3. Perjodohan Bermula

379 57 54
                                    

"Emang kenapa sih kalau lo, gue bantuin nyari pacar? Hitung-hitung bisa nambah kenalan buat lo. Siapa taukan, cowok yang mau gue kenalin ke lo ini baik dan cocok? Atau malah jodoh lo, Sas."

Perkataan Mima sepulang kerja kemarin seolah selalu menghantui isi kepala Sashi. Padahal perempuan itu sudah berusaha mengenyahkan ide gila sahabatnya.

Perjodohan apa? Bunda dan ayah saja tidak sampai hati harus menjodohkannya dengan laki-laki, tapi kenapa Mima jadi sangat bersemangat seperti itu?

Ini gila, ia tak bisa terus-terusan berdiam diri di dalam kamarnya tanpa melakukan apapun. Otaknya akan membawa pikiran Sashi melayang jauh. Kembali berpikir buruk tentang dirinya dan ketidak-mampuannya menjalin hubungan dengan orang lain pasca berpisah dari mantannya dua tahun silam.

Sashi akhirnya memilih bangkit. Merapikan tempat tidurnya dan menyisir rambut sekenanya lalu mengikatnya menjadi ekor kuda. Ia meregangkan tubuhnya dan menatap ke arah jam weker. Sudah pukul sembilan pagi, dan dia belum sempat turun dari kamarnya. Pasti di bawah sana, ayah dan bunda sudah selesai dengan sarapan mereka.

Perempuan itu menguap sekali, lalu membuka jendela kamarnya yang menghadap tepat ke jendela kamar rumah sebelah. Sashi pikir, paginya bisa diawali dengan mood menyenangkan. Tapi ternyata harapannya tak sampai begitu ia melihat Mark juga ikut membuka jendela kamarnya. Nampak masih setengah mengantuk, mengucek mata kanannya lalu menguap.

Aih, menyebalkan sekali rasanya mengawali pagi dengan melihat pemandangan tidak enak dipandang di depan sana.

Oh, Sashi lupa mengatakan ini. Tapi sesungguhnya, ia merasa kesal karena jendela kamarnya dan jendela kamar Mark terletak berhadapan. Jarak rumah merekapun tak begitu jauh. Mudah bagi laki-laki itu mengganggu malamnya jika tengah bosan. Tinggal mengambil beberapa buah kerikil berwarna yang ia letakkan di pot tanaman hiasnya dan melemparkan batu-batu itu ke arah jendela kamar Sashi. Perempuan itu tak butuh waktu lama untuk membuka jendelanya lalu mengomeli Mark sepanjang malam.

"Baru bangun juga, lo? Cewek kok baru bangun waktu matahari udah setinggi ini, sih?"

Benar dugaan Sashi, 'kan? Mulut Mark tak akan melewatkan kesempatan untuk bisa mengejeknya barang sebentar.

"Apa bedanya sama lo?"

"Bedalah, gue cowok dan lo cewek. Cewek harusnya udah bangun dari tadi pagi buat bikin sarapan atau bersih-bersih di hari libur gini." Nasihat Mark jadi terdengar begitu hipokrit. Toh, dia juga sama saja. Laki-laki bisa bangun lebih pagi untuk sekedar jogging atau ikut membersihkan rumah, 'kan? Hei, pekerjaan membersihkan rumah itu bukan hanya tugas perempuan ya! "Gue jadi kasian sama suami lo kelak."

"Nggak usah kasian sama suami gue kelak!" Sashi mendecih. Ia mengambil sebuah batu kerikil yang ada di pot tanaman kaktus hias dalam kamarnya dan melemparkannya ke arah Mark. Tertawa begitu batu itu mengenai dahinya. "Dia nggak bakal julid kayak lo. Lagian, suami gue itu bukan lo juga. Jadi gue terhindar dari cowok yang menganggap pekerjaan rumah seratus persen tugas perempuan. Lo nggak pernah denger ya sekarang tuh ada yang namanya gender equality? Jangan kolot gitu deh jadi cowok yang hidup di abad 20!"

"Apa-apaan sih lo?" Sekarang giliran Mark yang melemparkan kerikil ke arah Sashi. Tapi untungnya, refleks perempuan itu cepat. Ia bisa menghindar dengan baik lalu membiarkan kerikil itu masuk dan jatuh di lantai kamarnya. "Gue nggak ada ya ngelempar batu. Kok lo main seenak jidat ngelemparnya? Untung kepala gue nggak bocor gara-gara lemparan lo."

"Lebay banget jadi cowok. Kerikil doang ini." Sashi mencibir. Ia kemudian berbalik, hendak masuk ke kamar mandi dan bersiap. Tadi rencananya, ia akan pegi ke salah satu gerai kopi dekat kompleks rumahnya. Melanjutkan tugas dari kantor sebelum perempuan itu benar-benar gila karena dikejar deadline. "Udah ah, gue mau mandi. Biar nggak bau kayak lo."

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now