7. Pahlawan Kemalaman

198 53 45
                                    

Sebenarnya canggung. Tapi Sashi mau tak mau harus memegang ujung jaket Mark jika dirinya tak mau jatuh terjengkang ke jalan raya. Apalagi laki-laki itu membawa motornya dengan kecepatan yang agak di atas rata-rata.

Mentang-mentang jalanan sepi, bawa motor seenaknya.

"MARK, JANGAN NGEBUT-NGEBUT!" Suara angin malam itu yang berpadu dengan desingan mesin-mesin kendaraan yang lewat menjadi satu-satunya penghalang komunikasi mereka. Sashi terpaksa harus menaikan volume suaranya lebih kencang agar Mark dapat mendengarnya.

"HAH? LO NGOMONG APAAN?"

"JANGAN NGEBUT!"

"NYEBUT? NGAPAIN LO NYEBUT?"

"DIH BUDEG BANGET YA LO!" Sashi kesal. Pada akhirnya, ia memilih untuk diam. Kedua tangannya mengeratkan pegangan pada ujung jaket laki-laki itu, yang sebenarnya tidak terlalu efektif. Sebab ketika Mark menarik tuas rem motornya, Sashi akan terlonjak dan mengakibatkan kedua helm mereka beradu. Seperti sekarang ini. "Aduh, bego banget ya lo! Malah ngerem mendadak. Sakit tau kejedot."

"Yang kejedot itu helm, bukan kepala lo." Sashi sebenarnya tak tahu kemana Mark membawanya pergi. Ia tak menyadari jika sejak tadi, laki-laki itu membawa motornya menjauh dari jalan masuk kompleks rumah mereka. Tapi perempuan itu mengabaikannya karena lebih sibuk memikirkan tentang Erwin dan pernyataannya barusan. "Harusnya yang protes marah-marah itu helmnya, kenapa jadi lo yang ribet?"

"Dih, lo pikir helm bisa ngomong?" Mark hanya mengedikkan bahu. Membuka helmnya dan meletakkannya di atas spion. Motor yang ia kendarai sejak tadi sudah terparkir sempurna di pelataran parkir alun-alun kota. "Bentar, kok kita bisa ada di alun-alun? Gue kira lo mau bawa gue pulang ketemu sama ayah."

"Lo percaya gitu sama omongan gue barusan?"

Sashi memiringkan kepalanya sedikit. Masih duduk di atas jok penumpang dengan helm yang terkunci rapat di kepalanya. "Emang nggak?"

"Kok lo polos banget, sih?" Satu decakan keluar dari bibir Mark. Laki-laki itu berkacak pinggang, berdiri di sebelah motornya yang terparkir. "Udah lo turun, buruan buka helm gue! Kasian dia nggak bisa napas karena rambut bau lo."

"MANA ADA YA RAMBUT GUE BAU, HARUM GINI IH!" Tapi namanya Mark, laki-laki itu tak mungkin akan melewatkan kesempatan untuk tidak menggoda Sashi, 'kan? Karena jujur, dia menyukai bagaimana wajah perempuan itu berubah memerah karena marah. "Ih, ini kenapa helmnya nggak bisa dibuka? Macet nih lock-nya. Helm bekas gini pasti lo kasi ke gue!"

Lagi-lagi Mark mendecakkan lidah. Ia menarik napasnya sekali sebelum bergerak mendekati Sashi. Membantu perempuan itu membuka helm yang ada di kepalanya sebelum membawanya turun dari jok motor.

"Lo tuh ngerepotin banget jadi cewek, heran." Laki-laki itu hanya bisa mendumal dengan tangan kanan yang berada dalam genggaman Sashi sambil membantunya turun serta tangan kiri yang memegang helm. "Lagak udah kayak tuan puteri, minta dilayanin mulu. Tapi tingkah nggak ada anggun-anggunnya."

"Apasih, bawa-bawa Anggun. Anggun noh, duta shampoo lain."

"Bodo amat gue sama omongan lo, Sikha!"

"Gue juga, Mark!"

Keduanya bertatapan sinis. Tapi lucunya, mereka juga berjalan bersisian. Menuju ke tengah alun-alun dan berniat mencari jajanan malam di sana.

Alun-alun di malam hari selalu menjadi hal yang dirindukan oleh Sashi. Bagaimana ia melihat banyaknya orang berlalu-lalang sambil bercengkrama dengan teman, pasangan atau keluarga mereka. Ada beberapa juga yang duduk di dekat penjaja makanan kecil di sana. Yang menonton acara musik gratisan di panggung kecil tengah alun-alun. Intinya, tempat ramai itu tidak akan pernah membuat Sashi merasa sesak.

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now