5. Supir Baru?

267 51 34
                                    

"Lo balik sama siapa?"

Langit di luar jadi makin gelap ketika matahari kembali ke peraduan. Terhitung sejak ia tiba di sana, Sashi sudah duduk selama nyaris delapan jam. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan di antara waktu itu juga, Sashi hanya menghabiskan dua puluh ribu untuk segelas latte-nya. Makan siang dan sisanya sudah dibayarkan oleh Erwin.

Dia jadi tak enak, sungguh.

"Kayaknya mau mesen ojek online aja. Lumayan soalnya kalau gue jalan kaki dari sini ke rumah." Ia bahkan sudah mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pemesanan ketika Erwin menyentuh punggung tangannya. Sashi mengerjap merasakan sentuhan ringan itu lalu mengangkat kepala, menatap laki-laki dihadapannya dengan pandangan bingung. "Kenapa, Win?"

"Gue anter pulang, ya?" Erwin itu benar-benar seseorang yang sangat baik. Bagaimana mungkin di pertemuan pertama mereka, laki-laki itu sudah banyak mentraktirnya? Dan sekarang, malah menawarkan tumpangan. "Lagian nggak jauh-jauh amat, kok."

Sepanjang hidupnya, baru kali ini Sashi menemukan seseorang seperti Erwin. Mungkin dulu beberapa ada yang bersedia mengantarnya pulang kampus saat kuliah. Tapi sampai diteraktir dan ditemani makan? Tidak ada. Kecuali mantannya, itu pasti.

"Nggak usah, Win," tolaknya halus. Sashi akan benar-benar merasa tak enak hati jika Erwin sampai mengantarnya pulang. Dia merasa tak tahu diri apabila menerima tawaran laki-laki itu. "Gue udah banyak ngerepotin dari tadi. Gue bisa pulang sendiri, kok."

"Nggak ngerepotin, Sas. Buat temen baik, gue nggak masalah ngelakuin ini." Entah, rasanya dada Sashi menghangat. Tanpa ia sadari, senyumnya muncul begitu saja. Keduanya bertatapan dengan senyum merekah lebar. "Lagian gue mau tau rumah lo juga."

"Bener nih, nggak apa? Nanti sampai di rumah, lo malah nagih ongkos lagi."

"Nggak akan, ya ampun." Erwin berdiri terlebih dahulu. Mengambil kunci city car miliknya dari kantong jaket dan menunggu Sashi selesai membereskan barang bawaannya. "Emang gue keliatan bakal minta bayaran, gitu?"

"Siapa tau, 'kan?"

"Gue kalau minta bayaranpun nggak bakal minta uang, sih."

Mengobrol bersama Erwin sepanjang hari membuatnya menyadari jika laki-laki itu punya selera humor yang lumayan. Beberapa bahkan cocok dengan selera humornya. Kalau disimpulkan, mereka berdua sebenarnya cukup nyambung. "Iya tau, yang udah punya banyak uang emang beda."

"Nggak gitu, Sas." Entah ini sebuah gerak refleks atau memang sengaja, Erwin mengacak kecil poni yang melindungi dahi perempuan itu. Membuat dada Sashi harus berdetak lebih cepat. Ia melirik ke arah laki-laki itu, tapi Erwin nampak biasa saja.

Oh mungkin itu memang gerakan spontan.

"Ya terus apa?"

Keduanya berjalan bersisian. Sebelum benar-benar keluar dari gerai kopi, laki-laki itu menyapa penjaga kasirnya dan memberikan isyarat untuk pergi sebentar. Si penjaga kasir menaikan dua jempol tangannya sambil tersenyum menggoda. "Nanti deh gue kasi tau."

"Dih, sok rahasia-rahasiaan lo."

"Biarin. Biar lo kepo."

"Nggak kepo, yeee."

"Yakin nggak kepo?"

"Yakin dong." Sashi lagi-lagi tak menyadari ketika ia tiba di areal parkir di mana Erwin memarkirkan mobilnya sejak siang tadi. Laki-laki itu memencet tombol pada remot kontrol kuncinya dan menyalakan alarm mobil tersebut. "Ini mobil lo?"

"Yup. Tapi maaf ya, mobil gue bukan mobil mahal." Ia pikir, Erwin akan berjalan menuju pintu pengemudi. Tetapi ternyata tidak. Laki-laki itu lebih memilih untuk jalan ke arah pintu penumpang di depan dan mebukakannya untuk Sashi. Satu lagi poin tambah yang didapatkan oleh sepupu Lucas itu di matanya. "Tuan puteri, silahkan masuk."

The Pisces's Choice✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang