Kyungsoo kemudian. Menyeret pemuda itu ke arah belakang gedung sekolah. "Ayo berteriak di lapangan bola!"

Lee Jieun mungkin bukan murid di sekolah ini, tetapi tak memungkiri jika ia tahu seluk beluk dan juga hapal betul letak gedung di tempat ini. Sering mengantarkan bekal makan siang untuk sang adik menjadi salah satu alasan, pun tur kecil yang dulu sempat ia ikuti sebelum mendaftarkan Jisu di sekolah bakat ini.

Itu sebabnya gadis gigih itu tahu jika sekolah ini memiliki lapangan bola di bagian belakang gedung. Cukup luas dan lengkap fasilitas olah raga yang mereka sediakan meski cabang tersebut bukan menjadi fokus utama sekolah ini didirikan. Bisa jadi hanya untuk menambah fasilitas hiburan untuk para murid.

Lebat hijau menyambut begitu keduanya sampai, pun kerutan alis tebal milik Kyungsoo, mengiringi tatapan heran pemuda itu ke arah gadis di sampingnya. Malas sekali rasanya menyapa sengat mentari, tetapi seseorang terlihat tak mempedulikan hal itu. Terus menyeret lengannya hingga ke tengah lapangan.

"Tidak akan ada yang mendengarkanmu meski kau berteriak keras!" Jieun mengumbar senyum, membuka kedua tangannya lebar. Seolah mereprentasikan jarak yang dimiliki lapangan bola dan gedung sekolah. "Tada, ayo berteriak sekarang. Keluarkan semua yang ada di pikiranmu."

Days of SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang