20. Menyadari

181 49 19
                                    

Hari kesekian, malam Mark ia habiskan dengan tidur terlentang menatap langit-langit kamarnya. Lagi-lagi, ia sulit memejamkan mata. Bahkan jam dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi.

Matanya kenapa tak mengantuk?

Laki-laki itu mendesah pelan. Berguling, berusaha mencari posisi nyaman hanya agar tidurnya malam ini bisa lebih cepat. Tapi apa daya? Ia benar-benar tak mengantuk.

Mark dengan cepat bangkit, mengacak kedua rambutnya kesal. Ini tidak akan berhasil. Apapun yang coba laki-laki itu lakukan, tak akan bisa membuatnya lantas tertidur begitu saja.

"Damn, kenapa sulit banget cuma buat tidur?" Gusar, ia benar-benar bangkit dari tempat tidurya. Berjalan ke arah jendela kamar dan membukanya. Membiarkan angin malam masuk dan membelai wajah. Matanya menatap sayu ke arah jendela rumah seberang. Tiba-tiba berharap seseorang muncul dari sana dengan wajah marahnya. Tapi Mark tahu, orang yang dimaksud pasti sudah nyenyak di alam mimpi. "Pasti udah tidur nih si nyonya besar."

Penyesalannya masih tersisa dan sering-kali Mark merutuki kebodohannya. Bagaimana mungkin ia menahan rasa gengsi untuk meminta maaf pada perempuan itu dan membuang wajah tiap mereka berpapasan di depan rumah? Padahal, Mark sedikit merindukan momen di mana mereka berdua saling bertengkar.

Melihat wajah kesal dan cemberut milik Sikha tak pernah membosankan. Ia merindukannya, juga seruan kencang yang keluar dari bibir perempuan itu.

Di genggamannya ada sebuah kerikil kecil yang biasa Mark gunakan untuk melempari jendela kamar Sikha. Ia menatapnya ragu, tapi kemudian tetap dilemparkan. Meskipun kecil kemungkinan Sikha akan terbangun dan membuka jendela.

Jikapun perempuan itu membukanya, apa yang akan Mark lakukan? Minta maaf?

Errrr ... mungkin akan minta maaf, entahlah.

Lemparan pertama tak menunjukkan tanda-tanda Sikha akan muncul. Mark mengambil kerikil lain dan melemparkannya lagi. Berulang-kali, hingga entah lemparan ke-berapa, perempuan itu lantas membuka jendelanya. Menampilkan wajah mengantuk dengan mata terpejam, rambut tergerai, ia yang menggunakan piama cokelat dengan corak boneka putih serta membawa Pinkeu dalam pelukannya.

"Ganggu banget sih, lo!" desis Sikha setelah ia membuka kedua matanya dan melihat wajah menyebalkan Mark yang tersenyum lebar. "Ini tuh jam tidur, Geblek. Ngapain, sih? Kurang kerjaan banget."

"Lah, kebangun. Kirain nggak bakal bangun lo."

Hati Mark rasanya membuncah hanya karena melihat perempuan itu ada di hadapannya. Sudah menarik kursi yang entah dari mana lalu duduk sambil menopang dagunya di atas Pinkeu yang ia pada bingkai jendela. Satu hal yang membuatnya yakin jika Sikha tidak benar-benar terganggu karenanya.

"Gimana caranya gue nggak kebangun kalau dari tadi ada suara tuk ... tuk ... nggak jelas gitu?" Wajah perempuan itu memberenggut. Harus Mark akui, ia kembali merasa bersemangat melihat ekspresi favoritnya dari tetangga paling menyebalkan sedunia. "Suara itu kebawa mimpi, tau nggak? Kepala gue dipatokin burung dara, suaranya percis kayak kerikil lo itu."

Mark tertawa lagi, ikut menarik kursi di kamarnya dan mulai mencari posisi paling nyaman untuk melihat perempuan itu. Ia ikut menopang dagunya di atas kedua tangan yang terlipat pada bingkai jendela. Sesekali tersenyum ketika hanya terdengar suara gesekan daun yang tertiup angin malam, atau suara jangkrik di kegelapan.

Semua terasa benar untuknya.

"Kha ...." Mark berusaha memanggil perempuan itu. Yang hanya dibalasnya dengan satu dehaman lemah. Kedua mata Sikha terpejam, mengantuk. "Ngantuk banget, ya? Nggak mau nemenin gue?"

Sikha membuka matanya perlahan. Mengerjap lalu menguceknya sebelum mengangkat kepala. Menatap wajah Mark yang tak ada tanda-tanda mengantuknya sama sekali. "Kenapa? Insomnia lo kumat lagi?"

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now