22. Simulasi Rumah Tangga

204 40 20
                                    

Tak pernah rasanya sesemangat ini ketika Mark melihat seseorang turun dari ojek online di depan pintu gerbang rumah sebelah. Adalah Sikha, baru saja melepaskan helm berwarna hijau di kepalanya sambil mengucapkan terima kasih pada bapak pengendara motor itu.

Wajahnya nampak lelah. Tapi di mata Mark, lelahnyapun terlihat indah. Kenapa setelah ia jatuh cinta, segala tentang Sikha jadi sesuatu yang menarik?

Definisi budak cinta? Ya, bisa jadi.

Laki-laki itu beranjak dari kursi depan rumah yang sengaja ia duduki. Menunggu waktu pulang Sikha hanya demi bisa menyapanya sore ini. Sedikit berlari, lalu menarik satu tangan perempuan itu. Senyum lebar terpatri di wajah tampannya.

Sikha berbalik. Menatap tetangganya itu dengan satu alis terangkat bingung. "Apa?"

Tapi Mark masih tersenyum. Menggeleng kecil. Makin membuat perempuan yang tangannya ia genggam itu mengernyit heran.

"Baru pulang kerja, Kha?" Sashika menatapnya curiga. Tak salah juga, karena ini pertama kalinya Mark berlaku demikian. Apalagi, ia juga dihadiahi tatapan lembut. Tidak nampak seperti Mark biasanya.

"Lo liat gue turun dari ojol barusan. Lo pikir gue baru pulang dari mana? Piknik?" Mark tetap bergeming meski balasan Sikha sama galaknya seperti hari-hari yang lain. Genggamannya tak terlepas walaupun beberapa kali, perempuan itu menghentaknya pelan. "Kenapa sih, lo? Kesambet mbak-mbak penunggu pohon asem di lapangan kompleks, atau gimana? Aneh banget dah."

"Nggak, elah. Gue biasa aja gini." Masih dengan senyum yang sama. Sampai-sampai, Sikha berpikir jika sebentar lagi bibir Mark akan kering karena terus-terusan tersenyum. "Cuma nanyain lo doang."

"Ya, udah nanyainnya, 'kan? Sekarang mau apa lagi?"

"Nggak ada."

"Kalau nggak ada, ini tangan gue bisa dilepasin dulu?" Meskipun ada rasa tak rela, Mark akhirnya melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Sikha. Perempuan itu malah mencibir sambil melihat tangannya yang bekas digenggam oleh Mark. "Abis ini kudu disemprot desinfektan biar jauh dari kuman nih, tangan-tangan gue yang berharga."

"Segitunya lo sama gue. Jijik banget, kayaknya."

"Jijik bingit kiyinyi," cibir perempuan itu dengan bibir yang dicebikkan lucu. Mengundang kekehan Mark meski dalam hatinya, laki-laki itu sudah sangat ingin menangkup pipi Sikha dan memberikan kecupan ringan di bibir itu. "Iyalah, lagian lo ngapain jadi aneh gini? Segala nanyain udah pulang kerja. Biasanya juga lo cuek."

"Sekarang gue mau jadi tetangga yang baik, salah emangnya?"

"Lo? Tetangga baik?" Sikha tertawa. Tergelak geli mendengar perkataan Mark yang ia anggap seperti sesuatu hal mustahil. "Nggak masuk itu konsepnya. Nggak ada cocok-cocoknya lo jadi orang baik. Orang badung dan nyebelin tuh, baru bener."

"Lo doang emang yang nggak suka liat gue berubah jadi orang baik, ya? Udah bagus gue mau berubah."

"Lo berubahnya tiba-tiba gini, siapa yang nggak kaget coba?"

"Jadi gue nggak boleh berubah tiba-tiba?"

"Iyalah, emangnya lo Ultraman?" Mark membiarkan perempuan itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya heran. Begini saja, Sikha merasa kaget. Belum juga Mark katakan perasaanya. Jangan-jangan, dia malah pingsan nantinya. "Udah ah, gue mau masuk. Mau mandi nih, badan gue lengket."

Inginnya Mark menahan perempuan itu. Dia masih mau mengobrol lama. Entah obrolan tentang apa. Mendengarkan Sikha dengan segala kegiatannya hari ini, terdengar seperti sesuatu yang menyenangkan.

"Eh, lo sibuk ntar?"

Belum juga perempuan itu membuka pintu gerbang, Mark lagi-lagi menahan tangannya. Membuatnya menoleh lalu menggeleng. "Enggak. Kenapa?"

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now