17. Diakah?

168 46 25
                                    

Kepalanya pusing ketika Sashi berusaha untuk mendudukan diri. Tapi hal itu tak seketika membuatnya lupa tentang bagaimana Tison yang menemaninya menangis untuk kesekian kalinya malam kemarin.

Pada akhirnya, perempuan itu menceritakan semua tentang apa yang terjadi dengan hubungannya dan Zeno. Juga kenapa ia merasa sekesal itu pada Mark dan mulut besarnya. Sashi akui, ia memang cukup sensitif karena sedih sekaligus patah hati.

Beruntungnya, Tison sangat baik. Mau menemaninya bercerita tanpa menilainya buruk seperti apa yang Mark lakukan. Mengingat kejadian kemarin saja rasanya semenjengkelkan ini. Ingin rasanya perempuan itu melemparkan satu dua pukulan di wajah Mark saking kesalnya.

Tapi, sudahlah.

"Sikha...." Suara ketukan pintu kamar dibarengi dengan panggilan lembut milik Tison menjadi hal pertama yang menyapanya pagi itu. Bergegas, Sashi turun dari tempat tidurnya. Membuka pintu dan menemukan kakak laki-laki Mark itu berdiri sambil tersenyum di depan pintu. "Baru bangun?"

Perempuan itu terkesiap ketika ingat dirinya memang baru saja bangun dan belum sempat merapikan diri. Rambut mencuat kemana-mana, mata bengkak karena menangis dan semoga saja tak ada bekas liur di ujung bibirnya.

Kacau, ini memalukan.

"Eh, iya Kak." Ingat lagi dia jika Tison bilang akan menginap di rumahnya setelah sesi curhat panjang itu. Berniat menjaga Sashi yang hari itu hanya sendiri di rumah. Tak tega meninggalkannya sendiri begitu saja. Tison memilih tidur di sofa ruang tamu, omong-omong. "Kakak udah rapi aja."

"Iya, subuh tadi gue balik pulang untuk mandi dan maunya masakin lo sarapan," kata Tison, masih dengan senyum lebarnya.

Sungguh, Sashi kadang heran sendiri dengan keluarga tetangganya. Berpikir jika bisa jadi Mark hanyalah anak angkat karena sikap laki-laki itu jauh dari mirip dengan keluarganya. Mama dan papa orang yang baik. Begitupun dengan Tison. Hanya bungsu itulah yang suka mencari gara-gara.

"Eh, nggak usah repot-repot. Sikha bisa sendiri kok, Kak." Kebaikan Tison membuatnya sungkan pada laki-laki itu. "Lagian bunda masih punya stok bahan buat gue masak kok. Tenang aja."

"Tapi ini sarapannya udah jadi. Gue ngirim kesini sebelum berangkat ke kantor." Tison menyodorkan sebuah piring yang tertutup kertas minyak di atasnya. Sashi tidak tahu sarapan apa yang sudah dipersiapkan. Tapi perempuan itu yakin, rasanya pasti akan sangat enak. Laki-laki baik di depannya ini sangat pandai memasak. "Terus lo nggak kerja?"

Sashi menggiring Tison keluar. Tidak enak rasanya mengobrol sambil berdiri di ambang pintu. Mengajaknya menuju ruang makan dan meletakkan sarapan itu di sana begitu saja. "Gue rencana ambil jatah cuti sehari, Kak. Masih capek banget kalau ke kantor sekarang. Apalagi mata gue bengkak gini. Ntar anak-anak lain pada gosipin yang aneh-aneh lagi."

"Ya udah kalau gitu." Masih saja tersenyum. Menjadi sesuatu yang menambah sempurna tampilan pengacara muda berbakat itu. "Lo istirahat aja. Ntar kalau Mark macem-macem lagi, telepon gue. Biar tuh anak nggak ngerecokin lagi."

"Iya, Kak. Nanti gue telepon kalau Mark kurang ajar lagi."

Lalu, Tison beranjak setelah sebelumnya menepuk sekali puncak kepala Sashi. "Dihabisin sarapannya, itu dibuat dengan sepenuh hati dan susah payah, lho."

Sashi tak bisa tak tersanjung. Dibuat susah payah katanya? Tison memang laki-laki idaman semua wanita. Siapapun nanti yang jadi pasangannya, pastilah orang beruntung.

"Makanan dari kakak pasti aku habisin. Orang enak gitu, kok."

Tapi Tison hanya menggeleng sambil tertawa geli. Di depan pintu rumah Sashi, ia menyentil pelan dahi tetangga yang sudah dianggapnya itu sebagai adik sendiri. Melirik ke arah rumahnya dan mendapati Mark yang pura-pura sibuk memanaskan motor.

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now