18. Nostalgia Masa Lalu

180 45 16
                                    

Meskipun beberapa kali Zeno mencarinya dan bersikerasa mengajak Sashi kembali, perempuan itu menolak. Bukan berarti hatinya tak lagi meninggalkan jejak rasa. Tetapi baginya, mengulang semua yang telah berakhir akan selalu menjadi kesia-siaan. Ibarat membaca novel yang sudah pernah dibaca berulang-kali. Ending-nya telah tertebak.

Jadi, perempuan itu hanya bisa menawarkan sebuah ikatan pertemanan. Tak lebih. Zeno mau tak mau harus menerima konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Mendapati sesal seolah menghantuinya setiap saat dan menyesakkan dadanya.

Perempuan yang ia sukai sejak lama, berhasil ia dapatkan, tapi semudah itu pula ia lepaskan.

Sudahlah.

Selepas hubungannya dengan Zeno berakhir, perempuan itu kembali berusaha menata hati dan hidupnya lagi. Menganggap jika mantan kekasihnya itu sebagai seseorang yang sekedar singgah hanya untuk memberi sedikit warna dalam hidupnya.

Ia tak membenci Zeno. Bagaimanapun, laki-laki itu adalah seorang adik sekaligus sahabat yang Sashi miliki. Menjauh begitu saja terdengar seperti pemutusan tali silaturahmi, jadi kadang beberapa kali mereka masih bertukar kabar satu sama lain. Sebagai Sashi dan Zeno seperti sebelum mereka jadian.

Ketika sore tiba dan waktunya pulang, Sashi memilih untuk pergi dengan kendaraan umum. Menolak ajakan Lucas dan Mima yang nampak makin dekat, hanya untuk mengantarnya pulang. Perempuan itu akan mampir sebentar ke toko buku di dekat gedung kantornya. Ia butuh untuk membeli jurnal baru juga sekaligus melihat novel dari penulis favoritnya yang baru terbit.

Sialnya, sore itu mendung dan hujan nampak bersiap menjatuhkan diri. Sashi menengadah, melihat langit. Ia hanya mengidikkan sedikit bahunya lalu berdoa dalam hati.

"Semoga ini mendung yang numpang lewat doang. Semoga nggak kehujanan."

Namun doa itu nampak tak didengar. Ia mendesah kecil ketika suara gemuruh mulai terdengar dari langit yang makin menggelap. Beberapa menit kemudian, disusul dengan rintik-rintik air hujan. Awalnya gerimis, lalu menderas.

Berdecak, Sashi melepaskan outer-nya yang berwarna abu-abu lalu menggunakan pakaian itu sebagai payung darurat. Menyesal juga kenapa tadi tak meminjam payung dari meja resepsionis.

Toko buku mungkin masih sekitar seratus meter di depan. Tapi hujan makin menderas dan tak ada pilihan lain bagi perempuan itu selain berteduh. Pilihannya jatuh pada sebuah toko kaset di dekatnya. Paling tidak, ia tidak terlalu basah kuyup. Menunggu hujan reda sambil mendengar musik yang diputar di toko itu terdengar cukup menyenangkan. Apalagi, mereka menyediakan space untuk pelanggan duduk di sana dan ikut menikmati alunan musik.

"Selamat datang." Seorang bapak tua di balik meja kasir menatapnya sumbringah ketika Sashi membuka pintu. Menimbulkan suara klinting kecil dari bel yang terpasang di pintu. "Wah nona, anda adalah pelanggan kami yang ke-sepuluh untuk hari ini."

Toko itu nampak sangat sepi. Hanya suara rendah Rossa dari speaker di beberapa titik toko terdengar mendayu. Menyanyikan lagu Masih, miliknya.

Sulit ku melangkah pergi

Bila kau masih di sini

Gagal diriku melupa

Tiap engkau menyapa

Sashi merasa sedikit bersalah saat mengingat tujuan awalnya masuk toko itu hanya berteduh. Tidak tahu jika dia akan disapa oleh seseorang yang bersemangat melihat kehadirannya. "Selamat sore, Pak."

"Sore juga, Nona. Silahkan lihat-lihat dulu koleksi kami." Bapak tua itu, bahkan untuk berjalanpun nampaknya sedikit kesusahan. Ia menggunakan satu kruk yang disangganya pada lengan kanan. "Toko bapak ini koleksinya banyak, loh. Bukan cuma CD lagu penyanyi jaman sekarang, tapi ada kaset tape penyanyi jaman orang tuamu juga. Ayo lihat-lihat!"

The Pisces's Choice✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang