11. Ada yang Salah

204 51 40
                                    

Menjalin suatu hubungan baru itu memang sulit. Tidak hanya butuh keyakinan, tapi juga kepercayaan satu sama lain. Tidak cukup hanya karena tertarik pada visualisasi awal, tapi juga harus nyaman dengan segala keadaan. Menerima apa yang diberikan pasangan dengan tulus, dibandingkan memaksa pasangan untuk jadi seseorang yang bukan dirinya.

Sashi sudah mengalami beberapa kali patah hati karena hubungan yang kandas di tengah jalan. Cuma, dia tak pernah protes tentang itu. Namanya hidup, ada saat di mana ia naik, tapi ada juga ketika jatuh.

Jatuh itu sakit. Termasuk jatuh cinta, juga bukan hal yang sangat membahagiakan. Jatuh cinta berarti siap untuk patah hati. Jatuh cinta berarti siap untuk menerima konsekuensi. Jatuh cinta berarti siap untuk menerima kekurangan doi.

Dan sepertinya, Sashi kembali jatuh cinta. Kepada seseorang yang kini sengaja menjemputnya di sore hari saat hari liburnya dan mengajak perempuan itu pergi ke dermaga. Menikmati jajanan kaki lima yang ada di sekitar sana sambil duduk di sisi pembatas daratan dan laut. Memandangi burung camar yang terbang pulang dengan latar belakang matahari terbenam.

"Kenapa, No? Tumben ngajakin kakak kemari?"

Sesungguhnya, ia tak punya firasat apapun. Sashi pikir, ini hanya ajakan biasa yang sering Zeno tawarkan untuknya. Memang kebanyakan, ajakan itu hanya sebatas makan siang bersama. Jarang mereka mau keluar sampai matahari tak lagi menyinari di angkasa.

"Nggak kenapa sih, Kak." Zeno dan senyumnya akan selalu jadi hal paling meneduhkan untuk perempuan itu. Bagaimana matanya yang menyipit berbentuk segaris benar-benar nampak menggemaskan. "Kepengen aja. Lagi suntuk ngurus skripsi terus di apartemen."

Mereka duduk bersisian, dengan Sashi yang menggenggam cappucino cincau sepuluh ribuan yang mereka beli di pedagang dekat pintu masuk dermaga. Menatap bagaimana semburat langit mega menjadi hal yang sangat menakjubkan di petang itu. Tanpa sadar, perempuan itu tersenyum. Menyadari betapa besar dan luas langit di hadapan mereka.

"Emang skripsinya kenapa? Buntu?"

Zeno menggeleng. "Enggak. Lancar, kok." Lalu ikut mengambil minuman miliknya dan menyesapnya perlahan. "Cuma pengen keluar aja. Ngeliat sunset bareng seseorang yang aku sukain dari dulu." Sashi yang saat itu ikut meminum minumannya mendadak tersedak cincau. Ia terbatuk perlahan. Membuat Zeno ikut panik dan menepuk-nepuk punggung perempuan itu, hati-hati. "Kakak nggak apa-apa?"

"Nggak ... nggak, aku baik-baik aja, kok." Ia berusaha tersenyum. Menunjukkan pada Zeno bahwa dirinya baik-baik saja. "Cuma kesedak cincau doang barusan."

"Makanya, pelan-pelan kalau minum, Kak!"

Laki-laki itu sungguh perhatian. Sama perhatiannya seperti masa mereka kuliah dulu. Dia yang selalu nampak khawatir tiap Sashi menunjukkan mimik wajah kesakitan, sedih, kecewa. Dia juga yang akan ikut bahagia ketika perempuan itu tersenyum lebar dan terbahak. Sudi mengantarnya kemanapun dan seolah selalu menjadikannya prioritas.

Sesuatu yang detik ini membuatnya tersadar jika Arzeno memang selalu ada untuknya, sejak dulu. Bodohnya Sashi, ia baru menyadari ini semua. Ketika mereka harus dipertemukan untuk kedua kalinya dengan keadaan sama-sama tidak memiliki pasangan.

Oke, ini bukan hal yang buruk sebenarnya. Masing-masing sudah tanpa pasangan, artinya memudahkan untuk saling memiliki, 'kan?

Ah tapi, apa iya Zeno suatu hari nanti akan menjadikannya kekasih? Kalau Sashi berharap, apa boleh?

Jujur, dia nyaman dengan adik tingkatnya ini. Arzeno memperlakukannya dengan sangat baik. Mereka juga kenal bukan sebulan, dua bulan saja. Tapi tahunan.

"No...."

"Iya, Kak?"

"Habis kuliah nanti, kamu yakin bakal ngelanjutin ke Jepang sekalian kerja di sana?"

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now