14. Rasa yang Familiar

180 45 7
                                    

Semuanya terasa seperti dejavu. Mengingatkan Sashi kembali kepada saat ia dan Erwin dekat dulu. Tentang bagaimana laki-laki yang seolah mengekang seluruh kebebasannya untuk berteman, memaksanya untuk melaporkan seluruh kegiatan dari bangun hingga tidur hari itu. Salah satu hal buruk yang tak bisa ia tolerir dalam suatu hubungan.

Arzeno menjadi seorang pengekang. Entah didasari oleh hal apa, tapi selepas mereka nonton bersama di bioskop hari itu, kekasihnya selalu mengirimi pesan yang menanyakan ia ada di mana, sedang apa, dengan siapa. Dan sekarang, Sashi muak dengan hal itu.

Maka sejak beberapa hari setelah masa itu, wajahnya selalu nampak tertekuk ke bawah. Apalagi jika ponselnya berdering. Menampilkan nama kekasihnya pada panggilan masuk atau pesan masuk. Bahkan, terkadang ia dengan sengaja mengacuhkan semua itu.

Sashi tak pernah suka dikekang. Sangat tidak suka. Dalam prinsipnya, hidup yang ia jalani sekarang adalah hidupnya. Tak ada satupun orang yang bisa mengganggu dengan siapa dia menjalin relasi, baik pertemanan, persaudaraan atau apapun itu.

Benar-benar tak tahan. Tapi perempuan itu beberapa kali hanya bisa menarik napasnya. Meyakinkan diri jika Zeno sedang stres karena menggarap tugas akhirnya lalu melampiaskannya dengan melakukan hal ini.

"Ponsel lo bunyi lagi tuh, angkat dulu kenapa sih?"

Ia dan Mima sedang berada di salah satu tempat makan yang ada di dalam pusat perbelanjaan. Hanya berdua sebab Sashi tidak mengindahkan panggilan Zeno yang mengajaknya makan siang bersama lagi, pun Lucas yang sedang ada tugas lapangan saat ini.

"Biarin aja. Ntar juga yang nelpon bosen sendiri."

Dihadapannya, Mima memasang ekspresi curiga dengan mulut yang aktif mengunyah kwetiaw pesanannya. Mungkin bingung dengan sikap Sashi yang berubah akhir-akhir ini. "Emang siapa yang nelpon?"

"Zeno."

Dahi Mima makin mengernyit tidak mengerti. Perasaan, Sashi dan kekasihnya nampak baik-baik saja beberapa waktu lalu. Tapi kenapa sekarang rekan kerjanya itu terlihat ogah-ogahan? "Trus kenapa dianggurin telponnya? Pacar lo, 'kan?"

"Males."

Oh, apa dia ketinggalan sesuatu saat ini? Sashi dan Arzeno sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, pasti.

Menelan kwetiaw yang sudah ia kunyah sampai hancur lalu meraih gelas berisi strawberry punch miliknya dan meminumnya dalam sekali teguk, kemudian Mima berkata, "kalian berantem?"

Sashi tahu, cepat atau lambat ia harus menceritakan semua pada Mima. Sahabatnya itu pasti dengan cepat bisa menyadari keretakan hubungannya dengan Zeno. Meskipun seandainya Sashi tak ingin mengaku dan tak ingin menceritakan semua ini, sahabatnya itu pasti akan selalu punya cara untuk membuatnya mau membuka mulut.

Jadi tak ada pilihan lain selain mengatakan pada Mima apa yang sebenarnya terjadi diantara ia dan Arzeno.

"I don't know." Sashi mendesah. Mengambil jus semangka pesanannya dan meminumnya perlahan. Nasi goreng yang ia pesan barusan hanya berakhir dua sendok dalam perutnya. Ia tak lagi berselera makan. "Gue aja nggak tau apa sekarang kita lagi berantem. Gue, sometimes capek ngehadepin Zeno yang tiba-tiba begini."

Mima tahu ada yang salah. Sekarang, fokusnya berpindah dari salah satu makanan favoritnya pada Sashi yang nampak siap bercerita. Sekali lagi, ia meminum minumannya dan mencari posisi nyaman untuk mendengar cerita sahabatnya itu. "Berubah gimana?"

"Dia...." Haruskah Sashi menceritakan ini? Oke, perempuan itu tahu jika Mima sangat paham tentang bagaimana antipatinya dia dengan hubungan yang penuh kekangan. Dia tak suka jika dalam suatu hubungan ada dominasi yang begitu kentara antara pihak perempuan dan laki-laki. Sashi suka yang seimbang dan berjalan secara natural, bukan paksaan. "Jadi kayak Erwin dulu."

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now