25. Akhir Yang Bahagia

235 45 21
                                    

Semua juga setuju jika perasaan manusia itu kompleks. Terlalu banyak hal nyaris tak habis pikir yang sering kali menjadi pemicu segalanya. Secara logika, jika seseorang merindu maka harusnya bertemu. Bukan malah menjauh.

Iya, secara logika memang begitu. Namun sayangnya, domain perasaan itu adalah hati. Bukan otak.

Sashi benar-benar tak lagi berbicara dengan Mark. Pun laki-laki itu, lebih terlihat seperti ingin menghindar jika secara tak sengaja mereka bertemu.

Kalau boleh jujur, ada rasa kehilangan dalam hati perempuan itu. Ingin rasanya ia mengejar punggung Mark yang berbalik dan pergi. Memanggil namanya serta bertanya meski hanya sebatas apa kabar.

Lucu juga, pikirnya. Ini adalah waktu terlama ia dan Mark tak saling bertegur sapa. Bahkan tersenyum satu sama lain juga nyaris tidak. Berapa lama, ya? Mungkin sudah hampir satu bulan lewat beberapa hari.

Iya, selama itu.

Sekarang Sashi selalu merutuki dirinya sendiri. Merasa bodoh ketika ia tak pernah menyadari seberapa penting kehadiran seorang Mark untuknya. Seberapa butuhnya dia pada laki-laki itu dan seberapa merindunya ia pada tawa menyebalkan dan wajah tengil tetangganya itu.

Hari-harinya tak lagi terasa sama. Semangatnya entah menguap kemana. Bahkan Yemima tak bisa membuatnya tertawa seheboh dulu.

Tapi omong-omong tentang Mima, iya dia sudah menyerah. Sahabatnya itu sudah tak lagi merecoki urusan Sashi ataupun menjodohkannya dengan laki-laki berzodiak yang ia pikir memang cocok jika disandingkan dengan perempuan pisces.

Toh, tanpa Sashipun dia sudah bisa membuktikan jika teorinya selama ini salah. Bukannya dia sendiri yang sekarang sedang sangat bahagia-bahagianya dengan Lucas?

"Sas, mau balik bareng kita?" Hari ini Sashika, Yemima dan Lucas harus lembur lagi. Membuatnya terpaksa pulang lewat dari jam normal. Lucas dan Mima yang khawatir tentunya menawarkan tumpangan pada perempuan itu. "Ini udah malem banget. Kasian juga kalau lo balik sendiri."

Perempuan itu sedang merasa lelah juga malas. Jadi dia mengiyakannya saja. Hitung-hitung, mengurangi biaya transportasi hari ini.

"Ya udah, gue ikut kalian."

Dalam mobil itupun hanya Mima dan Lucas yang banyak mendominasi pembicaraan. Sashi lebih memilih diam, hanya menjawab jika ditanya.

"Sas, habis masuk gerbang kompleks lo belok kanan, 'kan?"

Harusnya iya. Tinggal berbelok sedikit lagi maka mobil itu akan tiba di depan rumahnya. Tapi Sashika merasa suntuk jika harus sampai di rumah sekarang. Rasanya dia membutuhkan waktu untuk sendiri.

Benar-benar sendiri.

"Berhenti depan taman itu aja," tunjuknya pada sebuah taman kompleks yang tak terlalu besar tapi cukup untuk digunakan berolah-raga ringan. Lagipula disediakan lapangan basket juga di sana, yang sering digunakan penghuni kompleks. "Gue lagi butuh waktu buat sendiri. Suntuk banget."

"Yakin? Kenapa nggak pulang terus lo istirahat aja?" Mima bahkan harus memutar tubuhnya agar bisa melihat wajah Sashi yang sebenarnya sudah terlihat kacau. "Muka lo itu udah capek banget kayaknya."

"Please, gue lagi butuh angin."

Meskipun Lucas dan Mima tidak yakin untuk menurunkan Sashi di taman saat hari telah malam begini, mereka tetap melakukannya. Melihat wajah perempuan itu yang memelas membuat mereka tidak tega.

"Sas, jangan lama-lama di luar. Cari angin sebentar terus pulang!" Peringatan Mima yang khawatir hanya dibuahi anggukan oleh perempuan itu. "Gimanapun, gue juga khawatir sama lo. Sebulan ini lo bener-bener keliatan nggak semangat."

The Pisces's Choice✔Onde histórias criam vida. Descubra agora