2. Leo yang Kurang Ajar

440 64 40
                                    

"Apa kata tetangga ya, kalau anak perawan pulangnya nyaris jam sebelas gini?"

Kalau saja Sashi bisa mengangkat pot dari tanah liat besar milik ayah yang ada di pekarangan, mungkin ia sudah mengangkatnya dan melemparkannya ke wajah Mark. Tetangga yang sampai detik ini hampir tidak pernah mendapatkan respect darinya.

Wait, bukan tidak pernah respect. Tapi ya tahu sendiri, seperti apa hubungan antara tetangga lama yang sudah berteman dan bermusuhan sejak kecil, 'kan?

"Sebegitu pedulinya lo sama omongan tetangga buat gue, emang?" Mark, di seberang sana hanya mengangkat bahu sambil memutar kunci motornya. Nampak tak ada keinginan untuk beranjak lalu membiarkan Sashi masuk ke rumahnya. "Gue nggak tau kalau lo sepengen itu ngejaga perasaan gue dari omongan julid tetangga. Sesayang itu ternyata lo sama gue, ya?"

Sashi tertawa renyah. Ia membuka ikatan rambutnya dan membiarkan helaian hitam lebat itu terurai panjang menutupi setengah punggungnya. Sesantai itu, ia lantas menyisir rambutnya menggunakan sela-sela jari.

"Najis! Gue, sayang sama lo?" Decihan Mark terdengar cukup nyaring di hari yang telah malam dan makin sunyi ini. Menyisakan tinggal dua orang itu yang kini berdiri di depan rumah mereka. Bahkan belum membuka gerbang masing-masing. Berhadapan seolah siap meluncurkan makian dan ejekan satu sama lain. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah. "Kayak dunia ini kekurangan cewek aja. Lagian ya, meskipun cuma sisa lo cewek di dunia ini, gue nggak bakal semudah itu suka apalagi sayang sama lo. Mending gue belok, deh."

"Gue doain belok beneran, mampus lo!"

Keduanya saling menatap sengit. Entah apa yang mereka pikirkan. Karena toh, sejak dulupun jika Sashi dan Mark dipertemukan, mereka memang benar-benar tidak bisa berbicara dalam damai. Nyaris tidak pernah. Permusuhan mereka bisa dikatakan sebagai tipe permusuhan abadi, yang dimulai sejak masa kanak-kanak dulu.

"Terus lo bakal jomblo seumur hidup!" balas Mark tak kalah sengit. Padahal awalnya, ia tak ingin benar-benar terpancing pada omongan Sashi. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang serasa mencubit hatinya saat Sashi berkata demikian.

"Kenapa jadi gue yang jomblo? Heh, gue balikin ya omongan lo!" Sashi nampak makin tak peduli dengan sekitarnya ketika ia menaikan nada suaranya pada Mark. Membiarkan beberapa anjing tetangga keluar hanya untuk melihat mereka bertengkar sambil sesekali menggonggong. Menyemarakan suasana. Perfect. "Cowok di dunia ini bukan lo doang, helaw? Lo belokpun, masih ada cowok lain yang mau sama gue. Gini-gini, banyak yg naksir gue tau. Lo aja yang nggak ngeh!"

Mark mendecih. Ia telah berhenti memutar-mutar kunci di tangannya. Sekarang, laki-laki itu malah berjalan mendekati posisi Sashi. Menaikan sedikit dagunya, memperlihatkan jika dia yang dominan dalam pertengkaran ini.

"Sinting kali cowok-cowok yang naksir sama lo, Sikha!" Serius, apa yang sebenarnya Mark inginkan dari Sashi malam ini? Kenapa laki-laki itu jadi nampak lebih tertarik untuk mengganggunya? Bukankah lebih baik jika ia masuk ke dalam rumahnya dan membiarkan Sashi melakukan hal yang sama juga? Apa Mark tidak lelah setelah baru saja kembali dari entah tempat apa? Sashi tak paham. "Mana ada cowok yang bisa ngehadepin keras kepalanya lo, cerewetnya lo, manjanya lo, sensitifnya lo, pemarahnya lo, resenya lo, nyebelinnya lo--"

"Sebut!" Sashi bahkan tak membiarkan Mark menyelesaikan perkataanya. Laki-laki yang praktis sudah berdiri di hadapannya itu terdiam. Memperhatikan bagaimana perempuan itu sudah berkacak pinggang dan memasang wajah garangnya. "Sebut aja semua jelek-jeleknya gue! Emang ya, lo tuh nggak pernah bisa melihat seseorang dari sisi positif. Negatif mulu pikirannya. Nggak heran, mantan-mantan lo banyak. Nggak bakal betah kali ya mereka, kalau jalan sama cowok yang cuma bisa mengkritik tanpa pernah bisa memuji."

The Pisces's Choice✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang