15. Sakit Untuk Kehilangan

190 53 15
                                    

Sashi tak pernah mau menghadapi rasa sakit tiap ia harus kehilangan. Tapi, sejak awal dia selalu mengerti karena telah dihadapkan pada sebuah konsekuensi paling dasar dari hidup. Kenyataan bahwa dalam hidup ini, tak ada yang abadi. Semua hal akan berubah sesuai masanya. Ketika jarum jam bergerak lambat, saat itu pula harusnya ia tahu jika bumi tengah menghintung mundur waktunya.

Perpisahan tak pernah hilang. Dia ada dan selalu pasti terjadi di setiap pertemuan. Sejatinya, tujuan dari pertemuan adalah untuk sebuah perpisahan. Awal bertemu untuk berakhir. Kita hidup adalah untuk mati.

Terdengar tidak masuk akal. Tapi memangnya, kapan kehidupan terasa masuk akal?

Kalau kata para penulis dan pujangga, setiap sela kehidupan itu selalu ada hal yang mampu membelokan cerita. Plot twist everywhere.

Bahkan untuk hubungannya dengan Arzeno yang ia kira akn berakhir panjang, bahkan hingga memasuki jenjang lebih serius. Namun kenyataannya, mereka harus berhenti.

Berhenti untuk menjauhkan diri dari sesuatu yang makin menyakitkan di masa depan.

Di sinilah mereka. Kembali duduk di sisian dermaga, tempat ketika pertama kali Zeno menyatakan perasaannya. Di posisi yang sama bahkan sambil membawa jajanan yang sama.

Kali ini, langit sudah gelap. Matahari lebih dulu terbenam sebelum mereka tiba. Bahkan langit nampak mendung tak berbintang. Bulan juga tak lagi menampakan bentuk bulat sempurnanya dengan cahaya yang berpendar keemasan cantik. Hanya kerlip lampu mercusuar di kejauhan yang menerangi gelapnya langit malam ini.

"Kenapa tiba-tiba Kakak ngajak aku kesini?" Zeno sebenarnya merasa was-was. Pikiran buruknya seolah datang lagi. Membawanya dalam satu ketakutan dengan kata perpisahan. "Kangen dermaga ini, ya?" Tapi laki-laki itu tersenyum, menoleh ke arah Sashi yang nampak mengalihkan pandangan mereka sejak tadi. Berusaha berpikir positif.

Di lain pihak, Sashi tidak tahu apa keputusannya ini benar?

Ia mencintai Zeno. Waktu sebulan lebih mampu membuatnya benar-benar terperangkap dalam diri penuh pesona milik adik tingkatnya itu. Tapi, di waktu sebulanan itu pula dia tahu jika mungkin, Arzeno bukanlah orang yang tepat.

Sesekali ia menoleh, mencuri lirikan pada kekasihnya yang masih saja menatap wajahnya. Membuat Sashi kembali merasakan kehangatan menjalar di kedua pipinya yang berpulas blush on merah muda tipis.

"Kangen, sih." Mulainya. Rasanya terlalu jahat jika kalimat yang pertama ia ucapkan pada laki-laki baik di sebelahnya adalah kalimat yang mengantarkan mereka pada akhir dari semua. "Sebenarnya lebih kangen sama capcin abang-abang di depan pintu masuk."

Zeno tersenyum makin lebar. Dia selalu merasa terkejut dengan jawaban-jawaban spontan yang suka Sashi lontarkan. Tangannya terulur, menepuk pelan puncak kepala perempuan yang selalu mengisi otaknya beberapa tahun terakhir.

"Kangen capcinnya, atau abangnya nih?"

Setelah meminum cappucino cincau sepuluh ribuan yang mereka beli, Sashi tertawa kecil. "Kalau bilang kangen abangnya, ntar istri si abang capcin marah lagi. Gimana, dong?"

So far so good, begitu pikir Sashi. Paling tidak, ia bisa meredakan kacanggungan antara mereka. Membuat suasana menjadi lebih baik sebelum mengirimkan badai yang memporak-porandakan semua.

"Aku juga nggak ngasi kamu kangen abangnya, sih."

"Kenapa?"

"Soalnya kamu cuma boleh kangen sama Arzeno."

Makin lama, sisi dominasi Zeno dalam hubungan mereka terasa makin dalam. Kadang tanpa sadar, memberikannya sebatas tembok tak terlihat yang membuatnya sulit berinteraksi dengan orang lain. Terlebih pada Mark, yang kadang mengatakan padanya jika Zeno selalu menatap tajam ke arahnya tiap mereka tak sengaja berpapasan.

The Pisces's Choice✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora